Maros Mulai Terapkan Sistem Drip Irrigation dan Seed Priming pada Budidaya Kedelai di Musim Kemarau
Maros merupakan salah satu kabupaten penghasil kedelai yang mempunyai sumbangsih cukup signifikan pada produksi kedelai Sulawesi Selatan.
Program Kemitraan Masyarakat DRPM Kemenristek Dikti
oleh Ir. Hendrik Gunadi, M.P. dan Ir. Machmud Djunaidy, M.Si. (Dosen Universitas Kristen Indonesia Paulus)
TRIBUN-TIMUR.COM - Kendala terbesar dalam penanaman kedelai di musim kemarau adalah ketersediaan air.
Maros merupakan salah satu kabupaten penghasil kedelai yang mempunyai sumbangsih cukup signifikan pada produksi kedelai Sulawesi Selatan.
Pertanaman kedelai umumnya dilakukan setelah padi sawah yaitu sekitar bulan April (awal musim kemarau), di mana ketersediaan air untuk awal pertumbuhan kedelai masih tercukupi.
Namun penanaman selanjutnya di bulan Agustus akan sangat sulit dilakukan karena pada umumnya sawah tadah hujan dan tidak tersedianya air irigasi.
Hal ini dijelaskan oleh Muh. Yahya Kr. Temba (Desa Toddopulia, Kecamatan Tanralili) dan Dg. Latte (Desa Toddolimae, Kecamatan Tompobulu) sebagai petani kedelai yang telah beberapa kali memperoleh piagam penghargaan tingkat nasional, seperti Petani Berprestasi, Pengembangan Kepemimpinan Petani, Ketahanan Pangan, Klinik PHT, serta Pelaku Usaha Sistem Pertanian Prima Menuju Organik.
Universitas Kristen Indonesia Paulus (UKIP) dalam Program Pengabdian Kepada Masyarakat dalam hal ini Program Kemitraan Masyarakat (PKM) yang merupakan hibah dari Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat (DRPM) Kemenristekdikti yang dilaksanakan oleh Ir. Hendrik Gunadi, M.P. dan Ir. Machmud Djunaidy, M.Si., mencoba mencari solusi untuk mengatasi hal tersebut.
Pemanfaatan teknologi irigasi tetes (drip irrigation), perlakuan perendaman benih (seed priming), penggunaan varietas unggul yang tepat, dan penggunaan bahan organik menjadi solusi yang ditawarkan dalam mengatasi permasalahan ini.
Teknologi panen hujan dengan menggunakan tandon air pada ketinggian 5 meter memungkinkan terjadinya penyaluran air ke pertanaman dengan memanfaatkan ketinggian tersebut (gravitasi). Selanjutnya air dialirkan ke pertanaman menggunakan selang irigasi tetes.
Untuk memperbaiki aerasi tanah digunakan pupuk organik yang dicampurkan pada saat pengolahan tanah terbatas, sedangkan untuk benih digunakan benih unggul yang tahan masam (Demas 1) dan benih yang tahan kering serta memiliki isoflavon tinggi (Devon 2).
Benih unggul Demas 1 diberi perlakuan perendaman dengan garam dapur 4g/l air (halo priming), sedangkan benih unggul Devon 2 diberi perlakuan perendaman dengan air (hydro priming) masing-masing selama 24 jam.
Ir. Hendrik Gunadi, M.P. dan Ir. Machmud Djunaidy, M.Si. menjelaskan bahwa dalam demoplot seluas 300 m2 masing-masing di Desa Toddopulia dan Desa Toddolimae, pertanaman kedelai di lapang menunjukkan waktu berkecambahan yang normal (4-5 hari setelah tanam) dengan daya tumbuh mencapai 85%.
Melihat pertumbuhan awal yang normal dan sesuai dengan tahapan pertumbuhan (fenologi) kedelai, maka diharapkan varietas Demas 1 (potensi hasil 2,5 ton/ha) dan Devon 2 (potensi hasil 2,7 ton/ha) dapat memberikan hasil maksimal.
Adapun varietas Demas 1 merupakan kedelai umur sedang dengan umur masak 84 hari dan varietas Devon 2 merupakan kedelai umur genjah dengan umur masak 77 hari, sehingga dapat terhindar dari kekeringan berkepanjangan.
Hasil panen Demas 1 sebesar 1,75 ton/ha dan Devon 2 sebesar 1,8 ton/ha menunjukkan bahwa penerapan teknologi drip irrigation, seed priming, varietas unggul, dan bahan organik secara bersamaan mampu mengatasi kendala penanaman kedelai pada musim kemarau di Kabupaten Maros. (*)