20 Tahun Reformasi, Ini Sikap PMKRI Makassar
Oleh karena itu, dalam rangka 20 tahun Reformasi ini, PMKRI mendesak pemerintah untuk:
Penulis: Alfian | Editor: Suryana Anas
Laporan Wartawan Tribun Timur, Alfian
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR -Sejarah harus dikenang sebagai sebuah pengakuan akan ingatan kolektif
tetang peristiwa yang telah mati di masa lalu.
Pengakuan itu harus jujur dan telanjang agar peristiwa itu kembali hidup dalam relung kolektivitas untuk menerimanya dengan lapang dada demi menyongsong masa depan.
Sejarah menjadi berharga ketika ia diakui dengan jujur, menjadi kekuatan transformatif yang membawa angin perubahan. Namun, sejarah, yang beredar dalam lembar ingatan kolektif, cenderung merupakan suatu peristiwa yang ditulis oleh pemenang.
Sejarah yang demikian hanya mungkin masuk ke dalam ingatan lewat cara indoktrinasi dan tidak membawa perubahan selain kepalsuan dan kesemuan serta penderitaan belaka. Sejarah yang dipalsukan membuat orang lupa akan kebenaran di baliknya dan tidak ada lagi harapan bagi mereka yang menjadi korban dari peristiwa.
21 Mei, Indonesia merayakan 20 tahun peristiwa bersejarah bangsa ini. 21 Mei 1998 menjadi salah satu tonggak sejarah penting karena kita pada akhirnya berhasil menghirup udara bebas demokrasi setelah melengserkan tirani Orde Baru berwujud Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun di Republik Indonesia.
Lengsernya penguasa tiran Soeharto bukan tanpa korban berjatuhan. Tercatat aktivis-aktivis pro demokrasi hilang diculik oleh Tim Mawar, pasukan elit TNI Angkatan Darat (Kopassus), mereka adalah: Aan
Rusdiyanto, Andi Arief, Desmond J. Mahesa, Faisol Reza, Haryanto Taslam, Mugiyanto, Nezar Patria, Pius Lustrilanang, Raharja Waluya Jati, Dedy Umar Hamdun, Herman Hendrawan, Hendra Hambali, Ismail, M. Yusuf, Noval Al Katiri, Petrus Bima Anugrah, Sony, Suyat, Ucok Munandar Siahaan, Yadin Muhidin, Yani Afri, Wiji Thukul, Abdul Naser, dan Leonardus Nugroho.
Sembilan nama yang disebut pertama kembali dan menjalani kehidupan normal sebagai warga negara, sementara itu 13 nama berikutnya hilang tanpa jejak hingga hari ini, dan nama terakhir ditemukan tewas dengan luka tembak.
Delapan hari menjelang lengsernya Soeharto 12 mei 1998,empat orang Mahasiswa Universitas Trisakti tewas ditembak oleh aparat. Hendriawan Sie,Elang Mulia Lamana,Hery Hartanto,Hafidhin Royan,adalah empat orang mahasiswa mahasiswa yang meregang nyawa akibat tindakan berutal dan immoral dari aparat keamanan.
Itulah skelumit pelanggaran hak asasi manusia yang menjadi harga yang harus dibayar mahal oleh bangsa indonesia untuk hidup dalam alam demokratik 20 tahun sudah gerakan reformasi membuka jalan menuju ke gerbang demokrasi yang egaliter dan bebas dengan keenam tuntutannya, namun selama itu pula angin segar perubahan tidak lekas datang.
Sejarah dibungkam oleh penguasa-penguasa yang berkuasa begitu rupa, sehingga yang hilang diculik tidak pernah jelas nasibnya, penembak keempat mahasiswa Trisakti tidak pernah jelas siapa pelakunya. Upaya untuk membongkar peristiwa Trisakti di jalan hukum membuah hasil yakni pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc sesuai dengan UU Nomor 26 Tahun 2006, namun pemerintah tidak memiliki kehendak politik untuk menyelesaikannya.
Kejaksaan Agung enggan menyelesaikan kasus tersebut, sama sekali tidak punya niat untuk menuntaskan pelanggaran Hak Asasi Manusia. 2014 silam, dalam pilpres, kita sedikit terhibur dengan hadirnya Joko Widodo ke pentas kontestasi kepemimpinan dengan janji-janji manis untuk menuntaskan persoalan-persoalan HAM.
Namun, hingga saat ini, tidak satupun dari komitmen penuntasan pelanggaran HAM yang dijanjikan Jokowi pernah direalisasikan. Janji Jokowi hanyalah pepesan kosong untuk meraih suara, meraih simpati publik demi mengalahkan lawan politiknya pada waktu itu.
Keengganan Presiden dalam menyelesaikan persoalan HAM bukan saja karena tidak memiliki kehendak untuk melaksanakan hal itu, tetapi juga karena beliau disandera oleh kepentingan-kepentingan elit dan militer yang mengepung istana. Selain mandegnya penyelesaian HAM, upaya untuk melakukan reformasi di bidang hukum nyaris tidak berjalan efektif.
Hukum kita tumpul ke atas kepada penguasa, sementara tajam ke bawah menindas yang lemah. Pelaku penembakan di Deiyai 2017 silam yang berasal dari kalangan polisi hanya divonis minta maaf. Sistem hukum kita sama sekali tidak mampu mengantisipasi tindakan korupsi. Oleh karena itu, dalam rangka 20 tahun Reformasi ini, PMKRI mendesak pemerintah untuk:
1. Tuntaskan Amanat Reformasi
2. Mendesak Presiden RI menyelesaikan kasus pelanggaran HAM 98 (Penculikan Aktivis dan
3. Menegakkan supermasi hukum agar hukum menjadi panglima penegak keadilan
4. Mendesak presiden RI untuk mengevaluasi Kapolri dan kepala BIN atas
peristiwa teror yang terjadi di Mako Brimob,Surabaya,Sidoarjo Tahun Reformasi