Lily Yulianti Farid dan Misi Kemanusiaannya
"Akar saya di Makassar, saya anak Makassar dan saya pulang untuk berbakti untuk Makassar. Saya pulang mengurusi project kemanusiaan ini,"kata Lily
TRIBUN-TIMUR.COM-Makassar International Writer's Festival (MIWF) yang digagas Rumata' Artspace termasuk event yang banyak dinanti. Tak hanya bagi masyarakat Sulawesi Selatan, event ini kini dikenal di ranah nasional maupun mancanegara.
Maklum, acara ini selalu menghadirkan para penulis terkenal dari Indonesia maupun luar negeri. Nah di balik kesuksesan acara ini, ada nama Lily Yulianti Farid.
Lily merupakan founder Rumata' yang ia dirikan bersama sahabatnya sekaligus sutradara ternama Indonesia, Riri Riza.
Selain MIWF, Rumata' juga memiliki annual event besar lainnya, South East Asian (SEA) Screen Academy yang memberikan pelatihan bagi sineas-sineas muda dari Indonesia Timur.
Lily kini menetap di Australia bersama suaminya Farid Ma'ruf Ibrahim dan anaknya Fawwaz Naufal Farid.
Di Australia, Lily menjadi dosen lepas di The University of Melbourne. Selain itu, ia juga tetap menulis, meneliti dan menerjemahkan buku, maupun sejumlah project lain di bidang seni budaya. Saat ini sedang terlibat dalam proses penerjemahan buku tentang hubungan antara Indonesia dan Australia.
Ia 'hijrah' ke Australia bersama keluarganya sejak tahun 2001 saat melanjutkan pendidikan magisternya dalam bidang Gender and Development Studies di The University of Melbourne. Ia juga telah meraih gelar PhD setelah menyelesaikan pendidikan doktornya di bidang Gender and Media Studies di kampus yang sama.
Dalam setahun, wanita kelahiran Makassar, 16 Juli 1971 tersebut pulang ke Makassar. Setidaknya tiga kali dalam setahun untuk mengurusi 'project kemanusiaan'nya tersebut bersama Riri Riza.
"Akar saya di Makassar, saya anak Makassar dan saya pulang untuk berbakti untuk Makassar. Saya pulang mengurusi project kemanusiaan ini,"kata Lily kepada Tribun beberapa waktu lalu.
Bagi mantan jurnalis Kompas ini, MIWF maupun project Rumata' lain ibarat pesta literasi, seni dan budaya untuk 'warga biasa'. Menurutnya, kenyamanan dan layanan-layanan khusus kebanyakan bukanlah milik 'warga biasa'. Dia hanya bisa diakses oleh kalangan elite, baik penguasa, pejabat maupun pemilik modal.
Di mana, masyarakat bisa berada ditengah-tengah percakapan-percakapan intelektual, lintas bangsa dan budaya terjadi, serta dapat diakses seluruh lapisan masyarakat dan tak ada pembedaan.
"Saya kira penting ada masa yang kita kerjakan bersama-sama sebagai warga biasa yang membuat kita bangga sebagai orang biasa karena itu perasaan yang jarang ada di Indonesia,"kata penulis Family Room tersebut.
Lily mengaku kini mulai melihat Makassar dari perspektif masa depan. Setiap kali pulang ke Makassar, tak ada waktu baginya bernostalgia. Ia harus bertemu sejumlah anak muda Makassar dan membicarakan apa yang akan mereka lakukan untuk Makassar.
"Kami sadar Makassar memiliki punya segudang masalah, tapi kami adalah bagian kecil dari kota ini yang ingin memberi jawaban atas masalah tersebut dan membawa dampak paling tidak untuk orang di sekitar kita,"tambahnya.
Ia pun menginginkan anak muda Makassar bangga sebagai orang biasa yang berdaya, memiliki etos kerja, dan kepekaan terhadap urusan-urusan kemanusiaan, serta menjadi bagian dari pembangunan kemanusian itu sendiri. Mimpi inilah yang senantiasa membuatnya ingin pulang ke Makassar.
Menurutnya, jika semangat dan harapan tersebut bisa ditularkan ke ke anak-anak muda Makassar yang menjadi volunteer di MIWF ataupun project Rumata' lainnya, tentunya mereka akan mampu menciptakan pengalaman ber-Makassar yang berbeda.
"Saya sama Riri selalu bilang, kita harus pulang ke Makassar. Kita harus pulang dengan peran, tapi peran itu berbeda karena banyak teman saya pulang untuk berusaha, membangun karier politik atau hanya sekadar bernostalgia,"ujar ibu satu anak ini.
Lily ingin pulang sebagai orang biasa yang berdaya, mempersembahkan karya untuk Makassar, yakni sebuah rumah budaya, sebuah tempat yang mampu memberikan identitas baru bagi Makassar. Tidak hanya sebagai kota yang penuh konflik seperti yang tergambarkan dalam framing media, melainkan sebuah indentitas kultur bagi Makassar.
"Kami persembahkan satu rumah budaya dan kita tidak punya interest apa-apa. Jadi bukan saya ingin jadi apa, Riri ingin jadi apa. Karena kami percaya, kalau kita mampu, kita harus berkontribusi untuk Makassar dan ini sudah enam tahun berjalan,"jelasnya.
Nyuknyang Jadi 'Obat'
Lahir dan besar di Makassar, tentu membuat kenangan tersendiri bagi Lily. Kenangan yang menyenangkan dan menciptakan kerinduan untuk pulang.
Ia menghabiskan masa-masa sekolahnya semuanya di Makassar, mulai dari sekolah di SD Pembangunan 3 (SD Sudirman Makassar), SMP Labschool IKIP (SMPN 24 Makassar), SMAN 2 Makassar hingga mengenyam pendidikan tinggi di Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin (Unhas), sebelum ia kuliah di Australia.
"Masa kecil saya di Makassar dilihat dari perspektif mata anak-anak., yaitu sebuah kota dengan jalanan yang lebar, lengang dengan banyak sekali pohon peneduh jalan, Pohon Akasia dengan bunganya yang berwarna kuning dan sering jatuh di pinggir jalan atau pohon flamboyan dengan bunganya yang merah banyak di sepanjang jalan,"kata Lily.
Kata Lily, makanan juga menjadi salah satu hal yang mengikat kita dengan kota kelahiran. Laiknya anak pada umumnya, Lily juga suka jajanan di depan sekolah, seperti nyuknyang, es sirop atau jajajan anak laiknya.
Namun, nyuknyang yang paling berkesan bagi Lily adalah nyuknyang ia dijual di salah satu kios di Jl Gunung Latimojong. Jika ia sakit, ibunya tak langsung membelikannya obat, tapi justru membelikan nyuknyang tersebut yang dinilai lebih mujarab.
"Kalau makan nyuknyang itu pasti sembuh. Jadi kalau besoknya sudah tidak demam lagi, artinya tak harus minum obat atau ke dokter lagi. Jadi ibu saya itu jarang bawa kami ke dokter,"ujarnya sambil tertawa mengingat kenangan tersebut.
Semasa kecil, Lily juga senang ikut ibunya ke pasar. Pasar Sawah di Jl Gunung Latimojong menjadi tempat favorit ibunya berbelanja. Hal yang paling ia ingat juga saat itu adalah orang berbelanja dengan ramah lingkungan. Pembeli membawa keranjang belanjaan mereka sendiri
"Tak ada bungkusan plastik, semuanya dibungkus pakai daun atau kertas daur ulang, jadi penggunaan plastik masih sangat jarang,"tambahnya.
Lily juga besar dengan tradisi Pameran Pembangunan yang setiap tahun digelar di Lapangan Karebosi Makassar. Kenangan pameran pembangunan tersebut juga menjadi alasannya membuat MIWF.
Pasalnya, ia menilai pendekatan yang dipakai dalam pameran tersebut sangat developmentalis. Dimana setiap kabupaten yang berpartisipasi seolah 'dipaksa' bercerita mengenai keberhasilan mereka melalui foto-foto yang dipamerkan.
"Nah, di MIWF ini saya membayangkan ada anak kecil yang datang ke MIWF sejak tahun 2011, dia tumbuh dengan setiap tahun pergi ke MIWF dengan pengalaman yang berbeda, dia mendapat ruang untuk mendengar cerita, dan menikmati taman bacaan. Jadi mereka akan lebih beruntung daripada saya,"katanya.
MIWF 2017
Saat berada di Makassar beberapa waktu lalu untuk menghadiri premier film Athirah, yang tak lain adalah karya teranyar sahabatnya, Riri Riza dan Mira Lesmana, Lily menyempatkan untuk membahas penyelenggaran MIWF 2017 bersama sejumlah tim produksi. MIWF 2017 sudah disepakati akan dilaksanakan pada 17-20 Mei 2017 mendatang.
Ia pun membocorkan pengalaman ber-Makassar apalagi yang akan diperoleh 'warga biasa' saat masuk ke Fort Rotterdam yang senantiasa menjadi pusat dilaksanakannya MIWF setiap tahunnya.
"Tahun depan, kita akan mencoba untuk memperat kerjasama kita dengan kota-kota di wilayah timur. Ini salah satu bocoran ya, ada satu kota di Indonesia Timur yang akan menjadi tamu spesial MIWF 2017. Jadi, mereka punya sesi khusus untuk presentasi tentang kotanya. Kita masih negosiasi untuk hal itu,"kata Lily.
MIWF 2017 juga akan menampilkan lebih banyak penulis muda dan mengajak lebih banyak orang dari kabupaten untuk datang ke Makassar. Selain itu, MIWF mencoba sebuah gerakan yang diupayakan secara bersama-sama untuk mengajak masyarakat di luar kota lain seperti Jakarta, Bandung, atau Bali untuk datang ber-MIWF.
"Kita ingin mengajak mereka untuk ikut dalam wisata kreatif. Jadi mereka ada alasan ke Makassar untuk menghadiri MIWF, di sela-sela wisata lain yang mereka datangi di Makassar,"tambahnya.
MIWF 2017 juga akan kembali membuka workshop kepenulisan dan bekerja sama dengan sejumlah penerbit maupun media di Indonesia.(anita wardana)