Direktur LAPAR: 8 Problem 100 Hari Kerja DIA
Abdul Karim merinci delapan (8) masalah 100 hari masa kerja perdana Wali Kota Makassar dan Wakil Wali Kota Makassar Danny Pomanto-Syamsu Rizal (DIA)
Laporan Wartawan Tribun Timur, Ilham
TRIBUN-TIMUR, MAKASSAR -Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR) Sulsel Abdul Karim merinci delapan (8) masalah 100 hari masa kerja perdana Wali Kota Makassar dan Wakil Wali Kota Makassar Danny Pomanto-Syamsu Rizal (DIA).
Berikut ulasan Abdul Karim kepada tribun-timur.com, Minggu (17/8/2014) malam:
* Pertama, visi-misi DIA yang sebelumnya adalah rancangan politik belum di-transformasi menjadi bangunan rancangan kerja pembangunan operasionil untuk lima tahun mendatang.
Visi-misi politik belum diterjemahkan secara detail sebagai agenda pokok pembangunan kota Makassar lima tahun kedepan. Padahal, transformasi itu sejatinya rampung sejak dini agar pemerintahan DIA bisa tancap gas mengiringi kecepatan proses ber-kota warga Makassar.
* Kedua, tata pengelolaan pemerintahan secara demokratis, baik sebagai wacana maupun sebagai praksis tampaknya belumlah disentuh oleh pasangan DIA.
Padahal, aspek ini sangat penting untuk mendorong perlakuan yang layak dan demokratis terhadap publik kota ini.
Disamping itu, tata kelola pemerintahan secara demokratis bisa menjadi maenstream pemerintahan untuk mendongkrak kesejahteraan rakyat melalui layanan publik.
Sebagai contoh kasus di sini adalah, maraknya praktek Pungli pada sejumlah sekolah di kota Makassar beberapa waktu lalu. Kasus pungli merupakan salah satu efek tak diterapkannya tata kelola pemerintahan secara demokratis.
* Ketiga, ada gejala DIA bekerja berdasarkan opini yang dibangun media massa, terutama terkait situasi lapangan sosial-ekonomi warga Makassar. Pada titik ini, wacana pembangunan Makassar yang digagas DIA tanpa disadari justeru menjadi menyempit, sebab terbatas pada wacana media.
Seharusnya DIA membangun cara kerja yang memungkinkan DIA menangkap problem-problem sosial-ekonomi warganya di bawah. Karena, perangkat institusi yang dimiliki DIA sangat memungkinkan Pemkot Makassar di tangan DIA untuk mengeksplorasi problem yang dimaksud.
* Keempat, belum terlihatnya pengorganisasian birokrasi secara efektif untuk mendorong pemajuan layanan publik yang baik. Bahkan, yang terjadi malah gambaran tidak ter-konsolidasinya perangkat birokrasi. Mutasi yang direncanakan DIA pascaseratus hari sesungguhnya bukanlah solusi efektif untuk memastikan birokrasi terkonsolidasi.
Apalagi, jika mutasi yang dijalankan sekedar menggeser pejabat ini dan pejabat itu tanpa disertai penekanan pencapaian target kinerja dengan indikator masing-masing, serta sanksi bila target tak terwujud.
Maka, mutasi sejatinya diletakkan dalam bingkai reformasi birokrasi untuk pelayanan publik yang baik dalam rangka percepatan kesejahteraan rakyat.
* Kelima, "lorong" sebagai jualan yang dikampanyekan pasangan DIA pada Pilwali tahun lalu saat ini belum benar-benar tersentuh. Beberapa bulan lalu, terdengar wacana penguatan ekonomi lorong dari Sidak yang dilakukan Wali Kota Makassar di kantor Dinas Koperasi dan UKM Kota Makassar.
Tetapi, baru-baru ini Kadis Koperasi dan UKM Kota Makassar, Gani Sirman mengakui bahwa gerakan koperasi lorong dihantui masalah klasik, yakni; kurang dana (Tribuntimur.com, 13/8).
Apakah ini sinyal bahwa rencana penguatan lorong utopis?. Entahlah.
Keenam, lambannya pasangan DIA menjalankan penguatan birokrasi sebagai kekuatan eksekutor layanan publik dan program yang dirancang DIA dalam visi-misinya.
Harusnya, agenda penguatan birokrasi dijalankan sejak selesai dilantik berjalan seiring dengan dinamika masyarakat. Mesin birokrasi harus bergerak bekerja seiring dengan proses dan dinamika masyarakat. Bukankah dinamika masyarakat senantiasa berputar dari waktu ke waktu pasca pelantikan DIA?
* Ketujuh, pola relasi DIA dengan DPRD Makassar dalam konteks seratus hari ini tidak berlangsung secara produktif, terutama untuk tujuan-tujuan pembangunan masyarakat. Faktor ini juga sangat dipengaruhi oleh dinamika di parlamen Makassar.
Sebab, kerja politik kota aktor pokoknya adalah eksekutif dan legislatif. Sayangnya, seperti diketahui, jelang berakhirnya masa tugas anggota DPRD Makassar periode 2009-2014 dinamika diparlamen itu sama sekali tidak menunjukkan situasi positif yang berhubungan langsung dengan kesejahteraan rakyat.
Dampaknya, kerja politik kota menjadi kabur. Padahal, kerja politik kota begitu terang, yakni; mengurus soal-soal yang terukur, langsung menyangkut pemenuhan kehidupan sehari-hari warga.
* Kedelapan, perspektif kota sehat masih jauh dari jangkauan DIA. Kota sehat ditandai tingkat partisipasi warga yang tinggi dalam pengambilan keputusan dan terpenuhinya kebutuhan dasar warganya (Chu dan Simpson; 1996).
Kota sehatpun juga ditandai dengan situasi nyaman dan aman dalam berkota. Maraknya aksi geng motor dan kriminal lainnya di Makassar menunjukkan kota ini kurang sehat. Hingga seratus hari, perspektif kota sehat ini masih terasa jauh.
Demikianlah delapan soal yang terjadi dalam seratus hari pemerintahan DIA. Khusus dalam aspek antisipasi banjir, dimasa datang Pemkot Makassar harus mampu menahan ambisi sejumlah kalangan yang menjadikan kawasan-kawasan resapan air sebagai kawasan permukiman baru, sentra perdagangan, pusat industri, dan mal. (*)