6 Pengakuan Setya Novanto di Sidang Korupsi KTP Elektronik, 2 Menteri 1 Gubernur Tersudut
Tiap kesaksiannya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat selalu jadi topik pemberitaan.
TRIBUN-TIMUR.COM - Setya Novanto membuktikan kata-katanya siap bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuat kasus korupsi KTP elektronik terang-benderang.
Tiap kesaksiannya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat selalu jadi topik pemberitaan.
Yang terbaru, kesaksiannya di sidang lanjutan KTP Elektronik di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada Kamis (22/3/2018), membuat Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung memberi klarifikasi.
Di awal persidangan, mantan Ketua DPR itu sudah menangis dan meminta maaf kepada rakyat Indonesia atas perbuatannya dinilai tidak pantas.
Kemudian, ia mulai "bernyanyi" dan menyebut beberapa nama politisi yang mayoritas berasal dari partai penguasa.
Ada pula pernyataan yang dalam kesaksian sebelumnya dibantah, tapi kemudian dia akui.
Atau justru sebaliknya, ia bantah sudah terjadi.
Berikut enam di antara kesaksian Setya Novanto di Pengadilan Tipikor:
1. Akhirnya mengakui terima arloji mewah Richard Mille
Novanto sebelumnya membantah pernah menerima arloji mewah Richard Mille dari Direktur PT Biomorf, Johannes Marliem dan makelar proyek Andi Agustinus di tahun 2012 lalu.
Arloji tersebut asli dibeli secara patungan oleh Marliem dan Andi di Beverly Hills, Amerika Serikat seharga lebih dari Rp 1,5 miliar.
Tapi, di persidangan, mantan Ketua Umum Partai Golkar tersebut mengaku sudah menerima arloji mewah itu dari pengusaha Andi Agustinus.
"Ya, yang saya terima tipe RM 011 kalau gak salah warnanya kuning. Jam itu diberikan Andi. Tapi, waktu diberikan di rumah saya beberapa kali sempat mati, dua atau tiga kali," ujar Novanto.
Namun, uniknya, Novanto membantah arloji tersebut diterima sebagai kado ulang tahun di tahun 2012 lalu.
Ia mengatakan jam mewah itu diterima tahun 2016.
"Saya demi Tuhan, (tidak pernah terima jam) di tahun 2012. Gak pernah," kata dia.
Bahkan, ketika Jaksa Penuntut Umum (JPU) mencecar soal pengakuan Marliem ke Biro Investigasi Federal Amerika Serikat (FBI) terkait jam tersebut, Novanto tetap membantahnya.
Kepada FBI, Marliem mengaku memberikan suap ke Novanto pada tahun 2012 lalu. Sementara, dalam aturan hukum di Amerika Serikat, tidak boleh ada aliran dana suap atau gratifikasi ke pejabat negara asing,
"Jadi, Marliem sengaja menyimpan jam tangan itu selama empat tahun lalu baru dikasih ke Anda di tahun 2016?," tanya JPU.
"Saya gak tahu, Pak Basyir. Tapi sumpah demi Allah, masa saya berbohong. Saya baru terima jam itu di tahun 2016," katanya.
Ia juga membantah pernah membawa arloji itu ke sebuah toko tersebut untuk mengganti warna talinya dari emas ke hitam.
"Itu tidak benar, Pak," katanya lagi.
2. Akui ada pertemuan dengan Ganjar Pranowo di Bandara Ngurah Rai
Novanto akhirnya mengakui bahwa ia memang pernah bertemu dengan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, di Bandara Ngurah Rai, Bali sekitar tahun 2010-2011.
Novanto juga mengakui sempat menitipkan pesan kepada Ganjar agar jangan terlalu galak dalam pembahasan proyek KTP Elektronik ketika dilakukan rapat di DPR.
"Itu kemarin saya di sidang, katanya terima uang. Kata dia, itu urusannya sama Chairuman dan saya mengatakan itu ke dia, menyampaikan jangan galak-galak," tutur dia.
Kesaksian Novanto ini dibantah oleh Ganjar Pranowo.
3. Akui campur tangannya dalam proyek KTP Elektronik terlalu berlebihan
Novanto mengakui sebagai Ketua Fraksi Golkar, apa yang ia lakukan di proyek KTP Elektronik terlalu berlebihan.
Beberapa hal yang ia akui dilakukan dan di luar kewenangannya yakni mengundang para pemilik perusahaan yang menang dalam tender proyek KTP Elektronik untuk sarapan di kediamannya, menyarankan perusahaan pembuat kartu yang dapat memproduksi dengan lebih murah, hingga bertemu dengan pihak Kemendagri.
Novanto berkelit, itu semua ia rela lakukan demi kesuksesan proyek KTP Elektronik. Walaupun, pada faktanya hingga saat ini masih banyak rakyat Indonesia yang tidak memiliki KTP.
"Saya itu orangnya kalau ada kesulitan, selalu bawaanya ingin menolong. Saya minta maaf memang seharusnya saya membatasi diri. Sampai akhirnya kena masalah seperti ini," kata dia.
4. Akui terima uang Rp 5 miliar
Sejak awal, Novanto mengakui tidak pernah sedikit pun terima uang dari proyek KTP Elektronik. Bahkan, ketika tahun lalu, ia ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novanto mengaku sudah dizalimi.
Namun, dalam persidangan hari ini, ia mengaku sudah mengembalikan uang senilai Rp 5 miliar ke KPK pada Kamis (15/03) melalui istrinya, Deisti Asriani Tagor.
"Melalui persidangan ini, atas kesadaran sendiri melalui istri saya, saya telah melakukan pengembalian uang sebesar Rp 5 miliar ke rekening KPK. Saya lakukan itu sebagai pertanggung jawaban, mengingat pada akhir 2011 Andi Narogong merealisasikan pemberian ke beberapa anggota dewan," tutur dia pagi tadi.
Padahal, di surat dakwaan, Novanto disebut menerima fee sebesar 5 persen atau setara US$ 7,3 juta (Rp 97 miliar).
5. Mengakui kenal pengusaha Andi Agustinus
Kalau sebelumnya Novanto bolak-balik membantah kenal pengusaha Andi Agustinus, maka kali ini, ia mengaku kenal dengan pria yang sudah divonis 8 tahun penjara tersebut.
Bahkan, ia membenarkan pernah sarapan di kediamannya dan bertemu di ruang kerja di lantai 12 gedung DPR.
Di mata beberapa pejabat Kementerian Dalam Negeri, Andi bahkan terlihat sering wara-wiri di gedung DPR. Hingga muncul lah persepsi, Andi adalah orang kepercayaan Novanto.
Walau mengaku kenal, tapi ia mengesankan hubungannya dengan Andi sebatas hanya pengusaha konsorsium. Bahkan, jam Richard Mille dari Andi disebut cara pengusaha itu melobi Novanto.
"Andi Agustinus itu pintar mencuri hati orang. Dia pintar melobi orang," kata dia.
Sebagian pihak menduga "nyanyian" Novanto ini ia sampaikan agar berpengaruh terhadap status justice collaborator (JC) yang pernah diajukan. Pasalnya, kalau JC-nya dikabulkan, maka Novanto bisa terhindari dari hukuman penjara 20 tahun.
6. Sebut Nama Pramono Anung dan Puan Maharani
Terdakwa kasus korupsi pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP) Setya Novanto menyebut ada uang hasil korupsi yang mengalir kepada dua politisi PDI Perjuangan Puan Maharani dan Pramono Anung.
Menurut Novanto, keduanya masing-masing mendapatkan 500.000 dollar Amerika Serikat.
Hal itu dikatakan Novanto saat sidang pemeriksaan terdakwa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (22/3/2018).
"Bu Puan Maharani Ketua Fraksi PDI-P dan Pramono adalah 500.000. Itu keterangan Made Oka," kata Setya Novanto kepada majelis hakim.
Menurut Novanto, suatu saat pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong dan Made Oka Masagung datang ke kediamannya.
Menurut Novanto, saat itu Oka menyampaikan bahwa ia sudah menyerahkan uang kepada anggota DPR.
"Saya tanya, 'Wah untuk siapa?'. Disebutlah tidak mengurangi rasa hormat, saya minta maaf, ada Andi untuk Puan Maharani 500.000 dan Pramono 500.000," kata Novanto.
Saat majelis hakim mengonfirmasi ulang keterangan itu, Novanto menegaskan bahwa ia hanya mendengar soal penyerahan uang kepada anggota DPR itu dari Oka Masagung dan Andi Narogong.
Pramono dan Puan tidak termasuk dalam daftar penerima aliran dana korupsi e-KTP yang disusun jaksa KPK dalam dakwaan.
Keduanya juga belum pernah diperiksa sebagai saksi oleh KPK.
Pramono dan PDI-P Bantah Novanto
Pramono Anung membantah pernyataan Novanto.

Ia menegaskan, saat proyek e-KTP bergulir, ia memang menjabat Wakil Ketua DPR RI.
Namun, jabatannya itu tak berkaitan dengan Komisi II yang membahas proyek e-KTP.
"Periode 2009-2014, saya pimpinan DPR yang membawahi dan mengkoordinasikan Komisi IV sampai dengan Komisi VII. Sama sekali tidak berhubungan dengan Komisi II dan juga sama sekali tidak berhubungan dengan Badan Anggaran," ujar Pramono saat dijumpai di Kompleks Istana Presiden, Jakarta Kamis.
"Logikanya, kalau ada yang memberi (uang), pasti yang berkaitan dengan jabatan dan kedudukannya. Dalam hal ini, saya tidak pernah ngomong satu katapun yang berkaitan atau berurusan dengan e-KTP," lanjut Sekretaris Kabinet itu.
Sementara itu, Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto juga membantah pernyataan Novanto mengenai keterlibatan Puan Maharani.
Hasto mengatakan, saat proyek e-KTP dijalankan, PDI-P sebagai oposisi tidak memiliki menteri di pemerintahan sehingga tidak ikut mendesain.
Karena itu, ia merasa saat ini seolah ada upaya menyudutkan PDI-P melalui kasus tersebut.
"Kami bukan dalam posisi designer, kami bukan penguasa. Dengan demikian, atas apa yang disebutkan oleh Bapak Setnov (Setya Novanto), kami pastikan tidak benar, dan kami siap diaudit terkait hal tersebut," kata Hasto melalui keterangan tertulis, Kamis.
Ia menambahkan, saat ini seperti ada upaya seorang terdakwa menyebutkan banyak nama di dalam persidangan agar dijadikan justice collaborator (JC).
Hasto menilai, apa yang dilakukan Novanto dengan menyebut nama Puan dan Pramono sebagai upaya mendapatkan status JC yang akan meringankan dakwaan.
Hasto juga mengatakan, PDI-P justru memiliki konsep e-KTP yang berbeda dengan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat itu.(idntimes/tribun-timur.com/kompas.com)