Prof Amiruddin Wafat
Prof Amiruddin Itu Ali Sadikin-nya Sulsel
..itu adalah era Amiruddin. Itulah puncak pemerintahan Orde Baru. Bukan orang yang mencari kekuasaan tapi kekusaanlah yang mancari-nya
MENDIANG Prof Dr Ahmad Amiruddin (82) adalah sosok fenomenal Sulsel.
Untuk menjelaskan siapa dia dengan mudah, di dua periode kepemimpinannya di Sulsel, ada ungkapan sederhana. "Dia adalah adalah Ali Sadikinnya Sulsel"
Prof Amiruddin, dan Ali Sadikin sama-sama 2 periode menjabat gubernur.
Satu di dekade 1960-an hingga 1970-an. Satunya lagi di dekade 1980-an hingga 1990-an.
Ali Sadikin menjabat Gubernur Jakarta 1966 -1977. Sedangkan Prof Amiruddin menjabat satu dekade, 1983-1993.
Tanggal 22 Oktober 2012 lalu, kala salah satu perusahaan tertua di Sulsel, Kalla Group, memasuki usia ke- 60 tahun, Prof Amiruddin menjadi satu dari lima tokoh peraih Kalla Award.
Meski ahli atom nuklir dan berkiprah di pemerintahan namun jasa yang paling dikenang para akademisi di Sulsel dan Indonesia timur adalah kiprahnya sebagai Maestro Pendidikan Sulsel.
Pria kelahiran sebuah kampung pertanian di Desa Doping, Wajo ini adalah pencetus tri konsep pembangunan Sulsel: Pengwilayahan komoditas, Perubahan Pola Pikir, dan Petik Olah Jual.
Di eranya, dia banyak menempatkan akademisi sebagai bupati kepala daerah.
Yah, kala itu adalah era Amiruddin. Itulah puncak pemerintahan Orde Baru, dimana bukan orang yang mencari kekuasaan, tapi kekusaanlah yang mencari-nya .
Dia jadi gubernur ke-4 di masa Orde Baru, karena "dicari" oleh Presiden Soeharto. Dia memimpin tanpa melalui proses politik yang ribet, seperti pasca-reformasi.
Dia adalah sosok pemimpin yang membangun dengan visi mensejahterakan rakyat, bukan janji untuk mensejahterakan rakyat.
Konsepnya pembangunannya adalah menjadikan rakyat mandiri tidak tergantung kepada program dan dana pemerintah.
Dia adalah gubernur, yang lain adalah "pengganti" atau mantan gubernur.
Prof Amiruddin-lah yang merelokasi dan memodernisasi kampus Unhas Barayya ke Tamalanrea. Dengan lobi gaya Orde baru dipindahkannya Unhas dari kota urban di kawasan Bara-barayya, ke Tamalanrea, sekitar 10 km sebelah timur Makassar. Kelak inilah pusat pendidikan paling terintegrasi di timur Indonesia.
Di eranyalah modernisasi pemerintahan dan infrastruktur pemerintahan ditata. Dia "mengubah" lahan pekuburan China menjadi kantor Gubernur Sulsel. Idenya strategis sekaligus monumental.
Prof Dr Taslim Arifin, Ketua tim penilai Kalla Award 2012, memberikan catatan kenapa Amiruddin laik dapat penghargaan Maestro Pendidikan.
"Guru besar Unhas dan ahli atom ini boleh dibilang paripurna di dunia pendidikan. Hampir separuh dosen dan pengajar Unhas yang kini berkiprah atas desakannya untuk menyekolahkan mereka ke jenjang lebih tinggi. Tidak saja itu dia juga melakukan restorasi besar-besaran untuk kampus Unhas," kata dosen Ekonomi Unhas
Dia adalah sosok to macca (intelektual) Bugis yang memulai jenjang pendidikan kampung bersendi religis, dari desa di Wajo, lalu ke kota Sengkang, ke Makassar, ke Bandung lalu ke tugas belajar ke Amerika.
Dia peraih gelar dukturandus, saat ini selevel dengan sarja S1, saat Intsitut Teknologi Bandung (ITB) bernama Universitas Indonesia Bandung (1952). Dan dia sarjana di Bagian Kimia, Fakultas Ilmu Pasti dan Alam.
Dia adalah lelaki Bugis pertama yang meraih gelar Doctor of Philosophy (PhD) dari Universitas Lexington, Kentucky, Amerika 1958-1961. Ia doktor atom, inti dari segala material di bumi.
Dia-lah intelektual Muslim Indonesia yang saat ICMI mengelelah majalah Ulumul Quran, 1990-an dia membahas soal zarrah, (intoi atom) sebagaimana ternukil dalam Alquran.
Prof Amiruddin bukan sosok pemimpin yang protokolir, meski di masanya protokoler adalah segala-galanya bagi pejebat se-level Kepala Daerah Tingkat I.
Suatu saat, di awal dia merintis Kampus Unhas Tamalanrea, di akhir dekade 1970-an, saat Menteri Pendidikan Kabinet Pembangunan II Soeharto (1974 -1978) M Syarif Tayeb berkunjungan ke kampus Unhas Barabaraya.
Kala itu Amiruddin, baru memulai masa jabatan keduanya sebagai Rektor Unhas (1973-1983), Amiruddin rela menjadi sopir mengantar Pak Menteri keliling kampus Unhas.
Dia cerdik bak kancil. Ia teknorat yang tahu kekuatan diplomasi anggaran. Prof Amir tak membawa si menteri melewati jalan mulus beraspal, namun Prof Amiruddin justru sengaja mencari jalan berlubang dan berkubang.
Dari "kecerdikannya" itu dia meyakinkan atasannya di bapak menteri kelahiran Peureulak, Aceh itu, bahwa "sudah saatnya Unhas direlokasi ke wilayah yang laik menjadikannya kampus modern dan nomor satu di Indonesia.
Tak banyak petinggi Unhas orang mengetahui rencana dadakan tersebut. Memang kala itu, rencana prof Amir juga masih kontroversi. Banyak dosen senior yang tinggal di Perumahan Dosen Barayya dan Jl Sunu, juga enggan direlokasi.
Dia teguh pada visi dan rencananya. Dia bukan sosok yang bekerja berdasarkan opini publik, seperti kebanyakan pemimpin masa kini.
Kala itu, senat Unhas banyak yang protes karena dianggap kampus Tamalanrea terletak di Jalan Maros (kini Jl Perintis Kemerdekaan, Km 10).
Dan dia sukses. Dua tahun kemudian, tepatnya di acara Dies Natalis ke - 25 Unhas, tanggal 17 September 1981, Presiden RI Soeharto datang menandatangani prasasti peresmian kampus merah berarsitek Ayam Jantan dari timur yang menghadap ke barat.Dia ingin Unhas berlayar laiknya perahu phinisi
Setelah kampus Unhas berdiri megah, cuma tiga bulan Prof Amiruddin menikmatinya.
Suatu hari, saat rektor dijabat pelanjutnya Prof Basri Hasanuddin, Prof Amiruddin bahkan harus diceburkan ke danau yang dibuatnya di kampus Unhas. Saat itu, Menristek BJ Habibie mendorong Prof Amiruddin hingga tercebur ke danau. Tapi itu memang nazar Prof Amiruddin, setelah dia berhasil membangun kampus Unhas Tamalanrea.
"Dia adalah tokoh sipil pertama yang meraih penghargaan dari negara Bintang Mahaputra. Karya monumentalnya saat menjadi rektor dan gubernur belum tersaingi," puji Taslim.
Dan karena bintang itu pulalah kenapa ia berhak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Panaikang, Makassar.
Namun, ternyata entah ada wasiat, kerabat Prof Amiruddin memilih memakamkan jenazah pria bugis kelahiran Gilireng, Wajo, 25 Juli 1932 ini di Taman Pemakaman Umum (TPU) Panaikang, di samping makam istri pertamanya St Kasudarsini Amiruddin yang meninggal akhir dekade 1990-an. (thamzil thahir)