Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Refleksi Ramadan

REFLEKSI RAMADAN (3): Ketika Speaker Masjid Jadi Ukuran Keimanan dan Ghirah Beragama

Umumnya, warga sudah punya weker, smart phone, atau TV yang bisa berfungsi sebagai alarm pembangun

Editor: AS Kambie
dok.tribun
Wahyuddin Halim 

Oleh
Wahyuddin Halim
Antropolog Agama

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Apakah kerasnya volume corong pelantang (loud speaker) masjid yang mengelegarkan rekaman tilawah Al-Qur’an, salawat tahrim dan azan-iqamah menyebabkan lebih banyak orang yang datang bersalat jamaah di masjid tersebut?

Pertanyaan itu perlu diajukan, terutama di bulan Ramadan, saat masjid-masjid yang berdekatan seakan berlomba melantangkan rekaman pembacaan Al-Quran, salawat tahrim, azan, ceramah dan pelaksanaan salat tarawih lewat menara mereka.

Di awal tahun 2000-an, MUI Makassar pernah mengeluarkan edaran yang mengatur volume dan durasi pelantang masjid memutar pengajian Al-Qur’an atau salawat sebelum tiba waktu azan.

Sayangnya, tidak banyak pengurus masjid yang mau mematuhi. Wapres Budiono pernah mengusulkan perlunya deregulasi terkait pelantang masjid. Tapi sebelum memahami maksudnya, banyak pihak langsung murka.

Wapres Jusuf Kalla juga lebih dari sekali mengusulkan adanya aturan tegas tentang volume dan durasi pelantang masjid dibunyikan menjelang waktu salat.

Tapi, para pengurus masjid tetap saja secara arbitrer menentukan jenis, durasi, dan volume suara yang digaungkan lewat corong menara masjid mereka. Yang mencoba protes biasanya langsung dinilai lemah iman atau ghirah beragama.

Mungkin tidak banyak yang ingat peristiwa di akhir Juli 2016 di Tanjung Balai, Sumatera Utara. Delapan tempat ibadah umat Buddha (Vihara dan Kelenteng) dirusak gegara seorang warga keturuan Tionghoa beragama Buddha mengajukan keberatan terhadap kerasnya volume suara azan maghrib yang dikumandangkan dari masjid setempat.

Selama Ramadan beberapa tahun silam, sejumlah masjid di Makassar menggemakan rekaman ceramah sejumlah dai kondang jauh sebelum datangnya waktu imsak.

Memasuki Ramadan tahun ini, masih ada beberapa Masjid yang menyetel rekaman pembacaan Al-Qur’an sejak waktu imsak hingga azan subuh lewat pelantang luar.

Padahal, sangat mungkin saat-saat sebelum imsak, ada warga Muslim sekitar masjid yang baru bersalat malam sendirian di rumah. Mereka tentu perlu keheningan. Yang lain mungkin masih butuh tidur nyenyak setelah salat tarawih beberapa jam sebelumnya.

Sering terdengar pengurus masjid membangunkan warga sekitar untuk sahur lewat pelantang masjid. Ada yang cukup berteriak keras “Sahur, sahur, sahur,” ada juga yang berceramah singkat.

Membangunkan warga lewat pelantang atau beduk masjid tentu saja mulia, asal tidak cenderung ngotot. Tapi, bukankah teknologi saat ini jauh lebih canggih?

Umumnya, warga sudah punya weker, smart phone, atau TV yang bisa berfungsi sebagai alarm pembangun. Lagipula, bisa bangun salat malam dan sahur adalah soal niat, tekad dan kebiasaan.

Para pembela penyetelan pelantang masjid yang nyaring dan berdurasi lama biasanya punya argumen standar: untuk syiar Islam dan kesemarakan agama.

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved