Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

CITIZEN REPORTER

Puasa 17 Jam yang Dingin Kala Summer di Boston Amerika Serikat

Meskipun bertepatan dengan musim panas, berpuasa di Boston tak sesulit yang saya bayangkan saat awal-awal Ramadan.

Editor: Anita Kusuma Wardana
Mahasiswa Boston University, Rahmat Fadhli 

Rahmat Fadhli

Mahasiswa Boston University Asal Sulsel

Melaporkan dari Boston, Amerika Serikat

TRIBUN-TIMUR.COM-Tak terasa bulan Ramadan telah berada di ujung jalan. Hanya butuh bersabar beberapa hari lagi, Insya Allah kita bakal menyambut hari kemenangan dengan suka cita.

Menjalani puasa di negara yang berdekatan dengan garis ekuator memiliki tantangan tersendiri. Umat Islam yang  berada di Boston, Amerika Serikat menjalani puasa selama 17 jam.

Boston

Pasalnya, Ramadan kali ini 'berjodoh' dengan summer atau musim panas. Dimana, durasi malamnya yang sangat singkat, sementara waktu siangnya yang lebih lama.

Waktu imsak mulai pukul 03.20 am dan buka puasa pada pukul 08.25 pm. Sementara Salat Isya yang dirangkaikan dengan Salat Tarawih baru berakhir sekira 11.50 pm.

Kondisi tersebut, membuat mahasiswa asal Indonesia pun harus beradaptasi dengan pola tersebut, termasuk jam tidur. 

Meskipun bertepatan dengan musim panas, berpuasa di Boston tak sesulit yang saya bayangkan saat awal-awal Ramadan.

Ini adalah puasa saya yang ke-26. Namun, apa yang menjadi kekhawatiran saya justru tidak sesuai dengan ekspektasi selama berpuasa Ramadan disini. Rasa lapar dan haus nampaknya tak menjadi momok.

Bahkan jika dibandingkan dengan di Indonesia, berpuasa di kota ini jauh lebih “santai”.

Jika merunut sejak hari pertama puasa Ramadan, suhu tertinggi untuk musim panas disini adalah 36 derajat celcius, itupun terjadi hanya sekali.

Selebihnya kota yang terkenal sebagai kota pelajar di USA ini justru lebih banyak menghadapi cuaca dingin.

Hal ini pun dirasakan salah satu kawan saya, Jati yang sudah tinggal di kota ini selama satu tahun.

"Hidup di Boston itu 8 bulan dingin dan 4 bulan panas. Tetapi, musim panasnya tidak semenakutkan apa yang dibayangkan. Intinya, matahari di Indonesia masih lebih menyiksa,” katanya.

Apa yang dikatakan oleh Jati ada benarnya juga, pasalnya meskipun cuacanya terik, tetapi anginnya tetap bertiup kencang, jadi secara otomatis dapat mereduksi rasa terik tersebut.

Meskipun masih terlalu dini mengambil kesimpulan, saya kemudian berfikir, itulah kenapa para bule-bule ketika datang ke Indonesia, mereka sangat senang berjemur di bawah sinar matahari karena faktanya mereka sangat “miskin” dengan sinar matahari.

Alasan kedua, ummat muslim disini bisa lebih khusyuk dalam menjalanakan ibadah ghairu makhdahnya semisal, ngaji, dan salat-salat sunnahnya.

Pasalnya, dengan kurangnya undangan untuk menghadiri acara buka puasa bersama dengan para komunitas-komunitas (kantor, reuni sekolah/kampus, tetangga kompleks, dll) membuat kita bisa lebih fokus dalam memanfaatkan waktu untuk beribadah.

Datangnya bulan Ramadan juga juga sekaligus menjadi turning-point buat kami sebagai kaum minoritas dalam merajut ikatan emosional.

Semua umat muslim dari berbagai negara hanya fokus untuk berbuka puasa di Masjid. Sehingga membuat kita akhirnya bisa berkumpul bersama.

Suasana berbuka puasa di Islamic Society of Boston Cultural Center, Amerika Serikat
Suasana berbuka puasa di Islamic Society of Boston Cultural Center, Amerika Serikat (CITIZEN REPOTER/RAHMAT FADHLI)

Ucapan “assalamualaikum” seolah tak pernah berhenti bersahut-sahutan dari segala penjuru masjid ketika menjelang iftar (berbuka).

Pola Tidur

Tantangan terbesar selama menjalani puasa Ramadan disini adalah masalah pola tidur.

Di awal-awal Ramadan, saya masih mampu membawa kebiasaan tidur saya ketika masih di Indonesia, tidur sebelum jam 12 malam dan bangun sejam sebelum waktu subuh.

Akan tetapi, perlahan-lahan saya akhirnya mulai lempar handuk juga. Wajar saja, karena waktu belum lagi beberapa “ritual” yang kerap saya lakukan sebelum tidur.

Hal lainnya adalah waktu sahur yang juga sangat mepet apalagi pekan ini adalah waktu-waktu sibuk untuk mendulang malam lailatul qadr.

Akibatnya, kondisi tersebut memaksa saya untuk mengubah pola tidur dengan mengambil jatah kekurangan tidur saya dimalam hari ke pagi hari usai melaksanakan Salat israk.

Apa yang saya alami (mengubah pola tidur), secara umum juga dialami oleh orang-orang di kota ini. Makanya, aktivitas masyarakat di kota ini baru bergeliat di atas jam 9 pagi begitupun dengan kampus-kampus dan sejumlah kantor resmi pemerintah.

Momentum Ramadan seolah tak ingin dilewatkan begitu saja oleh komunitas masyarakat muslim disini. Olehnya agar dapat merasakan “lezatnya” beribadah di bulan suci ini, semua masjid berlomba-lomba untuk mendatangkan imam terbaiknya.

Boston

Mayoritas imam yang didatangkan berasal dari negara-negara arab yang memiliki lisensi khusus dan harus hafidz (hafal Al-Quran). Praktis, Salat tarawihnya adalah “one night one juz”.

Untuk menguji rasa penasaran saya, saya kemudian mencoba untuk melakukan safari tarawih ke beberapa masjid yang ada di kota ini.

Benar saja, semuanya menerapkan metode tersebut. Masjid yang paling menantang menurut saya adalah Masjid An-Noor (Markas dakwah) disini dimana Salat tarawihnya berkahir pada 12.30 dinihari dengan 23 rakaat.

Masjid terbesar di kota Boston, ISBCC (Islamic Society of Boston Cultural Center) punya standard tersendiri dalam memilih imam, mereka mendatangkan imam khusus dari Al-Azhar (Kairo).

Subhanallah, kesimpulannya di masjid manapun kita salat di Kota ini, pasti membuat kita  akan betah berlama-lama karena didukung dengan kapasitas imamnya yang telah “terakreditasi”, Salat hingga larut malam pun tidak lagi menjadi masalah karena dapat diakali dengan sistem  substitusi pola tidur.

Ramadan Kareem, Ramadan Mubarak 1438 H. (*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved