Komentar Direktur LAPAR, Soal Jalan Santai Golkar Vs FKPPI
Dalam praktek demokrasi, lanjut Karim, jalanan seringkali menjadi ruang untuk menyatakan pendapat, panggung menyerukan sesuatu dan kontestasi.
Penulis: Abdul Azis | Editor: Ina Maharani
Laporan Wartawan Tribun Timur Abdul Aziz Alimuddin
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Sejarah negara modern pascaperang dunia ke II telah membawa demokrasi ke ruas-ruas jalan. Kita saksikan itu misalnya didaratan Eropa hingga Indonesia.
Hal itu diungkapkan Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR) Sulsel, Abdul Karim, Sabtu (29/10/2016) malam. Menurutnya, di negeri ini, jalanan menjadi panggung panjang demokrasi sejak orde lama hingga saat ini.
"Tak sedikit perubahan sosial politik didorong dari jalanan, seperti Orba yang tumbang tahun 1998 silam," kata Karim.
Dalam praktek demokrasi, lanjut Karim, jalanan seringkali menjadi ruang untuk menyatakan pendapat, panggung menyerukan sesuatu dan kontestasi.
"Bahkan jalanan menjadi panggung menunjukkan kekuatan dan kekuasaan. Maka tak heran bila parade kekuatan dan kekuasaan kian marak pascarezim Orba berkuasa," jelas Karim.
"Memasuki era politik lokal bernama Pilkada, jalanan pun tidak pernah sepi sebagai panggung, jalanan tak pernah lengang dari pernyataan aspirasi, tindakan resistensi hingga parade kekuatan," tambah Karim.
"Malangnya, kata Karim, dari proses jalanan itu, justeru nihil hasil berarti untuk demokrasi. Tetapi intinya, jalanan menjadi panggung yang selalu berkait dengan isu demokratisasi.
Karim pun menilai bahwa jalan santai partai Golkar (Jago) dan jalan sehat FKPPI Sulsel rasanya sulit tak dimengerti sebagai sesuatu yang berkait dengan wacana politik demokrasi lokal.
"Mengapa? Pertama, inisiator gerak jalan santai ini diinisiasi oleh politisi senior daerah ini, Nurdin Halid dan Syahrul Yasin Limpo. Apalagi, Jago memang dilaksanakan partai Golkar. Sementara FKPPI Sulsel walau bentuknya Ormas, tetapi anggota organisasi ini tak sedikit berlatar belakang politisi," kata Karim.
"Kedua, dinamika partai Golkar Sulsel beberapa bulan terakhir mungkin menjadi sebuah konteks tersendiri dari dua gerak jalan santai akbar ini. Publik tahu, kehadiran Nurdin Halid sebagai Plt DPD I Partai Golkar Sulsel menggantikan SYL bukan sesuatu yang harus diterima dengan ikhlas," ujarnya.
Karena itu, ujar Karim, aspek diatas menunjukkan bahwa dua gerak jalan santai akbar ini sulit ditafsirkan sebagai gerak jalan santai biasa. Kita rumit menafsirkannya sebagai sesuatu yang nir-politik. Dan akhirnya, dua gerak jalan santai ini berkait dengan isu demokrasi lokal.
"Tentu publik provinsi ini berharap, dua gerak jalan santai ini menghadirkan sesuatu yang baik untuk warga Sulsel. Tidak menjadi mala yang membuat kita semua celaka. Atau gerak jalan santai ini menjadikan otak kita refresh dari kekalutan politik, santai, dan memperkuat silaturrahmi antar sesama pelaku dan simpatisan politik," ujarnya.
"Dengan begini, demokrasi dijamin bisa berlangsung normal, aman, nyaman apapun medium dan eventnya. Bukankah pengembangan demokrasi mutlak memerlukan ruang yang nyaman nan damai, bukan sekedar keramaian," kata Karim.(*)