Pemilih Pragmatis Vs Politisi Pragmatis
Hasil survei Jaringan Suara Indonesia (JSI) 4 Oktober lalu memprediksi dominannya pemilih pragmatis pada Pilwalkot Makassar 2013 mendatang.
Pertama, pragmatisme pemilih merupakan gejala buruk dari demokrasi lokal kita. Disebut begitu sebab proses memilih para pemilih tak lagi berbasis pada kriteria-kriteria yang dirasa layak-sebagaimana kriteria-kriteria demokrasi seperti; mampu berbuat adil, menjunjung supremasi hukum, dll. Melainkan didasarkan pada transaksi material yang diterima sebelum memilih. Dalam istilah JSI "menunggu sesuatu untuk memastikan pilihan".
Kedua, fenomena pragmatisme pemilih dapat dijelaskan sebagai efek keringnya pemahaman akan hak-hak politik warga negara. Ini berarti tak ada kemajuan signifikan dalam pengalaman berdemokrasi kita setidaknya pasca reformasi. Lantas, siapa yang paling bertanggungjawab untuk urusan seperti ini? Pemerintah dan parpol lah yang bertanggungjawab. Tugas mereka adalah melakukan sosialisasi hak-hak politik warga negara kepada masyarakat.
Ketiga, fenomena pemilih pragmatis dapat pula difahami sebagai bentuk resistensi politik masyarakat pemilih terhadap para aktor politik. Itu merupakan resistensi atas sikap elit yang cenderung tidak memberikan perhatian ketika telah duduk dikursi kekuasaan. Pengalaman menjadi pemilih ditingkat rakyat dirasakan sebagai pengalaman buruk; dijanji lalu tidak ditepati, dan ini berlangsung bertahun-tahun lamanya. "Lebih baik menerima pemberian sesuatu walau bersifat sesaat daripada tidak mendapatkan apa-apa diesok hari selama lima tahun", kurang lebih begitu persepsi politik yang tumbuh dilevel bawah.
Namun fenomena pemilih pragmatis itu bisa jadi terbit sebab lebih diawali oleh fenomena politisi pragmatis yang menjamur dimana-mana. Lihatlah misalnya, bagaimana politisi lokal kita mendistribusi baliho politiknya dalam jumlah besar di ruang-ruang strategis kota Makassar. Baliho politik itu setidaknya merupakan salah satu cara yang dianggapnya efektif untuk sosialisasi agar dirinya asing dimata publik.
Namun, metode ini terasa instan dan pragmatis. Sebab, bukankah idealnya seorang politisi justeru wajib memiliki basis konstituen yang ril, memiliki kelompok pemilih yang konkrit yang akan diperjuangkannya?. Untuk membangun basis konstituen itu, maka tentu tak semudah mendistribusi baliho, atau tak segampang membalik telapak tangan. Intinya, membangun basis konstituen harus berkeringat, bukan kerja pragmatis, melainkan harus lahir dari proses dialektis antara politisi dengan kelompok sosialnya itu sendiri.
Politisi pragmatis tidak saja dapat dilihat dari fenomena baliho itu. Namun dapat pula dilacak dari cara pandangnya terhadap rakyat. Bila politisi melihat rakyat semata sebagai "vote", bukan sebagai "voters" maka tak berlebih bila didefenisikan sebagai politisi pragmatis. Laporan sejumlah media lokal mengindikasikan bagaimana politisi meletakkan rakyat sebagai "vote" semata.
Cara pandang seperti ini mengisyaratkan lemahnya tanggungjawab politisi terhadap pemilihnya usai terpilih. Tak ada urusan dengan pemilih setelah terpilih. Habis manis sepah dibuang. Usai dipilih, rakyat dibuang. Diaras ini, representasi yang ditampilkan para politisi adalah reperesentasi semu.
Politisi pragmatis dapat dikenali pula saat akan berlangsung pemilu/pilkada. Mereka menampakkan diri jelang momentum pemilu atau pilkada. Dengan definisi lain, mereka adalah politisi elektoral.
Bila tak ada momentum pemilu/pilkada, mereka pun tak hadir diruang-ruang publik, mereka absen dari ruang sosial.
Sebaliknya, bila pemilu/pilkada segera digelar, satu persatu mereka hadir. Mereka berlomba hadir diruang-ruang sosial masyarakat. Bahkan, diantara mereka kadangkala rela menyambangi warga dengan cara door to door.
Upaya yang dilakukan politisi pragmatis itu tampak cukup kering muatan pendidikan politiknya, bahkan justeru bisa dikatakan sebagai manipulasi. Mereka hanya berusaha mengubah paradigma bahwa politik itu adalah kursi dan rezeki, tetapi tidak sampai pada politik adalah proses pengambilan keputusan publik.
Pendidikan Politik
Sejatinya, pemilih pragmatis tak boleh dibiarkan hadir terus menerus, sebab akan berdampak negatif terhadap demokratisasi, setidaknya demokrasi akan kehilangan makna substansinya bila pemilih prgamatis menjamur. Untuk itu, perlu antisipasi dalam mencegah meluasnya kelompok pemilih pragmatis ini.
Antisipasi yang memungkinkan ditunaikan adalah memperluas gerakan pendidikan politik untuk warga. Yang diperluas bukan semata-mata objek pendidikan politik itu, tetapi aktor pendidikan politik itupun perlu diperluas, sebab pemerintah dan parpol yang selama ini diamanahkan konstitusi sampai kini nampaknya tidak progressif menjalankan itu.
Karena itu, sudah saatnya lembaga pendidikan, ormas, LSM, dan organsisasi masyarakat civil lainnya perlu mengambil alih peran pendidikan politik ini. Perlu dibangunkan iklim yang memungkinkan mereka menjalankan pendidikan politik untuk warga.
Point utama gerakan pendidikan politik yang dimaksud adalah pendidikan politik yang bertumpu pada partisipasi politik, bukan pada mobilisasi politik atau partisipasi semata. Pendidikan politik yang tidak semata menekankan kesadaran kritis, tetapi juga kesadaran berpolitik rakyat. Ini semuanya penting agar politik tidak lagi dianggap dosa dan demokrasi tidak jatuh ke tangan pemerkosa hak-hak rakyat. Model ini akan segera memperkuat sumber daya politik rakyat sebagai warga negara.
Perbaikan Rekruitmen
Sementara untuk meminimalisasi politisi pragmatis, dibutuhkan komitmen parpol-dalam kaitan ini Parpol sejatinya mereformasi pola rekruitmen kader/aktifis politiknya. Secara normatif, rekruitmen politik ini mencakup; pemilihan, seleksi, dan pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peranan dalam sistem politik pada umumnya dan pemerintah pada khususnya.
Parpol dalam melakukan rekruitmen politik selama ini cenderung pragmatis pula dalam "memilih-menyeleksi-mengangkat" kader politiknya, sehingga politisi yang lahir adalah politisi pragmatis pula. Kecenderungan rekruitmen politik secara pragmatis ini tergambar dari (nyaris) hilanganya kaderisasi politik di internal parpol. Kaderisasi politik sebagai salah satu metode penting rekruitmen politik, kini tergantikan oleh metode "aklamasi" sang ketua umum Parpol bersangkutan.
Selain membuahkan politisi pragmatis dan karbitan, tiadanya metode rekruitmen politik yang rasional-demokratis ditubuh parpol juga akan berpotensi melahirkan konflik yang tidak produktif diinternal parpol.
Dengan demikian, semakin dibutuhkan hadirnya parpol yang mampu melahirkan kader/politisi yang tidak pragmatis, dan mampu bekerja ril untuk konstituennya/rakyat. Untuk mewujudkan ini, pola rekruitmen diinternal parpol melalui kaderisasi penting dijalankan secara berkelanjutan.(*)
Oleh: Abdul Karim
(Direktur Eksekutif LAPAR Sulsel )