Refleksi Ramadan
REFLEKSI RAMADAN (8): Ingin Lulus Madrasah Ruhaniah? Terapkan No pain No Gain!
menarik mengibaratkan proses belajar di sekolah dengan proses menempa diri dalam madrasah ruhaniah.
Oleh
Wahyuddin Halim
Antrpolog Agama UINAM
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Puasa di bulan Ramadan biasa disematkan fungsi sebagai madrasah ruhaniah, sekolah untuk mencetak manusia-manusia bergelar muttaqin. Cukup menarik mengibaratkan proses belajar di sekolah dengan proses menempa diri dalam madrasah ruhaniah.
Di sekolah, untuk menjadi tamatan yang baik, seorang murid harus menempuh semua proses pembelajaran. Namun, agar menjadi luaran ideal dari satu sekolah, prosesnya tentu tak mudah.
Selain harus sabar mengikuti setiap tahap-tahap pembelajaran dalam waktu lama, seorang murid juga harus mampu menghayati setiap pelajaran. Dalam banyak kasus, ada murid yang dapat mencapai tahap akhir dalam program sekolah walau tidak memiliki kualifikasi tamatan yang ideal. Kok bisa?
Pertama, dia masuk sekolah mungkin karena terpaksa. Misalnya karena kehendak sepihak orang tua saja. Baginya, sekolah hanya sebagai beban dan derita. Maka, selama masa sekolah, dia hanya belajar sekadarnya. Yang penting tidak dimarahi orang tua. Tiap hari dia masuk kelas, walau tak memahami pelajaran.
Kedua, boleh jadi dia menganggap sekolah itu perlu tapi targetnya yang penting lulus. Kelulusan dipahami sebatas pencapaian nilai kuantitatif.
Maka yang dikejar adalah lulus dengan nilai ujian akhir yang tinggi. Perkara apa dia memahami tujuan tertinggi pengajaran tiap mata pelajaran, itu soal lain.
Cara-cara instan memperoleh nilai tinggi dalam ujian seperti mencontek atau plagiat pun dianggap biasa. Jika tidak dilihat guru atau kepala sekolah, dia terbiasa melanggar tata tertib sekolah. Begitulah juga dengan gelagat sebagian murid madrasah ruhaniah.
Pertama, ada yang justru resah dan gelisah setiap kali akan masuk madrasah (bulan Ramadan).
Kalau bukan karena kewajiban (sebagai Muslim) dia takkan masuk madrasah. Karena tidak disertai minat dan kesabaran, cara belajar dia di madrasah pun asal-asalan.
Yang penting bisa bertahan hingga tahap terakhir. Soal apa setiap pelajaran madrasah bermanfaat bagi dirinya, itu tak penting. Kerapkali dia mengeluhkan beratnya program-program madrasah. Makanya, dia tidak sepenuhnya mematuhi perintah dan larangan yang berlaku di madrasah.
Kedua, memang dia tak banyak alpa masuk kelas (bersalat tarawih di masjid). Namun, dia selalu memilih masjid yang ritme salatnya paling cepat (kelas akselerasi). Tokh, baginya, yang penting banyaknya jumlah rakaat. Dia suka pilih-pilih mata pelajaran (ibadah).
Yang rajin dia ikuti hanya yang prosentasi nilainya (pahala) tinggi. Dia juga baru bergairah ikut pelajaran jika kelasnya ramai atau melibatkan banyak orang. Dia malas belajar sendiri (salat tahajud) di rumah. Yang juga dia sukai dari madrasah, setelan baju seragam (pakaian salat dsb) dan aksesorisnya.
Walhasil, si murid memang dapat ikut bersuka-ria di acara penamatan (Idulfitri), walau tak mencerminkan sosok ideal tamatan madrasah ruhania. Sebab, untuk berhasil meraih gelar muttaqin, seorang murid harus punya niat tulus dan minat bermadrasah.
Berikutnya, sabar, ikhlas, yakin, dan optimistis menjalani semua program madrasah secara kualitatif dan komprehensif ketimbang secara kuantitatif dan selektif. Tak ada jalan pintas untuk meraih predikat alumni ideal madrasah ruhaniah. No pain no gain!(*)
LANTAS, bagaimana membangun kesadaran beragama secara orang dewasa: sadar, rasional, mandiri, berdisiplin, tekun, bertanggung jawab, dan sebagainya dalam Ramadan?
Baca Refleksi Ramadan di Tribun Timur cetak edisi Jumat, 25 Mei 2018