OPINI: Ahlan wa Sahlan Haji
Idealnya, ibadah haji membawa manfaat yang lebih riil bagi masyarakat kita sebagaimana praktik berhaji para ulama dahulu.
Nurul Ulmi Mansur
Mahasiswi Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga-Yogyakarta asal Kabupaten Pinrang
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Pelaksanaan ibadah haji sudah selesai. Sebagian jamaah haji telah meninggalkan Tanah Suci. Begitupula dengan jamaah haji Indonesia, sebagian telah tiba kembali di tanah air. Indonesia termasuk salah satu negara yang antusias masyarakatnya besar dalam menunaikan rukun Islam terakhir ini. Maklum saja, 80% penduduk Indonesia beragama Islam.
Besarnya jumlah jamaah haji Indonesia diharapkan memberi manfaat besar dan nyata bagi perbaikan masyarakat di negeri ini. Harapan seperti ini layak dibebankan di atas pundak para alumni haji kita. Bahwa tugas mereka bukan hanya menyelesaikan syarat dan rukun haji tapi juga menerjemahkan nilai-nilai haji dalam kehidupan nyata di negeri ini. Berhaji bukan hanya untuk diri sendiri melainkan juga untuk negeri.
Begitu banyak nilai-nilai positif dalam haji dapat diimplementasikan dalam perbaikan kehidupan di negeri ini. Salah satu contohnya sikap toleransi. Ketika jamaah berada di tanah suci, ratusan ribu orang yang berasal dari berbagai suku bahkan negara. Jenis kulit yang berbeda-beda, pangkat sosial, kekayaan maupun keturunan tak membuat mereka saling mencela dan mengejek.
Ini pelajaran yang sungguh penting untuk amalkan dalam kehidupan kita saat ini. Nilai penting lain yang perlu dibawa pulang ke negeri ini adalah semangat intropeksi diri untuk perbaikan personal, keluarga, dan masyarakat.
Ironi
Faktanya, gelar haji yang disandang terkadang tidak membawa perubahan bagi pemiliknya apalagi bagi masyarakat luas. Ini adalah tragedi. Gelar hanyalah sebuah gelar, sebuah pelengkap nama tanpa makna. Ibadah haji kadang tak ubahnya ajang gengsi dan rekreasi di kalangan sebagian orang.
Antusias berhajinya hanya karena ingin dipandang dan dipuji oleh masyarakat lain. Pasalnya, sebagian kalangan menganggap dengan berhaji akan menaikkan strata sosial. Sehingga, mereka akan lebih dihormati di tengah masyarakat. Contohnya saja di Tanah Bugis Makassar ini, setiap kali ada acara pernikahan, Pak Haji dan Bu Hajjah biasanya yang akan mengambil posisi sebagai penjemput tamu.
Dengan pakaian khusus yang mereka kenakan, utamanya bagi kaum wanita, ada busana tersendiri bagi mereka yang dinamakan sebagai mispak. Bu hajjah akan berjejer di depan gedung untuk menyambut tamu. Hal ini adalah suatu kehormatan tersendiri bagi mereka.
Ini juga menyangkut masalah pengetahuan para jamaah haji. Manasik yang hanya dilakukan beberapa kali pertemuan terkadang tidak bisa mengcover semua pengetahuan tentang haji, apalagi bagi orang tua yang sudah lanjut usia. Mencerna pengetahuan sudah lebih sulit, ibarat mengukir di atas air.
Memang berhaji hanya butuh niat tetapi betapa indah dan utuhnya ibadah ini apabila sunnah-sunnah haji semua terlaksana, sehingga pemanfaatan waktu di tanah suci betul-betul dipenuhi dengan ibadah.
Banyaknya jamaah haji yang belum paham tata cara beribadah haji akan berdampak pada ketidaksahan haji mereka. Atau mereka tidak tahu amalan-amalan sunnah sehingga waktu untuk mengerjakan amalan sunnah biasanya diganti dengan ajang rekreasi semata.
Manfaat Nyata
Gelar haji memang sesuatu yang sangat wah di mata sebagian masyarakat Indonesia. Dengan bertambahnya gelar di bagian depan nama dan nama panggilan sehari-hati, membuat status sosial orang yang telah berhaji akan meningkat.
Setidaknya para haji berkaca pada sinetron tukang bubur naik haji yang ditayangkan di salah satu channel televisi sebanyak 2.180-an episode. Bagaimana kehidupan seorang haji yang dermawan dan baik hati seperti Haji Sulam, bukan malah seperti Haji Muhidin yang selalu memamerkan harta kekayaannya. Ini minimal.
Tapi idealnya, ibadah haji membawa manfaat yang lebih riil bagi masyarakat kita sebagaimana praktik berhaji para ulama dahulu. Berhaji bukan hanya ibadah personal tapi juga pendalaman keilmuan sekaligus sarana untuk berkomunikasi dengan umat Islam lain dalam melawan penjajahan.
Mari kita tengok sosok KH Hasyim Asyhari ataupun KH Ahmad Dahlan. Sepulangnya mereka dari tanah suci, keduanya mendirikan organisasi masyarakat (ormas) yakni Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Berangkat haji sekaligus menimba ilmu di sana membuat mereka membawa perubahan yang begitu besar bagi Indonesia. Sehingga, para penjajah sekalipun merasakan ancaman yang begitu besar.
Pasalnya, ormas yang dibentuk itu membangkitkan semangat juang para masyarakat untuk mengusir dan melululantahkan kaum kolonialis. Bukan hanya itu, di tanah Bugis-Makassar pun memiliki alumni haji yang tidak kalah kerennya. Syeikh Yusuf al-Makassari salah satunya.
Beliau adalah seorang alumni haji yang pulang dari tanah suci tidak hanya membawa ketaatan dan kesalehan, tapi juga membawa ilmu yang berlimpah serta semangat besar yang berkobar dalam melawan penjajah. Bahkan ia menjadi inspirasi bagi banyak negeri Afrika untuk terbebas dari belenggu dari penjajah.
Alumni haji berdarah Bugis-Makassar lain yang membawa perubahan ialah AGH Muhammad As’ad sebagai pendiri MAI (Madrasah Arabiyah Islamiyah) di Wajo atau saat ini telah menjadi pesantren tertua di Sulawesi Selatan yaitu Pondok Pesantren As’addiyah Sengkang serta AG KH Abdul Rahman Ambo Dalle sebagai pendiri DDI (Darud ad-Dakwah wa al-Irsyad) yang berkiprah dalam bidang pendidikan, sosial masyarakat dan tentunya dalam berdakwah.
Gurutta yakin bahwa melawan kebodohan adalah salah satu cara membebaskan belenggu dari penjajahan. Maka dari itu, haji bukan ajang pencitraan ataupun menaikkan reputasi dan harga diri. Bukan pula untuk menyombongkan diri. Tapi, dengan gelar haji tersebut kita buktikan dengan aksi yang nyata yang membawa manfaat luas bagi perbaikan diri, keluarga, masyarakat dan bangsa.(*)