Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Refleksi Ramadan

REFLEKSI RAMADAN (9): Taat Aturan Lalulintas Meski Tanpa Ada Polisi, Seperti Inilah Beragama

Puasa adalah ritus paling jitu menempa sifat jujur dan ikhlas. Pusat pelatihan pendewasaan diri dalam beragama itu bernama puasa.

Editor: AS Kambie
dok.tribun
Wahyuddin Halim 

Oleh
Wahyuddin Halim
Antropolog Agama UINAM

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Ilmuan besar Albert Einstein pernah menulis, agama hanyalah “takhayul kekanak-kanakan”. Beberapa filosof memandang, agama lebih diperlukan manusia pada fase kanak-kanak. Sebab, potensi akalnya belum sepenuhnya teraktualkan untuk jadi pemandu dalam hidupnya.

Karena pengetahuannya hanya berasal dari pengalaman empiris yang spontan, seorang bocah masih butuh bimbingan orang dewasa untuk menjalani hidupnya dengan selamat.

Misalnya, memberitahu bahaya bermain api, memegang benda tajam, zat beracun dan binatang buas. Jika tidak, tentu dia dapat celaka. Anak kecil juga cepat mematuhi perintah atau menjauhi larangan jika dijanjikan imbalan atau diancam hukuman.

Menurut filosof, fungsi orang dewasa bagi seorang anak kecil yang akalnya belum sempurna sama dengan agama bagi manusia yang belum mampu mendayagunakan akalnya.

Logikanya, semakin seseorang mampu mengaktualkan potensi akalnya secara optimal kebutuhannya terhadap agama semakin berkurang.

Memang, sejumlah negara sekular atau ateis mampu sejahtera, aman dan damai walau hanya berdasarkan aturan moral-politik yang dibuat warganya secara rasional.

Tentu saja pandangan di atas terlalu ekstrem dan mengabaikan peran lain agama yang melampaui domain rasio.

Namun, pada ekstrem lain, masih banyak orang dewasa yang mengidap mental kanak-kanak dalam beragama karena mengabaikan peran akal. Misalnya, pengendara motor yang memakai helm atau pengendara mobil yang memasang sabuk pengaman hanya karena takut ditilang polisi.

Maka, jika tak melihat polisi, mereka tak mengenakan helm atau sabuk pengaman. Jika mau bersikap dewasa atau berpikir rasional, si pengendara harusnya tahu, helm atau sabuk pengaman berfungsi melindungi diri dari cedera berat jika terjadi kecelakaan.

Di bulan Ramadan, misalnya, ajaran tentang surga-neraka, halal-haram, dosa-pahala, dsb, masih jadi tema rutin ceramah. Orang-orang tiba-tiba begitu semangat menjalankan lebih banyak ritual agama daripada sebelumnya.

Bukan terutama karena tahu manfaat konkret dari ritual-ritual itu tapi karena pahalanya yang berlipat ganda. Atau karena harapan masuk surga dan ketakutan masuk neraka.

Sikap keberagamaan seperti ini tentu persis sifat seorang anak kecil. Begitu patuh jika ada imbalan atau ancaman hukuman. Takut melakukan sesuatu hanya jika tahu ada yang sedang mengawasi.

Sebuah mentalitas berbahaya jika seorang lebih merasakan ‘kejauhan’ Tuhan daripada ‘kehadiran’-Nya. Seakan Tuhan tidak Mahamelihat dan Mahahadir. Seperti prilaku seorang pengendara bermotor yang ugal-ugalan di jalan raya karena yakin tak ada polisi yang mengawasi.

Padahal, aturan berlalu-lintas dibuat semata untuk memastikan keselamatan para pengguna jalan, bukan untuk kepentingan polisi. Sama halnya, agama diciptakan untuk memastikan keselamatan manusia di dunia-akhirat, bukan demi kepentingan Tuhan.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved