Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Filsafat Kebohongan

Meskipun kebohongan di negeri kita ini sudah sedemikian sistemik, masih saja ada harapan untuk melakukan perubahan.

Penulis: Aldy | Editor: Aldy
Meskipun kebohongan di negeri kita ini sudah sedemikian sistemik, masih saja ada harapan untuk melakukan perubahan. Pertama, mulailah perubahan dari diri kita.

Apa yang paling mahal di Indonesia saat ini? Menurut saya yang paling mahal adalah kepercayaan. Rasanya, saat ini sulit sekali menentukan mana yang layak dipercaya dan mana yang tidak.
Sebagaimana sulitnya menentukan siapa yang layak dipercaya dan siapa yang tidak. Maklum, antara kebohongan dan kebenaran sudah bercampur aduk. Terkadang kebohongan ditampilkan dengan wajah yang indah, dipoles sedemikian rupa, dipentaskan oleh aktor-aktor yang seolah-olah tak memiliki dosa, untuk selanjutnya ditepuktangani oleh publik dengan gegap gempita.  
Begitulah negeri kita saat ini. Terlalu banyak kebohongan yang dipertotntonkan. Dan terlalu banyak kebenaran yang disembunyikan. Maka wajar, jika kepercayaan menjadi sesuatu yang paling mahal untuk diberikan.
Saya jadi teringat tentang filsafat kebohongan. Orang-orang bijak mengatakan, "Satu kebohongan akan diikuti kebohongan-kebohongan lain." Orang yang berbohong sekali akan melakukan kebohongan-kebohongan selanjutnya untuk menutupi kebohongan pertama. Dan banyak orang, demi menjaga kehormatan dan nama baiknya, sanggup melakukan ribuan kebohongan untuk menutupi kebohongannya yang pertama.
Begitupun dengan sebuah proses. Sebuah proses yang diawali dengan kobohongan akan menciptkan kebohongan-kebohongan lainnya dalam proses tersebut, untuk menyembunyikan kesalahan yang terjadi dalam proses awalnya.
                  
Kebohongan Pemimpin
Tetapi risiko dari sebuah kebohongan yang dilakukan oleh seseorang tidak sama implikasinya. Ada kebohongan yang berimplikasi kecil/terbatas, namun ada juga kebohongan yang berimplikasi luas.
Hal ini tergantung kapasitas pelakunya. Jika yang berbohong adalah pembantu rumah tangga maka bisa jadi yang dirugikan hanya majikannya. Paling luas, keluarga atau tetangga majikannya.
Tapi jika yang berbohong adalah seorang pemimpin, baik pemimpin negara, pemimpin pemerintahan, atau pemimpin organisasi maka kebohongan tersebut akan diikuti oleh kebohongan-kebohongan yang lebih banyak lagi dan berpotensi merusak sistem yang ada di dalamnya.
Bisa dibayangkan jika yang berbohong adalah seorang Presiden, atau Kepala Daerah, atau Pimpinan DPR/DPRD, maka sangat mungkin semua kebijakan yang dilahirkan dan mengikat kita sebagai rakyat adalah kebijakan yang tegak di atas fundasi kebohongan. Lalu semua kebohongan itu disuguhkan kepada publik dengan sangat meyakinkan, disampaikan berulang-ulang, maka perlahan-lahan kebohongan tersebut diyakini sebagai kebenaran.
Seperti kata orang bijak, kebohongan yang disampaikan berulang-ulang akan menjadi kebenaran yang diyakini. Pemimpin seperti ini tidak hanya merugikan bagi rakyat, tapi juga merusak sendi-sendi negara kita. Sebab kekuasaan yang melekat pada jabatan mereka akan digunakan untuk merekayasa kebohongan-kebohongan yang lebih banyak lagi. Dan dalam waktu yang lama akan menciptkan sebuah kebohongan yang tersistem.
               
Kebohongan Institusi
Dalam skala yang lebih besar lagi, kebohongan yang tersistem akan menjadi kebohongan institusi. Dimana kebohongan dalam setiap proses pada institusi tersebut menjadi bagian dari sistem organisasi.
Kebohongan seperti ini sulit terlacak dan sulit dibuktikan. Sebab setiap bagian dalam institusi tersebut telah memiliki Standard Operational Procedure (SOP) kebohongan masing-masing.
Parahnya, jika kebohongan oleh seorang pemimpin dapat dihentikan dengan mengganti pemimpin tersebut karena telah kehilangan integritas, maka kebohongan institusi jauh lebih sulit untuk dihilangkan.
Sebab sesorang atau sekelompok orang yang masuk ke dalam sistem yang telah rusak ini untuk melakukan perubahan, akan dianggap sebagai musuh bersama, atau malah terpaksa harus ikut dalam puasaran kebohongan institusi tersebut. Penyakit inilah yang banyak menjangkiti institusi-institusi pemerintah di negara kita.
Dalam proses penyusunan anggaran misalnya, sebuah Departemen/Dinas Pemerintah sering melakukan kebohongan-kebohongan kecil seperti mark up harga, hingga kebohongan-kebohongan besar seperti proyek fiktif dalam rancangan anggarannya. Untuk memuluskan kebohongan dalam anggaran tersebut, maka disusunlah berbagai kebohongan-kebohongan yang lain, seperti suap dan gratifikasi.
Di institusi sebelah, DPR/DPRD juga sering terjadi hal yang serupa. Rancangan anggaran yang penuh dengan kebohongan tersebut dimuluskan dengan berbagai kebohongan pula, tidak ada yang protes, atas nama kebersamaan. Demikianlah contoh destruktif dari sebuah kebohongan institusi. Kebohongannya diaminkan secara berjamaah.
Meskipun kebohongan di negeri kita ini sudah sedemikian sistemik, masih saja ada harapan untuk melakukan perubahan. Pertama, mulailah perubahan dari diri kita.
Mungkin tak banyak yang berubah, tetapi percayalah bahwa perlawanan kita terhadap kebohongan dapat menular kepada orang lain di sekitar kita. Dalam skala yang lebih besar perlawanan terhadap kebohongan sistemik ini harus dimulai dari seorang pemimpin.
Hanya pemimpinlah yang dapat merombak sistem institusi yang telah rusak oleh kebohongan. Pemimpin yang berani untuk memutus matarantai kebohongan, yang memiliki integritas baik dalam urusan kecil, apalagi untuk urusan yang besar. Jika seorang pemimpin tidak merasa berat untuk berbohong, maka ia tidak akan berat pula melakukan seribu kebohongan berikutnya.
Di masa-masa yang akan datang, begitu banyak momentum-momentum pergantian kepemimpinan di negeri kita. Mulai dari presiden, wakil rakyat, Pimpinan KPK, gubernur, bupati/wali kota, hingga pemimpin tingkat RT sekalipun, seharusnya menjadi momentum bagi kita, rakyat, untuk meletakkan kepercayaan kepada mereka yang berintegritas, jujur dan berani, dari manapun sukunya, apa pun agamanya, dan warna apa pun bendera politiknya.
Janganlah memulai dari proses yang penuh kebohongan, dengan suap, janji palsu, money politics, dan intimidasi, sebab proses yang diawali dengan kebohongan seperti itu hanya akan melahirkan pemimpin pembohong, sistem yang bohong dan rakyat yang terbohongi.
Apalagi, masyarakat kita dikenal memiliki sifat paternalis, yakni mudah mengikuti perilaku pemimpinnya. Jika pemimpinnya memerankan keteladanan yang tinggi, maka masyarakat luas segera menyiapkan dirinya untuk diatur ke arah tatanan yang bermartabat. Tetapi jika pemimpinnya memberikan contoh perilaku yang tidak terpuji, maka dalam waktu pendek perilaku tidak terpuji itu akan tersosialisasi ke segenap lapisan masyarakat.

Implikasi dari kebohongan yang dilakukan oleh pemimpin bisa pada rusaknya sistem administrasi negara karena pernyataan seorang pemimpin akan ditindak lanjuti oleh aparat di bawahnya. Tetapi, bahaya yang lebih besar dari kebohongan publik yang kemudian terbongkar dan tidak ada sanksi, adalah demoralisasi bangsa, dimulai dengan hilangnya apresiasi masyarakat luas kepada pemimpin, dan selanjutnya sang pemimpin akan hilang kewibawaannya.
Jika rakyat tidak lagi menghormati pemimpinnya, maka setiap orang akan menjadikan diri sendiri sebagai pemimpin, dan akibatnya timbul anarki. Menurut ungkapan bahasa Arab, suatu bangsa tidak akan eksis jika anarki mewabah di masyarakat, dan anarki terjadi ketika perbuatan
bodoh dilakukan para pemimpinnya.***

Oleh;
Irwan
Ketua DPD PKS Kota Makassar

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved