KSN Tolak Paket Kebijakan Ekonomi Tahap IV Jokowi-JK
KHL ditetapkan melalui survey kebutuhan pokok yang riil kemudian harganya dirundingkan dengan Dewan Pengupahan untuk menetapkan nilai KHL.
Penulis: Alfian | Editor: Mutmainnah
Laporan Wartawan Tribun Timur Alfian
MAKASSAR, TRIBUN-TIMUR.COM - Konfederasi Serikat Nasional (KSN) mengkritik Paket Kebijakan Ekonomi Tahap IV Pemerintahan Jokowi-JK. Hal tersebut tertuang pada pernyataan sikap yang dirilis KSN ke Tribun Timur, Minggu (18/10/2015).
Pada 15 Oktober 2015, pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla meluncurkan Paket Kebijakan Ekonomi IV, yang difokuskan pada masalah ketenagakerjaan. Salah satu poin inti paket kebijakan ekonomi adalah mengenai formula penghitungan Upah Minimum (UM), yang akan berlaku dalam bentuk Upah Minimum Provinsi (UMP) Upah Minimum Provinsi Sektoral (UMPS), Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota Sektoral (UMKS), untuk buruh/pekerja di Indonesia yang masa kerja nol tahun.
Formula penghitungan upah yang disampaikan jelas sangat berbeda dengan penghitungan upah selama ini yang berbasis pada Komponen Hidup Layak (KHL).
KHL ditetapkan melalui survey kebutuhan pokok yang riil kemudian harganya dirundingkan dengan Dewan Pengupahan untuk menetapkan nilai KHL kemudian menjadi acuan utama untuk menetapkan Upah Minimum.
Selama ini hampir semua keputusan KHL oleh Dewan Pengupahan bermasalah karena tidak pernah bisa mengakomodasi hasil-hasil survey dari serikat buruh/serikat pekerja. Belum lagi Dewan Pengupahan dari pihak Apindo berselingkuh dengan oknum pemerintah yang menjadi anggota dewan pengupahan.
Lebih parah lagi KHL yang mereka tetapkan hampir tidak ada yang memenuhi upah minimum baik kota/kabupaten maupun provinsi.
Dengan formula penghitungan upah minimum dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) pengupahan dengan system Pengupahan yang selama ini berjalan sama saja keluar dari mulut buaya masuk di mulut harimau. Sehingga solusi yang tepat bagi pengupahan di Indonesia adalah buat Undang-undang baru untuk menggantikan UU ketenagakerjaan yang sekarang berlaku karena semua UU tidak ubahnya mengabdi pada kepentingan pemodal. (*)