Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Bom Bunuh Diri di Surabaya Bukan Jihad dan Pelaku Tak Mati Syahid, Berikut Penjelasannya dalam Islam

Pelaku pengeboman yang merupakan satu keluarga ini, lanjut Tito, terkait dengan sel JAD yang ada di Surabaya.

Editor: Edi Sumardi
Sekeluarga pelaku bom bunuh diri di Surabaya, Jawa Timur. 

TRIBUN-TIMUR.COM - Kapolri, Jenderal Polisi Tito Karnavian mengatakan bahwa para pelaku ledakan bom di tiga gereja di Surabaya, Jawa Timur, Ahad (13/5/2018), terkait dengan kelompok pendukung utama ISIS (Islamic State of Iraq and Syria atau Islamic State of Iraq and al-Sham).

"Kelompok ini tidak lepas dari kelompok bernama JAD-JAT, Jamaah Anshar Daulah-Jamaah Ansharut Tauhid yang merupakan pendukung utama ISIS," kata Tito di Surabaya, Ahad, sebagaimana dikutip dari Kompas.com.

Tito menuturkan, JAD di Indonesia didirikan oleh Aman Abdurrahman yang sekarang ditahan di Mako Brimob, Kelapa Dua, Kota Depok, Jawa Barat.

Pelaku pengeboman yang merupakan satu keluarga ini, lanjut Tito, terkait dengan sel JAD yang ada di Surabaya.

Dita, sang kepala keluarga, bahkan tercatat sebagai ketua dari kelompok tersebut.

"Kemudian aksi ini kita duga motifnya, pertama adalah di tingkat internasional ISIS ini ditekan oleh kekuatan-kekuatan baik dari barat, Amerika dan lain-lain jadi dalam keadaan terpojok, memerintahkan semua jaringannya di luar termasuk yang sudah kembali ke Indonesia untuk melakukan serangan termasuk di London, juga ada peristiwa, terorisme dengan menggunakan pisau di sana," katanya.

Tito menambahkan, di Indonesia, ada dua macam kelompok terkait ISIS yang menjadi ancaman, yakni JAT dan JAD yang sel-selnya ada di beberapa tempat, serta mereka yang kembali berangkat ke Suriah dan kembali ke Indonesia atau tertangkap di otoritas di Turki atau Yordania dan kembali ke Indonesia. 

Menurut dia, jumlah yang sudah berangkat ke Suriah tercatat lebih dari 1.100 orang dengan 500 di antaranya masih di Suriah, 103 meninggal dunia di Suriah, dan sisanya dideportasi kembali ke Indonesia.

"Itu jadi tantangan kita karena mindset mereka ideologinya ISIS," katanya.

Tito menambahkan, untuk beberapa kasus termasuk aksi bom Thamrin para dalangnya telah diproses namun di lapangan para pemimpinnya digantikan sosok lain di antaranya ditunjuk Ketua JAD Jatim Zainal Ansyori yang diketahui membiayai penyelundupan senjata ke Filipina.

Menurut Tito, penangkapan para pemimpin kelompok ini membuat mereka bereaksi keras melakukan pembalasan salah satunya membuat kerusuhan di Mako Brimob.

"Setelah ada kerusuhan, membuat sel-sel lain yang membuat maunya panas karena ada ISIS di Suriah maupun pemimpin tertangkap mengambil momentum untuk pembalasan itu di beberapa tempat," katanya.

Di Jatim kata Tito, kelompok yang bergerak adalah JAD Surabaya termasuk satu keluarga yang diduga sebagai pelaku pengeboman di tiga gereja di Surabaya.

"Kami sudah lapor ke Presiden bahwa Polri, TNI, BIN selain yang ditangkap 2 hari yang lalu saya lapor ke TNI kita akan operasi bersama, penangkapan-penangkapan ke sel-sel JAD-JAT maupun mereka yang akan melakukan aksi," katanya.

Aksi Jihad

Peledakan bom di Surabaya, kemarin, menurut Kapolda Jawa Timur, Irjen Pol Machfud Arifin adalah imbauan dari pemimpinnya untuk aksi jihad.

"Setelah kejadian itu, memang sempat viral, kalau pimpinannya menghimbau anggotanya untuk melakukan jihad," jelas Machfud.

Lalu, bagaimana hukum bom bunuh diri seperti terjadi di Surabaya, dalam Islam?

Betulkah itu merupakan jihad dan para pelaku mati syahid?

Soal bom bunuh diri, dikutip dari laman Muslim.or.id, Allah SWT berfirman (yang terjemahannya), “Dan janganlah kalian membunuh diri kalian, sesungguhnya Allah Maha menyayangi kalian.” (QS An-Nisaa’: 29)

Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang bunuh diri dengan menggunakan suatu alat/cara di dunia, maka dia akan disiksa dengan cara itu pada hari kiamat.” (HR Bukhari dan Muslim).

Adapun bunuh diri tanpa sengaja maka hal itu diberikan udzur dan pelakunya tidak berdosa berdasarkan firman Allah SWT (yang terjemahannya), “Dan tidak ada dosa bagi kalian karena melakukan kesalahan yang tidak kalian sengaja akan tetapi (yang berdosa adalah) yang kalian sengaja dari hati kalian.” (QS Al-Ahzab: 5).

Dengan demikian aksi bom bunuh diri yang dilakukan oleh sebagian orang dengan mengatasnamakan jihad adalah sebuah penyimpangan (baca: pelanggaran syariat).

Apalagi dengan aksi itu menyebabkan terbunuhnya kaum muslimin atau orang kafir yang dilindungi oleh pemerintah muslimin tanpa alasan yang dibenarkan syariat.

Allah berfirman (yang terjemahannya), “Dan janganlah kalian membunuh jiwa yang Allah haramkan kecuali dengan alasan yang benar.” (QS Al-Israa’: 33)

Bagaimana jika membunuh muslim secara sengaja atau tidak?

Rasulullah SAW bersabda, “Tidak halal menumpahkan darah seorang muslim yang bersaksi tidak ada sesembahan (yang benar) selain Allah dan bersaksi bahwa aku (Muhammad) adalah Rasulullah kecuali dengan salah satu dari tiga alasan: [1] nyawa dibalas nyawa (qishash), [2] seorang lelaki beristri yang berzina, [3] dan orang yang memisahkan agama dan meninggalkan jamaah (murtad).” (HR Bukhari  Muslim)

Beliau juga bersabda, “Sungguh, lenyapnya dunia lebih ringan bagi Allah daripada terbunuhnya seorang mukmin tanpa alasan yang benar.” (HR Al-Mundziri, lihat Sahih At-Targhib wa At-Tarhib).

Hal ini menunjukkan bahwa membunuh muslim dengan sengaja adalah dosa besar.

Dalam hal membunuh seorang mukmin tanpa kesengajaan, Allah mewajibkan pelakunya untuk membayar diyat/denda dan kaffarah/tebusan.

Allah ta’ala berfirman (yang terjemahannya), “Tidak sepantasnya bagi orang mukmin membunuh mukmin yang lain kecuali karena tidak sengaja. Maka barangsiapa yang membunuh mukmin karena tidak sengaja maka wajib baginya memerdekakan seorang budak yang beriman dan membayar diyat yang diserahkannya kepada keluarganya, kecuali apabila keluarganya itu berkenan untuk bersedekah (dengan memaafkannya).” (QS An-Nisaa’: 92).

Adapun terbunuhnya sebagian kaum muslimin akibat tindakan bom bunuh diri, maka ini jelas tidak termasuk pembunuhan tanpa sengaja, sehingga hal itu tidak bisa dibenarkan dengan alasan jihad.

Bagaimana membunuh orang kafir tanpa hak?

Membunuh orang kafir dzimmi, mu’ahad, dan musta’man (orang-orang kafir yang dilindungi oleh pemerintah muslim), adalah perbuatan yang haram.

Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa yang membunuh jiwa seorang mu’ahad (orang kafir yang memiliki ikatan perjanjian dengan pemerintah kaum muslimin) maka dia tidak akan mencium bau surga, padahal sesungguhnya baunya surga bisa tercium dari jarak perjalanan 40 tahun.” (HR Bukhari).

Adapun membunuh orang kafir mu’ahad karena tidak sengaja maka Allah mewajibkan pelakunya untuk membayar diyat dan kaffarah sebagaimana disebutkan dalam ayat (yang terjemahannya), “Apabila yang terbunuh itu berasal dari kaum yang menjadi musuh kalian (kafir harbi) dan dia adalah orang yang beriman maka kaffarahnya adalah memerdekakan budak yang beriman, adapun apabila yang terbunuh itu berasal dari kaum yang memiliki ikatan perjanjian antara kamu dengan mereka (kafir mu’ahad) maka dia harus membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya dan memerdekakan budak yang beriman. Barangsiapa yang tidak mendapatkannya maka hendaklah berpuasa dua bulan berturut-turut supaya taubatnya diterima oleh Allah. Allah Maha mengetahui lagi Maha bijaksana.” (QS An-Nisaa’: 92)

Bolehkah mengatakan si Fulan syahid?

Di dalam kitab sahihnya yang merupakan kitab paling sahih sesudah Aquran, Bukhari rahimahullah menulis bab berjudul “Bab. Tidak boleh mengatakan si fulan syahid” berdalil dengan sabda Nabi SAW, “Allah yang lebih mengetahui siapakah orang yang benar-benar berjihad di jalan-Nya, dan Allah yang lebih mengetahui siapakah orang yang terluka di jalan-Nya.” (Sahih Bukhari, cet Dar Ibnu Hazm, hal 520)

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menerangkan (Fath Al-Bari, jilid 6 hal 90 cet Dar Al-Ma’rifah Beirut  Asy-Syamilah), “Perkataan beliau ‘Tidak boleh mengatakan si fulan syahid’, maksudnya tidak boleh memastikan perkara itu kecuali didasari dengan wahyu…”

Al-‘Aini rahimahullah juga mengatakan, “Maksudnya tidak boleh memastikan hal itu (si fulan syahid, pent) kecuali ada dalil wahyu yang menegaskannya.” (Umdat Al-Qari, jilid 14 hal 180 Asy-Syamilah)

Nah, sebenarnya perkara ini sudah jelas. Yaitu apabila ada seorang mujahid yang berjihad dengan jihad yang syar’i kemudian dia mati dalam peperangan maka tidak boleh dipastikan bahwa dia mati syahid, kecuali terhadap orang-orang tertentu yang secara tegas disebutkan oleh dalil!

Maka keterangan Bukhari, Ibnu Hajar, dan Al-‘Aini –rahimahumullah– di atas dapat kita bandingkan dengan komentar Abu Bakar Ba’asyir -semoga Allah menunjukinya- terhadap para pelaku bom Bali, “… Amrozi dan kawan-kawan ini memperjuangkan keyakinan di jalan Allah karena itu saya yakin dia termasuk mati
sahid,” tegasnya dalam orasi di Pondok Pesantren Al Islam, Sabtu (8/11/2008).”

Kalau orang yang benar-benar berjihad dengan jihad yang syar’i saja tidak boleh dipastikan sebagai syahid -selama tidak ada dalil khusus yang menegaskannya- lalu bagaimanakah lagi terhadap orang yang melakukan tindak perusakan di muka bumi tanpa hak dengan mengatasnamakan jihad -semoga Allah mengampuni dosa mereka yang sudah meninggal dan menyadarkan pendukungnya yang masih hidup-… Ambillah pelajaran, wahai saudaraku…(*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved