Kisah Perjuangan Seorang Guru di Pedalaman Maros, 'Hadapi Ular, Babi dan Monyet Liar Sudah Biasa'
Setiap hari Nurjannnah, harus berjalan kaki sejauh 15 kilometer untuk sampai di Dusun Bara.
Penulis: Ansar | Editor: Ardy Muchlis
Untuk mengajari anak didiknya, Nurjannah harus berangkat dihari Senin pagi dan baru masuk mengajar pada Selasa keesokan harinya.
Ia pun harus bermalam di rumah kepala Dusun hingga Jumat.
Terkadang, Jannah juga harus mengurungkan niatnya untuk mengajar karena kendala tidak bisa menyeberangi sungai yang sedang banjir.
Sementara dari lima sungai yang akan diseberangi, hanya satu yang memiliki jembatan gantung.
"Kedalaman sungai saat musim hujan bisa mencapai leher orang dewasa. Arus air juga deras sehingga sangat sulit diseberangi," katanya.
Gadis kelahiran 25 November 1994, merupakan potret guru sukarela yang pantang menyerah.
Dia satu-satunya pengajar yang ada di Dusun Bara yang mengajari 53 murid Madrasah Ibtidaiyah DDI Bara, 45 murid Kelompok Bermain Almubarak Bontosomba dan 20 siswa MTS DDI Bara.
Untuk memaksimalkan didikannya, Nurjannah harus cerdas membagi waktu untuk anak didiknya. Pagi hari hingga pukul 9.00 wita dimanfaatkan untuk membimbing murid Kelompok Bermain.
Kemudian hingga pukul 12.00 wita dilanjutkan dengan mengajari murid Ibtidaiyah, dan pukul 13.30 wita hingga sore mengajari siswa Tsanawiah.
Dari perjuangannya, Nurjannah layak disebut pejuang pendidikan tanpa pamrih.
Gajinya yang hanya 300 ribu perbulan. Namun tidak pernah dipersoalkan meskipun kadang diterima setelah tertunda 7 bulan lamanya.
"Saya harus fokus bagaimana tetap bisa mengajar di Dusun Bara dan mencerdaskan mereka apapun kondisi keterbatasan yang dialami," katanya.
Nurjannah selalu bercermin pada dirinya sendiri yang pernah merasakan susahnya mendapatkan pendidikan.
Semasa SD, dia harus berjalan sejauh tiga kilometer setiap hari untuk ke sekolah. Setelah SMP hingga Bangku kuliah, dia harus berjuang mencari rejeki untuk biaya sekolahnya, meskipun harus jadi pembantu pencuci piring.
Perjuangan tersebut akhirnya melahirkan komitmen kuat dalam dirinya agar generasi di dusun yang tidak terjangkau fasilitas pendidikan, juga bisa mengenyam manisnya bangku sekolah.
Mahasiswi Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Makassar ini berharap, pendidikan di daerah terpencil juga bisa mendapat perhatian, baik dari Pemerintah dan kementrian Agama.
"Masa depan adik-adik kita di dusun terpencil ini menjadi tanggung jawab kita semua, tanpa peduli besar kecilnya usaha dan perhatian kita untuk mereka," katanya.