Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Misteri Pembunuhan Wayan Mirna Salihin

Tahukah Anda, Apa Motif Jessica Racuni Mirna? Soal Cinta? Ini Penjelasan Dermawan Salihin

Lalu Aiman bertanya, “Atas motif?”

Editor: Edi Sumardi
DOK POLDA METRO JAYA
Tersangka kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin, Jessica Kumala Wongso saat rekonstruksi di Olivier Cafe, West Mall Grand Indonesia, Jakarta Pusat, Minggu (7/2/2016). 

TRIBUN-TIMUR.COM - Apa motif Jessica Kumala Wongso (27) meracuni sahabatnya, Wayan Mirna Salihin hingga meninggal dunia?

Itu masih menjadi sebuah misteri sejak sebulan lalu.

Jessica pun masih mengelak jika dirinyalah penuang sianida ke dalam es kopi vietnam yang diminum Mirna di Olivier Café, West Mall Grand Indonesia Shopping Town, Jakarta Pusat, Rabu (6/1/2016).

Menurut Edi Dermawan Salihin, ayah mendiang Mirna, sebenarnya sangat sulit mengungkap motif itu sebab korban telah meninggal dunia.

“Mirna tak dapat lagi ditanya karena dia di kubur. Hanya Jessica, Hanie dan orang lainnya yang masih hidup,” kata Edi Dermawan diwawancarai presenter Kompas TV, Aiman Witjaksono melalui program “Aiman” dengan episode “Di Balik Racun Mirna”, sebagaimana disiarkan Kompas TV, Senin (8/2/2016), pukul 22.00 WIB hingga 23.00 WIB.

Karena tak bisa memastikan motif, ayah Mirna pun hanya bisa memastikan pelaku.

“Yang jelas, Mirna dibunuh oleh Jessica, feeling saya!” kata dia menegaskan.

Lalu Aiman bertanya, “Atas motif?”

Edi Dermawan menjawab, “Nah gini, nggak ada motif. Jadi kita bicara mengenai, pokoknya dibunuh aja dulu deh.”

Menurut dia, motif kasus dalam hukum hukum pidana harus dibuktikan melalui fakta.

Namun, Jessica hingga kini kerap dianggap menutupi sejumlah fakta melalui kebohongan.

Bahkan, saat akan dites melalui lie detector, dia pun dia akan lolos.

“Kalau personality-nya kayak Jessica, sampai botak nggak ketemu yang penting kita tahu, siapa yang bunuh. Itu aja,” katan secara lugas.

Lebih lanjut, kata dia, “Motif, sampai mati kalau orang ngeracun, mana ada mau cerita.”

Psikopat dan Kasus Gadis dalam Kotak

Di awal kasus ini mencuat, ada pihak-pihak yang secara langsung maupun tidak, menyebut Jessica psikopat.

Benarkah demikian?

Hanya penyidik dan psikolog yang memeriksanya yang tahu.

Di luar kasus kopi maut, mungkin Anda juga pernah mendengar kasus "gadis dalam kotak" di AS.

Kasus ini terjadi pada 1977, saat Cameron Hooker menculik Colleen Stan, menyimpannya dalam kotak kecil selama tujuh tahun, 23 jam sehari.

Stan hanya boleh keluar selama satu jam sehari untuk diperkosa dan disiksa secara keji.

Pada 1984, Hooker ditangkap, 1985 dijatuhi hukuman 104 tahun penjara dan diberi julukan "Psikopat Paling Keji Abad Ini".

Seperti apa psikopat itu sebenarnya dan semudah itukah kita bisa membedakan seorang psikopat, jika dia ada di dekat kita?

Secara harafiah, psikopat berarti sakit jiwa. Psikopat berasal dari kata psyche atau jiwa dan pathos atau sakit.

Sakit jiwa tidak sama dengan gila karena kalau gila, dia tidak sadar atas apa yang dilakukannya.

Seorang psikopat sadar atas perbuatannya.

Gejala psikopat disebut psikopati.

Untuk mendiagnosa apakah seseorang benar adalah psikopat atau bukan, butuh evaluasi yang ketat dan menyeluruh.

Ada tujuh tahap pemeriksaan termasuk 20 checklist psikopati Hare yang harus dijalankan.

Hare adalah nama belakang dari Robert D. Hare, Bapak Psikopati Dunia, seorang ahli psikopati dari British Columbia University yang meneliti dunia para psikopat selama 25 tahun.

Menurut penelitian, hanya 15-20 persen psikopat yang melakukan tindak kriminal.

Memahami benak psikopat

Secara fisik, tidak ada perbedaan antara psikopat dengan nonpsikopat. Ciri

paling nyata psikopat terlihat dari reaksi emosionalnya atas satu kejadian.

Seorang psikopat, kurang atau bahkan tidak memiliki reaksi emosi seperti takut, sedih atau tertekan.

Menurut Hare, selain kurang memiliki emosi, seorang psikopat juga seringkali bersifat manipulatif.

Mereka bisa berpenampilan, bersikap, dan bertuturkata sangat menyenangkan.

Selain itu, mereka juga sangat egosentris, namun punya kemampuan analisa dan kecerdasan di atas rata-rata.

Mungkin hal ini disebabkan karena mereka tidak melibatkan perasaan ketika menilai sesuatu.

Psikopat yang kriminal, hampir seluruhnya tercatat pernah berbuat keji di masa lalu.

Awalnya pada hal-hal yang dianggap remeh, misalnya binatang. Setelah itu, meningkat menjadi menyakiti manusia.

Catatan FBI mengatakan, 100 persen pembunuh serial yang mereka tangkap punya sejarah kelam sebagai penyiksa hewan di masa kecil atau remaja.

Rata-rata pembunuh serial adalah seorang psikopat, tapi tidak semua psikopat jadi pelaku kekerasan atau pembunuh baik tunggal maupun serial.

Akibat kurangnya emosi, psikopat seringkali merasa tidak bersalah jika perbuatannya merugikan orang lain.

Mereka tahu itu merugikan, tapi mereka tidak peduli karena cara pikir mereka berbeda.

Pengalaman dari James Fallon mungkin bisa jadi contoh.

Fallon adalah profesor neurosains dari University of California yang juga banyak berurusan dengan psikopat.

Satu hari, Fallon bertanya pada seorang psikopat, apakah dia menyesal telah menikam seorang perampok.

Jawaban si Psikopat, "Yang benar saja! Dia (si perampok) sengsara berbulan-bulan di rumah sakit dan aku membusuk di penjara. Aku tidak membunuhnya. Aku mencoba membebaskannya dari sengsara. Kalau aku membunuh, akan kulakukan dengan cara mengiris tenggorokannya (bukan dengan menikam). Seperti itulah aku. Aku mencoba membebaskannya."

Ketika kita menyakiti seseorang atau sesuatu, rasa sakit orang atau sesuatu itu akan membuat kita menyesal. Mengapa kita harus menyakitinya?

Sebaliknya, menjadi seorang penolong, akan membuat kita bahagia. Empati ini mungkin tidak akan Anda lihat pada seorang psikopat.

Emosi psikopat bukan emosi spontan

Christian Keysers Ph.D., kepala laboratorium Netherlands Institute for Neuroscience dan tim mengadakan penelitian selama dua dekade untuk membuktikan, apakah memang benar psikopat tidak memiliki empati.

Tim membawa 21 terpidana psikopat pelaku kekerasan untuk melakukan scan otak.

Setiap pasien ditunjukkan adegan film yang memperlihatkan orang-orang menyakiti satu sama lain sementara aktivitas otak mereka diukur dengan menggunakan fMRI.

Pertama, pasien hanya diberitahu untuk menonton film dengan hati-hati.

Kemudian, Harma Meffert, mahasiswa doktoral yang terlibat dalam penelitian pergi ke ruang scanner dan memukul tangan para psikopat untuk melokalisasi daerah otak yang mengatur reaksi atas sentuhan dan rasa sakit.

Peneliti melakukan hal yang sama terhadap 26 relawan pria nonpsikopat, yang berusia dan ber-IQ sama dengan para psikopat.

Hasil penelitian, yang sudah diterbitkan dalam jurnal Brain, menunjukkan bahwa aktivasi motorik, somatosensori dan daerah otak yang mengatur emosi, jauh lebih rendah pada pasien dengan psikopati dibandingkan subjek normal. Sampai di sini, teori yang menyebutkan bahwa psikopat kurang atau tidak punya emosi, nampaknya benar.

Valeria Gazzola, peneliti yang juga menjabat kepala lab, menyarankan agar relawan psikopat menonton film lagi, sambil meminta agar mereka mencoba berempati kepada tokoh korban di film itu.

Dilihat dari hasil fMRI, imbauan Gazolla yang sederhana itu ternyata mampu mengaktifkan bagian otak yang mengatur emosi. Para psikopat mampu berempati ketika disuruh untuk itu.

Bagi kebanyakan kita, rasa empati adalah sesuatu yang otomatis muncul ketika melihat kesedihan atau ketidakadilan.

Tidak demikian dengan cara kerja otak psikopat.

Jika mereka ingin, mereka dapat berempati. Ini juga menjelaskan bagaimana mereka bisa begitu menawan sekaligus begitu manipulatif.

Setelah Anda melakukan apa yang menjadi tujuan mereka, bagian otak yang mengatur emosi kembali tidak aktif.

Mereka kembali tidak punya rasa empati terhadap penderitaan orang lain.

Tampaknya individu dengan psikopati memiliki pola kerja otak yang berbeda.

Tombol otomatis yang menyalakan reaksi empati mereka nampaknya mati.

Masih banyak yang perlu dipahami tentang mengapa dan bagaimana individu dengan psikopati memiliki potensi untuk berempati tapi potensi ini bisa mati secara tiba-tiba.

Untuk para terapis yang sering menangani pasien psikopat, temuan ini menunjukkan bahwa mungkin pendekatan terbaik bukanlah mengajar para psikopat berempati - mereka bisa berempati jika mereka mau dan merasa perlu.

Mungkin, para psikopat perlu didorong atau dilatih untuk selalu dan selalu berempati, sebelum kekerasan menjadi bagian dari gaya hidup mereka.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved