Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Jenazah Iqbal alias Bala Disiram Seperti Bunga, Tak Ada Mau Salati, Begini Kelakuan Dia Semasa Hidup

Sebanyak 24 diantaranya terluka, dan dua nyaris meninggal, dan satu meninggal. Karena rangkaian aksi

Penulis: Thamzil Thahir | Editor: Edi Sumardi
TRIBUN TIMUR/SANOVRA JR
Jenazah M Iqbal alias Bala (34), alias pria berjuluk "Kolor Ijo", saat dikafani RS Bhayangkara, Jl Brigjen Mappaouddang, Makassar, Sulsel, Jumat (19/5/2017). 

MAKASSAR, TRIBUN-TIMUR.COM - “Ayo mi! Kita salati jenazah 'Kolor Ijo' tawwa,” kata satu dari empat anggota tim Disaster Victim Identification (DVI) RS Polri Bhayangkara, Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel) saat mengajak belasan petugas yang menyaksikan proses pengurusan jenazah M Iqbal alias Bala (34), alias pria berjuluk "Kolor Ijo", Jumat (19/5/2017) tengah malam.

Belasan pria yang hadir di ruang seukuran lapangan pimpong itu diam.

Mereka saling berpandangan.

Mereka ogah ikut menunaikan tahapan akhir dari prosesi mengurus mayat seorang Muslim.

Ogah-ogahan adalah kata yang tepat untuk menggambarkan bagaimana respon sekitar tujuh petugas DVI RS Polri dan pimpinan dan enam pegawai dari Kantor Wilayah Kemenkum HAM Sulsel dan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas 1 Gunungsari, Makassar, di ruang pemularasan jenazah rumah sakit Polri terbesar di Kawasan Timur Indonesia itu.

Iqbal alias Balla adalah terpidana mati sekitar 30 kasus "kejahatan kelamin” yang dia lakukan sepanjang setahun setengah (2014 hingga pertengahan 2015) di timur dan utara Luwu, Sulsel.

Dari 30 korbannya semuanya wanita.

Sebanyak 24 diantaranya terluka, dan dua nyaris meninggal, dan satu meninggal.

Karena rangkaian aksi kejatahan kelamin yang dia geluti, selalu menggunakan kolor berwarna hijau, media massa di Sulsel, yeng meliput rangkaian misteri aksi, perburuan, dan persidangannya, mengistilahkannya "Kolor Ijo".

Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Malili, Lutim, M Khairul, yang memvonis hukuman mati bagi warga Dusun Kampung Baru, Desa Sido Agung, Kecamatan Kalaena, Kabupaten Luwu Timur, ini mengistilahkan kejahatan "Kolor Ijo" dengan kalimat extraordinary crime (kejahatan luar biasa).

"Kolor Ijo" ditembak mati tim polisi gabungan dari Unit Jatanras Resmob Polrestabes Makassar pimpinan AKP Edhi Sabara Manggabarani dan Polsek Mangkutana, Lutim, Kamis (18/5/2017) pagi di pedalaman hutan perbatasan Mangkutana, Lutim, Sulsel dengan hutan Pendolo, Poso, Sulawesi Tengah.

Setidaknya tujuh butir peluru bersarang di tubuh dan kakinya.

"Kolor Ijo" dieksekusi mati polisi, tiga bulan setelah Mahkamah Agung menolak kasasi yang dia ajukan melalui pengacaranya, Agus Melast.

Eksekusi mati "sebelum waktu resmi" itu dilakukan tim polisi yang memburunya selama tiga hari di dalam hutan pedalaman Sulawesi, dalam 12 hari pelariannya dari LP Klas I Makassar, Minggu (7/5/2017) dini hari.

"Kolor Ijo" membobol teralis besi terungku bersama dua terpidana mati, yang juga teman satu selnya; Rizal Budiman alias Ical (22) dan Muh Tajrul Kilbareng alias Arun (31).

Tiga hari sebelum "Kolor Ijo" ditembak mati, Rizal sudah ditemukan polisi dari Tim Satgas Tinimbala di Poso Pesisir, sekitar 210 Km dari Mangkutana, atau 720 Km tenggara LP Gunungsari di Makassar.

Buronnya "Kolor Ijo", menebar teror dan ketakutan bagi wanita di Sulsel, khususnya di Tana Luwu.

Perburuan Kolor Ijo, memang sarat ‘dendam’ aparat, untuk ketentraman para wanita.

Ketika jadi mayat di Mangkutana, sekitar 8 jam, usai tertembak mati, memang, tak banyak orang yang mau mengurus mayatnya.

Saat tiba di RSUD I Wotu, Luwu Timur, para pun perawat wanita dan paramedik pun ogah mengotupsinya.

“Meliriknya saja, anak-anak (perawat) tak mau, apalagi menyentuhnya,” kata dr Rasdina, Direktur RSUD I Wotu kepada Tribun.

Saat tiba dengan menggunakan ambulans Pemkab Lutim, pukul 20.00 wita dari Wotu, di ruang petilasan jenazah RS Bhayangkara, Jl Brigjen Mappaouddang, Makassar, orang-orang pada ogah dengan muka masam.

Jenazahnya dibawa masuk hanya oleh tiga petugas.

Saat akan dimandikan, seorang petugas DVI, dari dalam ruangan keluar di selasar dan teras RS, “Eii, masak saya-ji sendiri yang urus-ki ini, bantu-ka’ dong.”\

Tiga petugas DVI pun masuk. Saat dikeluarkan dari kantung mayat warna orange, masih banyak darah berceceran di kantung itu.

Semua petugas memicingkan mata.

Lalu saat dimandikan, jenazahnya hanya dionggok di meja silver alumunium.

Tribun, menyaksikan bagaimana "Kolor Ijo" dimandikan, laiknya hanya menyemprot bunga di taman.

Seadanya. Dua dari empat petugas yang mengenakan masker, sempat menyentuh dengan aroma muka dan dahi mengerut.

Usai dimandikan, dan akan diangkat ke tatakan meja besi putih untuk dikafani, juga terlihat, hanya diurus seadanya.

Mayat itu diangkat pakai selang air yang sebelumnya dipakai menyemprotnya.

Empat petugas mengkafaninya.

Jika saat di ruang jenasah RSUD Wotu, "Kolor Ijo", terlihat hanya mengenakan kolor hitam, laiknya celana, baju kaos, dan jaket kulit hitamnya, maka saat di ruang DVI RS Bhayangkara, tak ada lagi kolor yang terpasang ditubuhnya.

Bahkan, Tribun sempat melihat "Kolor Ijo" belum dikhitan.

Alat vitalnya masih utuh.

Usai dikafani, satu petugas DVI mengajak yang lain untuk menyalatinya.

Tapi, lagi-lagi orang di ruangan itu ogah.

Akhirnya, hanya petugas paling tua di ruangan itu yang berdiri menghadap kiblat, mengangkat takbir untuk jenazah berbalut kafan.

Setelah disalati, seorang petugas mengingatkan.

“Eh, kayaknya belum-pi diformalin itu mayatnya. Ini mau dibawa perjalanan 12 jam ke Malili, bos!”

Koordinator petugas ruangan DVI Andy pun mengambil dua botol plastik zat pengawet, formalin.

Di ujung bawa selang, jarum suntik laiknya infus disuntikkan ke tangan yang menonjol.

Kain kafan tak dibuka.

Cairan pengawet itu diteteskan laiknya infus sekitar 25 menit.

Saat proses formalisasi itu, fotografer Tribun pun bertanya kepada Kepala Lapas Klas I Makassar, Marasidin Siregar, “Mau dibawa kemana ini jenazahnya, Pak.”

Sontak saja, Kalapas yang didampingi Kakanwil Kemenkum HAM Sulsel, Sahabuddin Kilkoda, serta empat petugas lapas lainnya, menjawab spontan.

“Yaa, bawa pulang ke kampungnya, masak saya mau penjarakan mayat lagi, saya mau simpan dimana, ini sekarang sudah full,” katanya dengan mimik berkelakar.

Sekitar pukul 23.30 wita, saat dua botol cairan formalin sudah masuk ke jenazah "Kolor Ijo", pria beranak dua itu dibawa masuk kabin belakang ambulans.

“Ini perjalanan 12 jam ke Malili,” kata supir ambulans, yang didampingi satu paramedik Rumah Sakit Wotu.

Bye-bye, selamat jalan "Kolor Ijo".(sanovra jr/ivan ismar/zil)

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved