Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Ada Kampung Korea di Sulawesi, Begini Sejarah dan Penduduknya

Perjalanan yang kami tempuh menghabiskan waktu kurang lebih 15 jam menggunakan kapal pesiar.

Penulis: CitizenReporter | Editor: Mahyuddin
HANDOVER
Kampung Korea di Kecamatan Sorawolio, Keluharahan Bugi dan Karya Baru, Sulawesi Tenggara 

Atika

Mahasiswi Antropologi Universitas Hasanuddin

TRIBUN-TIMUR.COM - Biasanya, jika wisatawan ditanya soal destinasi wisata yang ada di provinsi Sulawesi Tenggara, jawabnya tidak lain adalah Pulau Wakatobi atau paling tidak Benteng Keraton di Buton.

Namun demikian jika kita telisik lebih jauh, di daerah perbatasan kota Baubau dan Kabupaten Buton ini
terdapat salah satu daerah unik yang dikenal dengan nama “kampung korea”.

Kampung Korea ini, tepatnya berada di kecamatan Sorawolio, keluharahan Bugi dan Karya Baru.

Sekitar 2 bulan lalu, saya dan beberapa teman dari beberapa jurusan di Universitas Hasanuddin, diberi kesempatan berkunjung ke kampung unik ini.

Perjalanan kami menuju kampung korea bisa dibilang cepat, tentunya jika dibandingkan harus ke Korea Selatan yang disertai syarat visa dan pasport yang akan menghabiskan waktu cukup lama untuk mengurusnya dan tentunya merogoh kocek yang tidak sedikit.

Perjalanan yang kami tempuh menghabiskan waktu kurang lebih 15 jam menggunakan kapal pesiar.

Kami berangkat dari pelabuhan Pelindo Makassar menuju pelabuhan Murhum di Kota Baubau.

Sekalipun menghabiskan waktu hampir 1 hari, namun perjalanan ini hampir tidak terasa lamanya, sebab pemandangan laut hijau bersih dan suasana kapal pesiar menjadi penghibur tersendiri.

Sampai di Kampung Korea, kami langsung disuguhkan oleh pemandangan huruf-huruf yang asing untuk orang Indonesia, sebab nama-nama jalan yang terpajang di plank jalan menggunakan aksara Hangeul khas Korea Selatan.

Namun, jangan khawatir, meski menggunakan aksara Hangeul Korea Selatan, nama jalan tetap dilengkapi dengan tulisan Indonesia asli.

Sehingga wisatawan yang tidak mengerti tulisan dari aksara Hangeul Korea Selatan, akan tetap paham, seperti kami-kami ini yang berkunjung saat itu.

Salah Satu Mata Pelajaran

Ditelisik lebih jauh, kampung Korea ini, ditempati oleh penduduk asli suku Cia-cia.

Dan, aksara Hangeul Korea Selatan ini, ternyata tak hanya digunakan di papan nama jalan, namun juga ditemui di papan nama sekolah, rumah-rumah penduduk, nama kantor, juga menjadi salah satu mata pelajaran di muatan lokal di kampung ini.

Ciri khas inilah yang menjadikan kampung suku Cia-cia ini terkenal oleh masyarakat lokal sebagai Kampung Korea.

Kekhasan keluruhan Bugi dan Karya Baru dengan Korea ini, juga menjadi peluang baru bagi pemuda-pemudanya yang membuka les bahasa Korea secara khusus.

Dalam kunjungan itu, kami berkesempatan melihat proses bejalar mengajar di beberapa tempat les ini.

Sebenarnya kami juga berniat pergi ke sekolahnya untuk melihat lansung pembelajaran bahasa korea, tetapi apalah daya ternyata ketika kami datang, mereka sedang ujian dan belum bisa untuk ditemui.

Di salah satu tempat les, kami dikejutkan oleh anak-anak seumuran SD yang sangat fasih menulis dengan aksara Hangeul Korea Selatan, termasuk menyanyikan lagu korea.

Pada kesempatan itu, mereka menyanyi dengan judul “Geum se mari”, bagi penggemar Korea, tentu tahu dong dengan lagu ini.

Selain mampu menuliskan bahasa lokalnya menjadi huruf Hangeul, mereka juga bisa berbahasa Korea sedikit-sedikit, bahkan fasih memperkenalkan diri menggunakan bahasa Korea.

Penduduk Kampung Korea ini Kecamatan Sorawolio, Keluharahan Bugi dan Karya Baru, Sulawesi Tenggara.
Penduduk Kampung Korea ini Kecamatan Sorawolio, Keluharahan Bugi dan Karya Baru, Sulawesi Tenggara. (HANDOVER)

Hubungan Suku Cia-cia dan Korea

Sekilas dari sejarahnya, sebelumnya suku Cia-cia menggunakan aksara Arab gundul, tetapi dalam
penggunaannya, terdapat ketidakselarasan yang menimbulkan kebingungan bagi penutur bahasa
Cia-cia itu sendiri.

Setelah adanya penelitian dari Korea pada 2006, dari hasil studi linguistik, bahasa Cia-cia memiliki
kemiripan dengan bahasa Korea dalam beberapa “fonem”.

Hasil dari penelitian ini, menyimpulkan bahwa agar bahasa Cia-cia tetap eksis dan terjaga, perlu adanya huruf tersendiri dan diusulkanlah menggunakan aksara Hangeul.

Tepatnya pada 21 juli 2009, atas kesepakatan pemerintah kota Baubau dengan lembaga riset Korea, huruf Hangeul resmi digunakan sebagai tulisan dari bahasa Cia-cia.

Meski, tidak semua warga Cia-cia bisa menuliskan bahsanya dalam bentuk tulisan, apalagi huruf hangeul, namun perlahan tulisan ini telah menyatu dengan suku Cia-cia.

Perancangan Blue Print dan Peningkatan Kesejahteraan Warga

Sejauh pengamatan kami, brand “Kampung Korea” yang dimiliki suku Cia-cia belum mampu memberikan efek peningkatan kesejahteraan yang signifikan bagi masyarakat suku Cia-cia sendiri.

Hal ini dibuktikan dengan kualitas hidup masyarakat Cia-cia yang masih di bawah rata-rata, serta banyaknya masyarakat Suku Cia-cia yang memilih merantau dibanding yang menetap.

Persoalan tersebut sebenarnya menjadi tantangan tersendiri bagi tim kami, yaitu Tim Cia-cia dari Universitas Hasanuddin yang beranggotakan saya sendiri, Atikah (Mahasiswi Antropologi 2015), Ali Muhasan (Mahasiswa Akuntansi 2014), dan Muh Taufik (Ilmu Ekonomi 2016) di bawah bimbingan Dr. Aini Indrijawati.

Untuk merancang blue print pengembangan pariwisata Kampung Korea Suku Cia-Cia melalui Program Kreativitas Mahasiswa bidang Penelitian Sosial-Humaniora (PKM P-SH) 2018.

Melalui blue print ini, saya pun berharap ini dapat menjadi batu loncatan bagi Kampung Korea suku Cia-cia sehingga mampu memberikan implikasi yang lebih besar bagi peningkatan lapangan pekerjaan dan ekonomi daerah.

Saya dan tim pun berharap penelitian ini dapat menjadi sumbangsih ide dan solusi kreatif bagi pemerintah Kota Baubau maupun seluruh stake holder setempat untuk mampu mewujudkan Kampung Korea Suku Cia-cia sebagai Little Seoul sehingga dapat dikenal lebih luas oleh wisatawan domestik maupun manca negara.

Satu hal yang penting, penggunaan tulisan Korea bagi suku Cia-cia di pulau Buton ini, tentunya semakin menambah keragaman budaya di Indonesia.

Dari catatan ini, saya berharap pembaca bisa terinspirasi, atau menyumbangkan ide untuk kami, sehingga bisa ikut membantu dalam membangun Indonesia menjadi lebih hebat dan lebih maju dari sekarang. Semangat Indonesia. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved