Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Laporan Langsung dari Papua

Kebebasan Pers di Papua Masih Rendah, Sulit Beritakan Korupsi

Syech yang lebih akrab disapa Eye ini mengungkapkan kebebasan pers di era presiden Joko Widodo dengan pemerintah sebelumnya tak ada perubahan signifik

Penulis: Anita Kusuma Wardana | Editor: Ina Maharani
TRIBUN TIMUR/ANITA K WARDANA
tim Media Freedom Indonesia dari WAN-IFRA berdiskusi bersama sejumlah jurnalis di Merauke, Selasa (31/1/2017). 

Laporan Wartawan Tribun Timur, Anita Wardana

TRIBUN-TIMUR.COM, MERAUKE-Runtuhnya rezim orde baru memberi angin segar bagi kebebasan pers di Indonesia. Kebebasan pers pun semakin diakui dengan dibuatnya Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang pers.

Namun kenyataannya, kebebasan pers hingga saat ini masih dipertanyakan. Adanya intimidasi, tekanan, kekerasan terhadap jurnalis masih kita temui di era pasca reformasi ini, termasuk di timur Indonesia, Merauke, Papua.

Hal tersebut mengemuka saat tim Media Freedom Indonesia dari WAN-IFRA, dimana Tribun Timur ikut di dalamnya, berdiskusi bersama sejumlah jurnalis di Merauke, Selasa (31/1/2017).

Mereka yang hadir, Frans Kobun dari Tabloid Jubi, Agapitur Batbual dari Mongabay.co.id, Syech Boften dari Papua Selatan Pos, Emanuel Riberu dari Harian Pagi Papua, Jaka Maturbongs dan F Hustasdiy juga dari Papua Selatan Pos.

Pada kesempatan tersebut, Frans mengungkapkan, saat masih bergabung dengan Papua Selatan Pos, media tersebut pernah 'dibredel' sebanyak dua kali pascareformasi, tepatnya tahun 2007 dan 2008.

Di tahun 2007 mereka dilarang terbit hanya karena pemberitaan soal lokasi transmigrasi yang dinilai tak layak ditempati karena kekeringan.

Selama dua bulan mereka tak terbit, tak ada aktivitas di ruang redaksi. Jurnalis Papua Selatan Pos menjadi 'pengangguran'.

Sementara di tahun 2008, mereka 'dibredel' karena masalah etika foto yang ditampilkan di halaman depan. Saat itu, Papua Selatan Pos memasang foto korban pembunuhan dengan leher terputus tanpa sensor sama sekali.

Papua Selatan Pos kemudian dibanjiri kritikan baik dari masyarakat maupun institusi Dinas Informasi dan Komunikasi Merauke. Infokom Merauke pun memanggil manajemen Papua Selatan Pos dan meminta mereka tak terbit untuk sementara waktu.

"Kalau yang masalah ini, kami akui salah. Kurang mengontrol layout. Akhirnya, dua minggu kami tak terbit,'ujar Frans.

Sementara saat bergabung dengan Jubi, Frans pernah dilaporkan ke Dewan Pers saat mengungkap segala 'bobrok' di kampus Universitas Musamus Merauke.

"Saya tidak akan lari, saya berani mempertanggungjawabkan tulisan saya," katanya.

Pasalnya, Frans merasa apa yang ia tulis adalah fakta dari sumber yang sahih. Namun, saat mencoba mengkonfirmasi ke Rektor Unmus, Philipus Betaubun, tak ada jawaban karena pada saat itu.

Ini pulalah yang menjadi kendala jurnalis di Merauke. Tak ada keterbukaan narasumber untuk memberikan informasi, saat jurnalis berusaha mengkonfirmasi.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved