UN atau Pemenuhan SPM Pendidikan
Siswa hanya diminta fokus belajar pada ranah pengetahuan (knowlidge). Padahal bisa jadi, bukan hasil UN yang ‘mencerahkan’ masa depan anak-anak itu.
Pekan-pekan ini peserta didik/siswa SMP/MTS dan SMA/SMK/MA yang akan mengikuti Ujian Nasional (UN), mengalami lagi tekanan jiwa alias stres. Stres ini dialami dari tahun ke tahun sejak diberlakukan UN tahun 1965 yang dulu dikenal dengan istilah Ebtanas (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional). Betapa tidak, ‘hantu’ UN itu sangat menyiksa batin peserta didik. Mereka yang akan UN kehilangan keceriaan dan kebahagiaannya beberapa waktu lamanya. Saking stresnya, beberapa di antara mereka sulit untuk tidur dan sering melamun. Bagi mereka yang memiliki orangtua yang peduli dan mampu secara ekonomi, mati-matian ikut bimbingan belajar, baik yang dilakukan pihak sekolah maupun pusat-pusat bimbingan belajar lainnya. Muncullah ‘bisnis baru’ yang ‘memaksa’ para orang tua mengeluarkan biaya tambahan bagi anaknya.
Menghadapi UN, para siswa tersebut hanya fokus belajar pada ranah pengetahuan. Karena memang UN hanya menyentuh ranah pengetahuan siswa saja. UN tidak menyentuh ranah sikap dan perilaku serta skill/keterampilan siswa. Itulah alasannya mengapa siswa tersebut diminta pihak sekolah/madrasah dan pada umumnya orang tua siswa untuk menghentikan berbagai aktivitas ekstrakurikulernya seperti berhenti berorganisasi, berolahraga, berkesenian, kegiatan penalaran, dan pengembangan bakat dan minat lainnya.
Siswa hanya diminta fokus belajar pada ranah pengetahuan (knowlidge) saja. Padahal bisa jadi, bukan hasil UN yang ‘mencerahkan’ masa depan anak-anak itu. Tapi justru yang diperoleh dari kegiatan ekstrakurikulernya. Selain proses pembelajaran yang menyentuh ranah sikap/perilaku dan skill/keterampilan, justru dengan mengoptimalisasi pemberian kegiatan ekstrakurikuler dengan berbagai jenis dan bentuknya ini, upaya untuk mencapai tujuan pendidikan nasional dapat tercapai.
Tentunya juga kegiatan tersebut harus diimbangi dengan ketersediaan guru, kepala sekolah, pengawas sekolah, prasarana dan sarana, buku dan media pembelajaran, kurikulum dan rencana pembelajaran, proses pembelajaran, penjaminan mutu dan evaluasi pendidikan, serta manajemen sekolah yang memenuhi Standar Pelayanan Minimal (SPM).
UU Sisidiknas No 20 Tahun 2004 telah menegaskan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mengembangkan segala potensi yang dimiliki peserta didik melalui proses pembelajaran. Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi anak agar memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, berkepribadian, memiliki kecerdasan, berakhlak mulia, serta memiliki keterampilan yang diperlukan sebagai anggota masyarakat dan warga negara. Dalam Pasal 58 UU tersebut juga dinyatakan bahwa evaluasi belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.
Dengan demikian, pertanyaan kritisnya adalah apakah UN itu telah menjawab tujuan pendidikan kita? Tidakkah kelulusan peserta didik itu adalah merupakan hak otonomi guru/sekolah? Walaupun Permendikbud No 144/2014 tentang Ujian Nasional, menyatakan bahwa hasil nilai UN tahun 2015 tidak lagi menjadi penentu kelulusan siswa-siswi dalam menempuh ujian akhir karena nantinya sistem penilaian kriteria kelulusan siswa adalah nilai UN dan ujian sekolah adalah dengan prosentase perbandingan 50:50. Namun, energi yang “ditumpahkan” Pemerintah Pusat (Kemendikbud), hingga dinas pendidikan provinsi dan dinas pendidikan kabupaten/kota serta kanwil kemenag provinsi dan kantor kemenag kabupaten/kota dalam berbagai bentuk kegiatannya masih sangat tinggi. Hal ini membuktikan bahwa pengambil kebijakan masih dominan berorientasi pada UN untuk menilai kualitas pendidikan. Sangat terasa ‘aroma’ orientasi hasil, bukan orientasi input dan proses.
Pemenuhan SPM
Terlepas dari pro kontra tentang UN, sejatinya, pemerintah seharusnya juga memokuskan kebijakan dan programnya dalam aspek pemenuhan standar pelayanan minimal pendidikan dasar (SPM dikdas) dan menengah di seluruh tanah air. Jika salah satu fungsi UN adalah untuk pemetaan, maka jika ingin meningkatkan kualitas pendidikan, untuk mencapai SPN, maka SPM itu yang sejatinya dipenuhi dulu. Sebab, menurut kenyataannya, data hasil pemetaan Kemendikbud menunjukkan bahwa dari 148.061 SD/MI/SMP/MTS yang tersebar diseluruh tanah air yang dihuni sebanyak 26.119.000 murid, masih ada 75% yang tidak memenuhi SPM. Masih terdapat puluhan ribu sekolah yang masih dalam kondisi rusak. Jumlah ruang kelas SD dan SMP yang rusakberat diperkirakan mencapai 739,741 (2004-2008).
Patut disayangkan, hingga saat ini, pemerintah baru memiliki aturan SPM pada level pendidikan dasar (Kemendikbud No.23/2013), belum memiliki aturan tentang SPM pendidikan menengah. Ini juga masalahnya, mengapa pemerintah belum mengeluarkan aturan tentang SPM Pendidikan Menengah.
Sejatinya, jika pemerintah dan pemerintah daerah memiliki komitmen nyata, kemauan keras dan konsisten terhadap pemenuhan SPM Pendidikan Dasar dan SPM Pendidikan Menengah, maka setiap tahun telah dapat diketahui seberapa besar pemenuhan SPM itu telah tercapai di setiap kabupaten/kota dan sekolah/madrasah di seluruh tanah air. Untuk mengetahui tingkat pemenuhan SPM tersebut, tentunya harus dilakukan Survey Tahunan SPM di setiap kabupaten/kota. Dengan survey itu, sangat mudah diketahui sekolah/madrasah yang mana yang berkualitas dan kurang berkualitas. Hasil survey SPM sangat mudah dipetakan sebagai dasar intervensi kebijakan Pemerintah. Tidak perlu lagi diadakan Ujian Nasional yang setiap tahun menghabiskan sekian banyak anggaran negara dan membuat peserta didik menjadi stres. Yang perlu dilakukan sekarang adalah Evaluasi Nasional Pendidikan yang tentunya pelibatan institusi yang kompeten. Tentunya yang akan menjadi leading sectornya adalah BSNP dengan melibatkanelemen-elemenmasyarakatpendidikan, termasukjuga DPR KomisiPendidikan, parapakarpendidikan, organisasi profesi independen seperti PGRI, LSM pendidikan dan sebagainya. (*)
Oleh:
Baharuddin Solongi
Governance, Planning & Budgeting Specialistpada Program Pengembangan Kapasitas
PenerapanSPM Dikdas– Kemendikbud/Uni Eropa/ADB