Tergiur Keuntungan, IRT di Lapas Maros Jadi Kurir Sabu
Asra mengaku mulai mengenal narkoba sejak tahun 2009. Saat itu dia masih tinggal di Papua sebagai pekerja
Penulis: Ansar | Editor: Anita Kusuma Wardana
Laporan Wartawan Tribun Timur, Ansar Lempe
TRIBUN-TIMUR.COM, MAROS - Tiga narapidana kasus narkoba yakni seorang IRT yang jadi kurir sabu, Asra dan dua pemakai Fadli dan Indra menjadi pemateri tentang dampak sabu bagi kesehatan di aula Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas II A Maros, Minggu (8/10/2017).
Ketiganya menjelaskan dampak narkoba dari segi kesehatan saat Duta Anti Narkoba Gerakan Nasional Anti Narkotika (Granat) Maros berkunjung ke Lapas.
Asra mengaku mulai mengenal narkoba sejak tahun 2009. Saat itu dia masih tinggal di Papua sebagai pekerja. Awalnya dia hanya mencoba komsumsi narkoba, lalu ketagihan.
"Kita terjerat narkoba karena pengaruh dari teman-teman. Kalau sudah komsusmi kita bisa semakin semengat. Awalnya, saya hanya dikasi sama teman. Tapi setelah itu teman minta saya untuk menjual," katanya saat menyambut Duta Anti Narkoba Granat di aula Lapas Klas II A Maros.
Asra kemudian memutuskan untuk menjadi kurir sabu dan kembali ke Makassar. Saat itu, Asra kemudian mencari bandar sabu dan membelinya.
Beberapa tahun, Asra berhasil mengirim sabu ke Papua dan ditujukan kepada sejumlah teman perempuannya yang juga menjadi pecandu narkoba.
"Banyak teman-teman arisan saya di Papua komsumsi sabu. Bahkan di sana, suami istri saja sudah komsumsi. Saya terus mengirim dari Makassar ke Papua melalui ekspedisi," katanya.
Asra nekat menjual sabu karena keuntungan yang didapatkannya menggiur. Sabu seharga Rp 1 juta di Makassar dijual di Papua dengan harga Rp 4 juta.
Untuk mengelabui keluarga dan tetangganya, Asra berbisnis pakaian secara online. Namun bisnis tersebut tidak dikelola dengan baik. Dia lebih aktif urus sabu.
"Keuntungan cukup besar. Selain menjual kita juga bisa pakai. Saya tidak sampai kecanduan sabu. Hanya sekali-kali komsumsi. Keluarga baru tahu setelah masuk di sini (Lapas)," katanya.(*)