Ratapan Pengungsi Rohingya, 'Untung Kami Masih Punya Harapan'
BERSYUKURLAH kita masih punya Indonesia yang bisa diakui sebagai negara.
Penulis: Alfian | Editor: Ardy Muchlis
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR- BERSYUKURLAH kita masih punya Indonesia yang bisa diakui sebagai negara.
Tidak seperti 220 warga etnis Ronghinya, yang sudah 7 tahun ditampung di kamar-kamar, 12 kamp pengungsi di Makassar. Ya, kamar dalam arti sesungguhnya.
Mereka punya keluarga tapi tak memiliki rumah. Karena tak punya negara, makanya mereka tak berpaspor. Kini di Makassar, yang mereka masih punya harapan belaka.
Perang antaretnik, konflik milisi dan militer, selama empat dekade, memisahkan anak dengan ibu, istri dengan suami, dan saudara sekandung di Rakhine, Provinsi Arakan, barat Myanmar. Jumlah mereka diperkirakan sudah mencapai sejuta.
Kini ada yang ditampung di Thailand, terbesar di Bangladesh dan timur Myanmar, India, Malaysia, dan sekitar 2.500 orang di Indonesia.
Selain di Sulsel, mereka jua ditampung di Sumatera, Kalimantan, Jawa, Maluku, dan Nusa Tenggara.
Konflik panjang ini sudah berpuluh-puluh tahun. Konflik besar pecah tahun 2012 lalu, adalah gelombang besar pengungsi pertama di awal dekade 2000-an ini.
Konflik 2016 dan akhir Agustus 2017 lalu, lebih besar dan keras lagi. Ada 400 ribu pengungsi Rohingya yang kini ditampung di pesisir timur, tenggara dan barat Myanmar.
Di Myanmar mereka ‘terusir’. Kembali ke negara nenek moyang mereka di Bangladesh, Pakistan dan India, bukan lagi pilihan.
Ke Malaysia, Indonesia dan Thailand, juga lebih sulit. Negara-negara tetangga Myanmar ini juga kian ketat dan mulai ‘over kapasitas’ untuk menampung mereka.
PBB dan media internasional menyebut mereka Refugees (pengungsi). Sedangkan diplomat, menyebut mereka pencari suaka politik.
Dengan alasan kemanusiaan dan penegakan demokrasi ‘dunia’, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), tetap menampung dan memberi mereka kehidupan.
Bukan paspor atau jatah makanan, masalah terbesar dan mendasar mereka adalah tak ada negara berdaulat yang mau mengakui ‘status mereka. Mereka ‘stateless’, tak punya kewarganegaraan.
Kini para pengungsi sudah sampai pada dua kesimpulan; Pertama tak ada lagi kehidupan laik di Myanmar. Kedua, masa depan kian suram. Tapi harapan itu masih ada.
Salah satu pengungsi Rohingya, di Makassar, Musa (23) menceritakan ke Tribun Timur, Senin (4/9). Ia keluar dari Myanmar pada 2013 lalu.