Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Tiba-tiba Tere Liye Umumkan Berhenti Menulis Buku Lalu Ungkap 10 Fakta Pahitnya Jadi Penulis

Tak hanya berhenti menulis buku, Tere Liye juga ungkap 10 alasan mengapa tak usah jadi penulis di negeri ini

Editor: Ilham Arsyam
Darwis Tere Liye 

TRIBUN-TIMUR.COM - Penulis best seller Darwis Tere Liye tiba-tiba membuat pengumuman mengejutkan.

Penulis novel kawakan ini mengumumkan berhenti menulis buku.

Hal itu disampaikan Tere Liye melalui akun fan page-nya 5 september lalu.

Penulis novel ‘Rindu’ kemudian curhat tentang pajak yang mencekik para penulis buku.

Berikut curhatnya:

Kalian harus tahu, penulis buku adalah orang paling dermawan kepada negara. Kalian harus sopan sekali kepada penulis buku, karena dia membayar pajak lebih banyak dibanding kalian semua. Eh, saya serius loh, tidak sedang bergurau.

Di sebuah komplek misalnya, ada 10 rumah. Rumah A adalah dokter, Rumah B adalah akuntan, Rumah C adalah arsitek, Rumah D adalah pengusaha, Rumah E adalah pengacara, Rumah F adalah karyawan swasta, Rumah G adalah PNS, Rumah H adalah artis terkenal, Rumah I adalah motivator, dan Rumah J adalah Penulis Buku. Maka penulis buku adalah orang yang membayar pajak paling banyak.

Kita anggap saja 10 rumah ini semuanya sama penghasilannya: 1 Milyar/tahun. Dan kita anggap saja PTKP (penghasilan tidak kena pajak) rumah ini sama--jadi kita anggap PTKP-nya nol saja, untuk memudahkan ilustrasi.

Maka dokter (A), akuntan (B), arsitek (C), artis terkenal (H), motivator (I), pajaknya dihitung sbb: 1 Milyar x 50% (rasio NPPN, kurang lebih demikian rasionya, biar sederhana), dapatlah 500 juta penghasilan netto. Lantas dikalikan lapisan (layer) pajak penghasilan progresif, 50 juta pertama tarifnya 5%, 50-250 juta berikutnya tarifnya 15%, lantas 250-500 juta berikutnya tarifnya 25%. Total pajak rumah2 ini adalah hanya: 95 juta.

Sementara Rumah D, karena dia adalah pengusaha UMKM, maka tarif pajaknya hanya 1% dari omzet bruto. Rp 1 Milyar x 1% = Rp 10.000.000. Selesai. Mudah menghitungnya. Tentu, mengingat sifatnya bisnis, belum tentu semua 1 M tadi adalah penghasilan bersih, karena dia harus membeli bahan2, dll. Tapi tetap saja, pajak mereka murah sekali, hanya 1%.

Lantas penulis buku, berapa pajaknya? Karena penghasilan penulis buku disebut royalti, maka apa daya, menurut staf pajak, penghasilan itu semua dianggap super netto. Tidak boleh dikurangkan dengan rasio NPPN, pun tidak ada tarif khususnya. Jadilah pajak penulis buku: 1 milyar dikalikan layer tadi langsung. 50 juta pertama tarifnya 5%, 50-250 juta berikutnya tarifnya 15%, lantas 250-500 juta berikutnya tarifnya 25%. Dan 500-1 milyar berikutnya 30%. Maka total pajaknya adalah Rp 245 juta.

Lihat perhitungannya? Penulis buku membayar pajak 24x dibanding pengusaha UMKM, dan 2x lebih dibanding profesi pekerjaan bebas. Dan jangan lupakan lagi, penulis itu pajaknya dipotong oleh penerbit, itu artinya, dia tidak bisa menutup2i pajaknya. Artis, pengusaha, lawyer, wah, itu sih mudah sekali untuk menyembunyikan berapa penghasilan sebenarnya. Penulis tidak bisa, sekali dipotong oleh penerbit, maka bukti pajaknya akan masuk dalam sistem.

Masih ada yang menyamai pajak penulis buku, yaitu karyawan swasta dan PNS. Dari angka 1 Milyar tadi, mereka dikurangi dulu biaya jabatan 5%, lantas dikalikan layer2nya, pajak karyawan swasta/PNS kurang lebih 5% lebih rendah dibanding penulis. Tapi catat baik2, penulis adalah profesi pekerjaan bebas, dia bukan karyawan tetap. Beda sekali sifatnya. Penulis bisa sukses, bisa gagal, bukunya bisa laku bisa tidak, penghasilannya bisa ada, lebih banyak tidaknya, tapi karyawan swasta dan PNS, gajinya pasti, tetap sifatnya, dan diberikan oleh perusahaan tempat dia bekerja.
Nah, dengan ilustrasi tersebut, dari 10 rumah di komplek itu: penulis buku adalah yang paling dermawan kepada pemerintah (meski rumahnya paling kecil, mobilnya paling sederhana). Mereka ternyata membayar pajak dengan jumlah massif sekali.

Apakah pemerintah tahu permasalahan ini? Tahu. Saya sudah setahun terakhir menyurati banyak lembaga resmi pemerintah, termasuk Dirjen Pajak, Bekraf, meminta pertemuan, diskusi. Mengingat ini adalah nasib seluruh penulis di Indonesia. Literasi adalah hal penting dalam peradaban. Apa hasilnya? Kosong saja. Bahkan surat2 itu tiada yang membalas, dibiarkan begitu saja nampaknya. Atas progress yg sangat lambat tersebut, dan tiadanya kepedulian orang2 di atas sana, maka saya Tere Liye, memutuskan menghentikan menerbitkan buku di penerbit2, Gramedia Pustaka Utama dan Penerbit Republika, per 31 Juli 2017 lalu. 28 buku2 saya tidak akan dicetak ulang lagi, dan dibiarkan habis secara alamiah di buku hingga Desember 2017. Minggu2 ini, kalau kalian ke toko, toko2 buku Gramedia sedang massif menjualnya, membuat display khusus, dll, agar semakin cepat habis. Per Januari 2018, kalian tidak akan lagi menemukan buku2 itu di toko buku. Jika masih ada toko buku yg menjualnya, itu berarti bajakan, my friend. :) --> lagi2, sudah pajaknya besar, buku bajakannya juga banyak sekali.

Menghentikan menerbitkan buku, bukan berarti saya berhenti menulis. Tenang saja, penulis itu tugasnya menulis, jadi bahkan ketika tdk lagi diterbitkan, dia tetap bisa menulis. Naskah2 baru akan diposting lewat page facebook ini, atau cara2 lain agar pembaca tetap bisa menikmati buku tersebut tanpa harus berurusan dengan pajak yang berkali-kali lipat tingginya. Saya akan memikirkan model bisnis berbeda, atau pendekatan berbeda, sepanjang itu belum ditemukan, dibagikan gratis di page ini bisa jadi solusi yg baik.

Saya selalu percaya, selalu ada jalan keluarnya. Mungkin tidak ada solusinya di pajak sana--karena boleh jadi mereka tidak paham buku adalah kunci peradaban, mereka tetap akan mengotot penulis harus bayar pajak lebih tinggi dibanding artis, dkk; tapi selalu ada jalan keluar bagi saya untuk terus menulis, dan pembaca terus bisa menikmatinya. Kecuali jika besok lusa, bahkan menulis di page facebook inipun juga kena pajak :)
Demikianlah. Salam literasi.
*Tere Liye

**ilustrasi di atas adalah penyederhanaan, karena PTKP, tanggungan, biaya jabatan maksimal, donasi wajib agama, dll bervariasi setiap orang, tapi kalaupun dimasukkan semuanya secara akurat, substansinya akan sama dengan ilustrasi.

Tak berhenti sampai disitu Tere Liye juga membuat pernyataan mengejutkan dengan menyarakan kepada followrersnya untuk tak usah bercita-cita jadi penulis.

Ia mengungkapkan 10 alasan.

Kenapa kalian tidak usah jadi penulis? Berikut daftar alasannya:

1. Dari 10 buku yang beredar di toko2 buku, hanya 1 yang lolos cetak ulang berikutnya. Sisanya gagal total, cetakan 1 saja tidak habis (padahal ada yg cuma cetak 1.000) ditarik lagi, masuk gudang, dijual kiloan sebagai buku loak. Dari 20 buku, hanya 1 yang bertahan laku selama setahun. Sisanya gagal.

2. Dari 40 penulis buku, hanya 1 yang 10 tahun kemudian tetap menulis. Sisanya dilupakan. Rata2 penulis hidup biasa saja di usia pensiunnya (utk tidak bilang miskin).

3. Jika kalian diundang dalam sebuah acara, sewa sound system acara itu 5 juta, sewa tenda 10 juta, maka honor penulis yg diundang, jangan kaget kalau cuma ditawar Rp 200.000 saja. Saya bergurau? Tidak. Ada penulis yg hadir di sebuah kampus, nyaris 1.000 peserta acaranya, pulang acara, panitia hanya ngasih amplop transport Rp 200.000. Untuk seminggu kemudian, kampus yg sama, mengundang penyanyi, santai saja membayarnya Rp 60 juta untuk manggung satu jam. Juga bagi panitia, sudah jadi rahasia umum, acara kepenulisan susah sekali mendapatkan sponsor dibandingkan acara2 lain.

4. Penulis adalah profesi yang sangat mahal pajaknya. Besok2, jika tidak ada perubahan soal ini, kalian akan tahu sendiri betapa sadisnya pajak penulis. Mending jadi dokter, pengacara, insinyur, penyanyi dan berbagai profesi lainnya, lebih murah.

5. Jika harga buku Rp 100. Maka berapa sebenarnya yg penulis bawa pulang sebagai upah dia menulis? Rata2 nasional hanya diangka Rp 7. Bayangkan, harga buku Rp 100, penulis, orang yang menulis buku tersebut, hanya memperoleh Rp 7. Kemana Rp 93? Bukan penulis yang menikmatinya. Melainkan pemilik modal (toko buku, penerbit, distributor), termasuk diambil negara sebagai pajak.

6. Buku kalian dibajak. Itu jelas sekali. Dari 10 buku yang dijual di toko buku (termasuk online), 2 adalah bajakan. Tidak akan ada yang melindungi kalian dari bajakan ini. Bahkan aparat negara yg seharusnya melindungi penulis, santai saja membawa buku bajakan untuk request tanda-tangan ke penulisnya.

7. Menulis adalah proses yang sangat panjang dan lama. Jika satu penulis membutuhkan 1 tahun menyelesaikan bukunya (mulai dari riset, ditulis, edit, hingga jadi buku), maka selama itulah

prosesnya. Setahun yang sangat lama, dan tidak ada garansi akan sukses, kebanyakan setahun yang sia-sia, ditolak penerbit, hanya jadi onggokan naskah bisu. Mending bikin kue, 1 jam jadi. Atau jualan cabe rawit merah, cepat lakunya.

8. Konsumsi buku itu kalah telak dengan konsumsi fast food, kosmetik, baju, dan kebutuhan lainnya. Silahkan dihitung sendiri, belanja buku per tahun kalian, sangat kecil bahkan dibanding belanja pulsa/gagdet dan sejenisnya. Apalagi jika dihitung rata2 nasional, lebih tragis lagi angkanya.

9. Sebagai artis, penyanyi, politisi, dan atau profesi lainnya, kalian bisa berbuat salah, selingkuh, penuh skandal, dsbgnya. Bisa. Dan orang2 tidak peduli, tetap memburu karya2 kalian, tetap memuja, tetap follow. Tapi jangan coba2 seorang penulis membuat skandal. Bahkan saat dia salah tulis satu potong kalimatnya, cukup untuk membuat karirnya tamat, atau sebagian orang tidak bersedia lagi membaca tulisannya.

10. Jangan coba2 sok berbaik hati membagi tulisan di media sosial. Bahkan saat kalian melakukannya dengan gratis. Tiba2 kalian berhenti melakukannya (karena kesalahan teknis), atau memang tidak mau lagi membagikannya, maka orang2, ada saja yang akan memaki kalian, membawa nama hewan, kotoran, dll. Termasuk menceramahi kalian soal berbagi, berbuat baik, dll. Saya pernah dimaki ‘tai lu’ (maaf), karena beberapa tahun lalu menghentikan sebuah cerbung, dan pembaca tersebut kecewa tdk bisa menikmati secara gratis lanjutannya.
Daftarnya masih panjang sekali, dan semakin menyesakkan. Lebay? Tidak. Sebagai penulis 26 buku, selama 12 tahun terakhir, saya bisa memvalidasi fakta2 ini. Ketahulah, sebenarnya tidak ada yang sangat-sangat-sangat peduli dengan penulis di negeri ini. Itu cuma pekerjaan remeh saja. Tidak ada penulis di dunia ini, maka dunia akan baik2 saja. Penulislah yg lebay jika menganggap mereka penting.

Saya sudah sangat berterus-terang lewat tulisan ini. Biar tidak ada lagi dusta diantara kita. Dan tidak perlu sok bijak mengomentari tulisan ini. Kecuali jika kalian pernah dimaki dengan 'tai lu' utk sesuatu yg dibagikan gratis, kita baru bisa nyambung soal sok bijak ini.

Nah, dengan daftar tersebut, setelah semua keterus-terangan ini, jika kalian tetap ingin jadi penulis, maka milikilah motivasi yang kuat. Hanya itu yang bisa menaklukkan apapun. Jadilah penulis yang tangguh. Gigit motivasi kalian. Bahkan saat kalian sedih sekali, kecewa, merasa tidak dihargai, kalian tetap punya benteng tangguh. Semoga dengan begitu kalian akan jadi penulis yg kokoh. Karena saya pun, Tere Liye, boleh jadi hanya soal waktu juga kalah, akhirnya berhenti menulis. Dan tidak usah sedih jika itu benar2 terjadi. Itu tidak penting. Move on. Lupakan.

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved