Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Kecam Kasus YY, ISJN Desak DPR Segera Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Kasus YY membuktikan bahwa di daerah terpencil pun sudah rentan terjadi kekerasan seksual dan seringkali tidak terpantau dan terlaporkan.

Penulis: AS Kambie | Editor: AS Kambie
TRIBUN TIMUR/MUNAWWARAH AHMAD
-Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin (Unhas), Andi Ahmad Yani akhirnya memimpin Indonesia Social Justice Network (IJSN). Hal tersebut berdasarkan pemilihan yang dilakukan di Makassar, Minggu (13/12/2015). 

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Aktivis Indonesia Social Justice Network (ISJN) menyatakan rasa bela sungkawa sedalam-dalamnya atas terjadinya dugaan kasus perkosaan dan pembunuhan yang dialami oleh siswi YY dari Bengkulu oleh 14 pemuda, April 2016.

Bagi ISJN, peristiwa tersebut sangat terkutuk karena dilakukan secara kolektif oleh pemuda dan remaja dari lingkungan korban.

“Peristiwa ini juga mencerminkan betapa rendahnya penghormatan seksualitas dan hidup perempuan khususnya anak perempuan,” kata Ketua Presidium Nasional ISJN, Andi Ahmad Yani PhD, dalam rilis yang diterima Tribun-Timur.com, Jumat (13/5/2016) malam.

Mengutip Komisi Nasional Anti kekerasan terhadap perempuan (KOMNAS Perempuan) dalam Catatan Tahunan (CATAHU) 2016, Dosen Fisipol Universitas Hasanuddin (Unhas) itu mengemukakan, data kekerasan seksual di tingkat komunitas di Indonesia sebagai kejahatan hak asasi perempuan semakin meningkat.

“Data tahun 2015 menunjukkan angka perkosaan, pencabulan, pelecehan seksual dan percobaan perkosaan mencapai 56% (2.183 kasus) dari total 3.860 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan di tingkat komunitas,” kata akademisi asal Soppeng, Sulsel, itu.

Data itu, menurut Yani, juga menunjukkan bahwa setiap hari, lima sampai enam perempuan termasuk anak perempuan di bawah umur menjadi korban kekerasan seksual di tingkat komunitas.

“Apa yang didokumentasikan dan dipublikasikan oleh KOMNAS Perempuan itu adalah data yang diambil dari lembaga-lembaga penegak hukum dan penyedia layanan sehingga baru merupakan data yang dilaporkan dan ditangani,” jelas Yani.

“Jadi belum termasuk kasus-kasus yang terjadi namun tersembunyi rapi di komunitas ataupun keluarga dan tidak muncul ke publik dan diproses hukumkan. Artinya apa yang dikemukakan oleh berbagai pihak bahwa kekerasan seksual tak ubahnya fenomena sebuah gunung es,” katanya menambahkan.

Menurut mantan Ketua Majelis Sinergi Kalam (Masika) Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orwil Sulsel itu, kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan di tingkat komunitas telah menjadi peristiwa yang sehari-harinya dialami oleh perempuan Indonesia.

Pola kekerasan seperti itu sangat disesalkan karena justru dilakukan oleh orang-orang yang dikenal dan orang-orang yang seharusnya menghormati dan melindungi korban. Pemerkosaan dan pembunuhan perempuan dengan alasan apapun adalah kriminal dan pelanggaran atas hak asasi perempuan.

Menguaknya peristiwa kekerasan seksual yang terjadi di wilayah pelosok dan terpencil seperti pada kasus YY ini, lanjut Yani, sepatutnya menyadarkan kita bahwa kasus kekerasan di daerah pelosok rentan terjadi dan seringkali tidak terpantau dan terlaporkan karena minimnya akses untuk layanan hukum.

Peristiwa itu juga menyentakkan kita karena sebagian di antara pelaku kekerasan seksual tersebut adalah pelaku yang berstatus anak-anak.

“Minimnya pengetahuan dan pendidikan tentang seksualitas, putus sekolah dan ketiadaan pekerjaan dimana waktu luang dipakai untuk mabuk-mabukkan mengisyarakan adanya masalah kemiskinan dan pemiskinan di daerah pelosok yang berkontribusi secara tidak langsung pada masalah kekerasan seksual yang dialami korban sekaligus pelaku,” jelas Yani.

Terhadap kasus siswi YY, ISJN menyatakan sikap dan beberapa rekomendasi.
Pertama: Kejahatan seksual adalah kejahatan atas kemanusiaan. Oleh karena itu kami meminta perhatian negara melalui pemerintah untuk secara bersungguh-sungguh memprioritaskan perlindungan terhadap perempuan dan anak perempuan dari kekerasan seksual.

Kedua: Menuntut kesungguhan dan keseriusan pemerintah atas perlindungan perempuan dari segala bentuk kekerasan seksual mesti diwujudkan dalam upaya-upaya promotif, preventif dan penanganan dan pemulihan secara komprehensif, sistemik dan berkwalitas.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved