Butuh Rp 3 M, Ini Pengorbanan Besar Pemuda Pangkep Penemu Biodiesel dari Minyak Jelantah
Lelaki kelahiran Pangkep ini, kemudian bercerita begitu runut, awal mula kisah usahanya.
Penulis: Muhammad Fadhly Ali | Editor: Ina Maharani
Laporan Wartawan Tribun Timur, Muhammad Fadhly Ali
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR -- Merubah minyak jelantah menjadi biodiesel butuh Rp 3 miliar. "Itu hitungan awal, ternyata Rp 300 juta sudah cukup," kata Andi Hilmy Mutawakkal membuka pembicaraan lepas di Redaksi Tribun Timur, Senin, (27/2), kemarin.
Sebelumnya, ia duduk santai sembari meminum air mineral kemasan kala dipersilakan. Lelaki kelahiran Pangkep ini, kemudian bercerita begitu runut, awal mula kisah usahanya.
Berawal dari keprihatinan kala solar langka di Pelabuhan Paotere pada 2014 silam. "Nelayan cerita, rata-rata perhari mereka membutuhkan 22 ribu liter solar. Namun pemerintah hanya bisa menyediakan 16 ribu liter," kata alumnus SMAN 1 Bungoro, Pangkep.
Ini yang membuat tangkapan nelayan menurun. Karena jarak tempuhnya terbatas bahan bakar. Yang juga membuatnya prihatin saat itu adalah tukang gorengan yang menggunakan minyak bekas (jelantah) kehitaman untuk menggoreng dan banyaknya preman berkeliaran.
"Minyak jelantah itu kan bahaya buat kesehatan. Banyak oknum yang menggunakan minyak ini untuk menggoreng," katanya.
Makanya, bersama empat sahabatnya Achmad Fauzy Ashari, Rian Hadyan Hakim, Jonathan Akbar, dan Fauzy Ihza Mahendra membuat sebuah perusahaan Garuda Energi Nusantara (Genoil).
Dari mesin kecil berkapasitas 30 liter Hilmy ingin membangun pabrik biodiesel yang lebih besar. Dengan bahan baku dari minyak jelantah bekas tukang gorengan, biodiesel yang dihasilkannya bisa dijual ke para nelayan yang kesulitan membeli solar. Bahkan ia mempekerjakan 30 preman sebabagai pengepul minyak jelantahdi hotel dan rumah makan.
"Wawi (Achmad Fauzy) teman saya yang saat itu kuliah di jurusan Teknik Mesin Universitas Hasanuddin pun menyambut ide saya. Apalagi, kami berhasil mendapat uang penelitian sebesar Rp 20 juta dari kampus. Kita jadikan modal awal," ujarnya.
Namun itu tidak cukup untuk membuat sebuah pabrik. Mereka pun dekat, Hilmy Habis-habisan mengumpulkan modal. Bahkan mereka nekad menggadai 2 motor, 1 mobil, dan sebidang tanah keluarga nekad. "Sisa harga diri yang tidak kami digadaikan," kata ujar Hilmy.
Hasilnya, uang Rp 300 juta pun terkumpul. Mereka gunakan untuk merakit mesin di garasi rumah milik keluarga Achmad Fauzy. “Semua kami kerjakan sendiri, potong-sambung pipa, gerinda, mengecat, sampai jago semua,” ujar mahasiswa UNM Jurusan Antropologi.
Tak perlu waktu lama, mesin berkapasitas 6.000 liter itu pun beroperasi, meski tak sampai penuh. Hampir setiap hari, para preman yang sudah jadi mantan itu mengirim 1.000 liter minyak jelantah ke Genoil.
Mereka juga yang mengirim biodiesel yang dihasilkannya ke sekitar 300 nelayan di Paotere.
Semua mendapat jatah rezekinya masing-masing. Tukang-tukang gorengan menjual jelantahnya seharga Rp 1000 - 1500/liter pada para mantan preman. Mereka akan mendapat untung karena Genoil membeli jelantah dari tangan mereka seharga Rp 2.500/liter.
Genoil kemudian menjual biodiesel ke para nelayan seharga Rp 5.500 per liter. Kini, dengan produksi biodiesel lebih dari 2.000 liter per hari, omzet mereka mencapai puluhab juta per bulan. “Alhamdulillah, awal tahun ini semua barang yang sempat digadaikan sudah ditebus,” kata anak dark pasangan Andi Amal Saleh dan Andi Ramlah ini.
Ia pun berencana membesarkan Genoil. Apalagi potensi bahan bakunya sangat besar jika membeli minyak jelantah dari RT/RW.
"Saat ini Pemkot mulau memberi support. Semoga ke depan Genoil bisa memproduksi 10 ribu liter dengan bantuan Wali Kota Makassar," harapnya. (*)