Pengadilan ‘Jeruk Makan Jeruk’
Bagaimana mungkin mengharapkan produk sidang MKD yang sesuai aspirasi publik jika praktiknya adalah menyidangkan sang ketua mereka sendiri.
Setelah tiga hari mengikuti Pertemuan Tematik Wawasan Kebangsaan di Lemhanas Jakarta sebelumnya, 5 September 2015 malam saya menghadiri haul ulang tahun penyair Taufiq Ismail di Gedung Dewan Kesenian Jakarta. Ketika acara usai, saya bersama rekan Tammasse Balla sekeluarga mohon pamit pada Pak Taufiq Ismail dan Ibu Aty, istrinya.
‘’Ini istrinya, Fadli Zon,’’ tiba-tiba saja Ibu Aty memberitahu, ketika rekan Tammasse menyalami seorang ibu cantik beserta seorang anaknya yang mendampingi Pak Taufiq Ismail dan Ibu Aty malam itu.
‘’Bapak masih di Amerika, ya?,’’ tiba-tiba saja muncul pertanyaan refleks rekan Tammasse yang membuat saya sempat kaget sejenak, tetapi menganggapnya sangat surprise.
‘’Kok, tahu?,’’ balas perempuan yang disebut istri Fadli Zon itu. Wakil Ketua DPR RI dari Partai Gerindra tersebut adalah kemanakan Ibu Aty, sehingga tidak heran jika istri Fadli Zon juga bersama-sama dengan Keluarga Pak Taufiq Ismail.
‘’Ya, tahulah, dari media,’’ balas rekan Tammasse dan percakapan singkat yang bernada ‘’satire’’ tersebut tidak berlanjut.
Apa hubungan percakapan singkat tersebut dengan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD)? Lembaga etik Dewan ini sebenarnya sudah mulai bekerja keras ketika Ketua DPR RI Setya Novanto ditengarai telah melakukan pertemuan dengan calon Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang tentu saja secara kasat mata dianggap tidak etis dilakukan oleh seorang pejabat publik setaraf Setya Novanto. Namun, Setya Novanto membantah bahwa pertemuan dengan Donald Trump merupakan undangan pribadi yang diinisiasi bakal calon Presiden Amerika Serikat dari Partai Republik itu.
"Dia yang menghubungi saya untuk menyempatkan diri berkunjung ke gedung miliknya. Pertemuan itu lebih bersifat spontan," kata Setya di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, seperti dilansir media online 14 September 2015.
Dia mengaku telah berteman dengan Trump sejak lama. Perkawanan mereka tak lain ihwal bisnis Trump yang tersebar di Indonesia. Setya bertemu Trump pada 3 September 2015 pukul 13.30 waktu setempat di Trump Tower New York.
Setya kembali ke Tanah Air pada hari itu karena agenda sidang “The 4th World Conference of Speakers Inter Parliamentary Union" (IPU) di New York, Amerika Serikat, selesai pada 2 September 2015.
Di mata publik, apalagi ditayangkan media tivi nasional berkali-kali, apa pun alasannya pertemuan Setya Novanto dengan Trump ini tidak boleh terjadi. Persoalannya, Donald Trump sedang memainkan pengaruh untuk meraih simpati sebagai persiapan agar mulus ke Gedung Putih menggantikan Barrack Obama kelak sebagai Presiden Amerika Serikat. Sementara pada diri Setya Novanto melekat predikatnya sebagai Ketua Parlemen Indonesia. Jadi apapun alasannya, tetap saja pertemuan ini berkadar politis. Dan, publik pun tidak bisa menutup mata dan serta merta pertemuan tersebut dinilai tidak atau kurang etis bagi seorang pejabat publik Indonesia.
Ribut-ribut mengenai pertemuan Novanto-Trump ini juga menggerakkan ‘hati’ MKD menggelar sidang etik. Para anggota MKD mencoba ‘mengadili’ sang Ketua Dewan dengan cara, entah bagaimana model dan gejolak nuraninya. Persoalannya, sidang MKD ini dengan terperiksa bagaikan ‘jeruk makan jeruk’. Bagaimana mungkin mengharapkan produk sidang MKD yang sesuai aspirasi publik jika praktiknya adalah menyidangkan sang ketua mereka sendiri. Sungguh sulit dibayangkan seperti apa. Apalagi kalau sidang terhadap Novanto kemudian dilaksanakan ‘sembunyi-sembunyi’, tertutup.
Orang sudah lupa dan memang negara ini adalah republik pelupa, publik pun tidak ingat seperti apa sanksi yang diberikan kepada Novanto atas ulahnya bertemu dengan Trump. Jika tidak salah, sanksinya berupa teguran. Satu jenis sanksi yang kadangnya mungkin paling rendah untuk sebuah pelanggaran etika yang dampaknya besar dari sisi citra seorang pejabat publik. Padahal, ini merupakan pelanggaran etik berat, karena embel-embel negara melekat pada tubuh seorang pejabat publik.
‘’Pengadilan’’ Tipu-Tipu
Kini, Setya Novanto ‘terjaring’ lagi kasus dugaan pelanggaran etika. Para anggota MKD sepertinya masih sulit mengerti kalau ketuanya doyan melakukan (dugaan) pelanggaran etika. Mestinya, andaikata rekaman itu terbongkar lebih awal, justru kasus PT Freeport ini yang lebih dulu mengantar 17 anggota DPR RI duduk gagah dengan jubah merah-putihnya dengan panggilan ‘’yang mulia’’. Sayang, Ma’roef Syamsuddin, Presiden Direktur PT Freeport, terlambat ‘’membocorkan’’ isi rekaman itu kepada Sudirman Said, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Kita tidak perlu menyoal tarik ulur mengenai sidang terbuka-tertutup dan legal standing yang berlangsung menjelang dan selama sidaing MKD ini. Yang jelas, ini merupakan sidang yang sangat diskriminatif dan betapa – sudah diramalkan -- anggota MKD susah memiliki nurani agak sedikit independen menangani sidang etik ini. Sudirman Said dan Ma’roef Sjamsuddin ‘’diadili’’ secara terbuka, sementara Novanto disidangkan secara tertutup atas permintaan sang Ketua DPR sendiri dengan alasan ada informasi yang harus dirahasiakan. Padahal, kenyataannya berdasarkan pemberitaan media yang bersumber dari anggota MKD yang masih punya nurani, tidak ada informasi yang perlu dirahasiakan sebagaimana diamanahkan oleh Pasal 17 UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) yang berkaitan dengan informasi yang dikecualikan. Isi penjelasan Novanto hanya membantah dan tidak mau membahas isi rekaman yang sudah diputar ulang oleh sidang MKD.
Ironis sekali, sidang MKD kali ini. Bagaikan publik sedang menonton sinetron yang sedang ditatapi oleh 17 orang yang mulia di balik pintu yang tertutup rapat secara ‘’sembunyi-sembunyi’’. Moncong-moncong kamera TV yang merupakan perpanjangan mata dari puluhan jutaan pasang mata penduduk negeri hanya menyaksikan ‘pengadilan tipu-tipu’ dengan agenda utama ‘’jeruk makan jeruk’’. Setelah itu, mari kita mulai ramai-ramai (melawan) lupa…!
Oleh:
M Dahlan Abubakar
Wartawan Senior