Wanita Berhijab Ini Mantan Narapidana KPK, Blak-blakan Dapat Fasilitas Setelah Kerja Sama KPK
Penetapan tersangka sebagai JC diharapkan membantu penegak hukum dalam membongkar kejahatan lebih besar atau pelaku lain yang bertanggung jawab.
TRIBUN-TIMUR.COM - Evy Susanti, mantan narapidana korupsi menyarankan tersangka korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mengajukan diri sebagai justice collaborator.
Evy mengungkapkan banyak fasilitas yang diperoleh setelah menjadi JC. Salah satunya mendapatkan remisi. Karena jadi JC, Evy bebas lebih cepat. Padahal wanita berhijab ini masuk penjara bersama suaminya Gatot Pujo Nugroho karena kasus suap.
Baca: Tragis! PNS Ini Sebut Mata Jenderal Gatot 5 Watt, Digiring ke Markas Kodim. Tiru Nikita Mirzani?
Istri mantan Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho, ini menyatakan bahwa menjadi justice collaborator (JC) dalam kasus korupsi bukanlah karena sebuah jebakan.
JC diketahui merupakan saksi pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum.
Baca: Ternyata! Ada 8 Jenderal Mau Diculik PKI di Malam G30SPKI, Siapa Brigjen Ahmad Soekendro?
Penetapan seorang tersangka sebagai JC diharapkan membantu penegak hukum dalam membongkar kejahatan lebih besar atau pelaku lain yang semestinya bertanggung jawab.
Evy merupakan mantan terpidana kasus suap terhadap hakim Pengadilan Tata Usaha Negara di Medan bersama suaminya, Gatot Pujo.
Dengan menjadi JC, Evy merasa lebih terbantu, salah satunya bisa memperoleh remisi.

Sebab, pelaku tindak pidana korupsi tidak bisa mendapat remisi kecuali ditetapkan sebagai JC.
"Jadi jangan salah persepsi soal JC. Kalau JC nanti dipikirnya, 'Oh ini jebakan'. Padahal bukan. JC ini sangat berguna," kata Evy usai mendatangi gedung KPK di Kuningan, Jakarta, Rabu (4/10/2017).
Kini Evy sudah menghirup udara segar setelah menjalani hukumannya.
Evy divonis 2 tahun 6 bulan dalam kasus suap yang melibatkan suaminya itu.
Namun, karena ditetapkan sebagai JC, Evy mendapat remisi sehingga hukumannya berkurang 6 bulan 15 hari.
Mungkin, lanjut Evy, mereka yang berurusan dengan kasus di KPK merasa tidak perlu menjadi JC.
Namun, berdasarkan pengalamannya itu, dia menyarankan mereka yang menjadi tersangka di lembaga antirasuah mempertimbangkan menjadi JC.
"Saya terbantu sekali dengan adanya JC. Pokoknya bagi teman-teman saya yang jadi tersangka di sini, ambil, pertimbangkan untuk mendapatkan fasilitas yang disarankan penyidik untuk mengambil JC," ujar Evy.
Evy mengatakan, tidak semua orang bisa ditetapkan sebagai JC. Menurut dia, JC hanya ditawarkan kepada mereka yang bukan pelaku utama.
"Yang pasti sih saya Alhamdulillah, berkat JC (dapat remisi total) 6 bulan berharga. Satu hari di penjara itu luar biasa berat sekali. Tapi dengan JC itu semoga jadi pengalaman buat saya, dan ke depan teman-teman ambil," ujar Evy.
Hakim Pengadilan Tipikor dalam vonisnya menyatakan Evy dan suaminya Gatot terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana pasal dalam dakwaan.
Selain divonis dipenjara selama beberapa tahun tadi, keduanya juga diharuskan membayar denda sebesar Rp 150 juta. Apabila tidak dibayarkan, maka diganti dengan hukuman kurungan 3 bulan penjara.
Hakim menganggap keduanya terbukti melakukan penyuapan kepada hakim Pengadilan Tata Usaha Negara di Medan, serta kepada mantan Sekretaris Jenderal Partai Nasdem Patrice Rio Capella.
Dalam dakwaan pertama, Gatot dan Evy dianggap terbukti menyuap 3 hakim dan 1 panitera PTUN Medan sebanyak 27.000 dollar AS dan 5.000 dollar Singapura.
Keduanya dianggap melanggar Pasal 6 ayat 1 huruf a dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Suap tersebut dimaksudkan untuk memenangkan gugatan atas uji kewenangan penyelidikan Kejaksaan Tinggi Sumut.
Uang suap diberikan melalui pengacara Gatot dan Evy, yaitu Otto Cornelis Kaligis serta Muhammad Yagari Bhastara alias Gary yang merupakan anak buah Kaligis.
Selain itu, dalam dakwaan kedua, Gatot dan Evy dianggap terbukti menyuap politisi Partai Nasdem saat itu, Rio Capella sebesar Rp 200 juta.
Uang tersebut diberikan untuk mengamankan penyelidikan dugaan korupsi di Kejaksaan Agung. Rio diandalkan sebagai perantara ke Jaksa Agung HM Prasetyo agar penyelidikan tidak berlanjut.