Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Hukum di Tengah Masyarakat

Saat ini kejahatan dengan menggunakan teknologi komputer (cyber crime) melalui jaringan internet merupakan jenis kejahatan baru dalam hukum pidana

Editor: Aldy

Dinamika masyarakat terus berkembang seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Jika dibandingkan masyarakat Indonesia di awal proklamasi sangat jauh berbeda dengan kondisi saat ini setelah 68 tahun kemerdekaan dicapai, perubahan tidak hanya masyarakatnya tetapi juga tata kelola negara, sistem pemerintahan dan pembangunan yang semakin pesat. Kesemuanya tidak dapat diabaikan peran penting ilmu pengetahuan dan teknologi.
Perkembangan masyarakat itu berdampak pada persoalan hukum sebagai aturan yang mengikat dan harus dipatuhi oleh masyarakat. Persoalannya adalah bagaimana jika suatu perkembangan atau kemajuan itu belum ada aturannya atau hukumnya?, disinilah salah satu kelemahan hukum --dalam pengertian peraturan-- biasa tertinggal dan tertatih-tatih mengikuti dinamika dan kemajuan masyarakat. Teknologi merupakan suatu keniscayaan masyarakat modern tetapi harus diatur secara hukum agar tidak mengganggu ketertiban dan hak-hak individu dalam masyarakat.
Saat ini kejahatan dengan menggunakan teknologi komputer (cyber crime) melalui jaringan internet merupakan jenis kejahatan baru dalam hukum pidana melalui UU No. 11 Tahun 2008 dengan tujuan melindungi hak-hak privasi individu, mengatur transaksi elektronik serta menjaga harkat dan martabat manusia di dunia maya. Disisi lain, UU ini merupakan bentuk pengakuan secara hukum bahwa transaksi elektronik merupakan sistem perdagangan yang diakui keberlakuannya selain yang konvensional.  
Ditengah masyarakat yang plural seperti bangsa Indonesia, gesekan kepentingan ekonomi dan politik tidak dapat terhindarkan. Pelbagai konflik horizontal pernah terjadi ditengah masyarakat dan menjadi potret buram demokrasi yang sedang berkembang, seperti kasus Poso, Ambon penyerangan ahmadiyah, pengusiran kelompok syiah, dan penghalangan beribadah bagi jemaat GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia merupakan contoh konkrit masyarakat rentan karena sikap intoleransi beragama dan mengabaikan fungsi penegakan hukum dalam kehidupan masyarakat.
Secara tegas, Negara Indonesia sebagaimana dalam konstitusi UUD NRI 1945, Pasal 28E ayat (1) dinyatakan bahwa : ““Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”
Merenungkan amanat konstitusi diatas, terasa miris dengan sikap sebagian masyarakat yang tega menyerang dan mengusir kelompok syi’ah di Sampang Madura hingga harus diungsikan ke stadion Surabaya. Jemaat GKI Yasmin dan Filadelfia yang setia beribadah didepan istana negara karena terusir dari gereja mereka atau terbunuhnya beberapa anggota jamaah ahmadiyah di Cikeusik (Banten) dan Mataram (NTB), hal ini merupakan pelanggaran HAM dan tanggung jawab negara untuk melindungi pelaksanaan peribadatan bagi para pemeluk agama.
Secara hukum hak asasi manusia, Negara memiliki kewajiban (state obligation) kepada warganya untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fullfil) hak asasi setiap warganya. Dan kebebasan beragama serta menjalankan peribadatan merupakan hak dasar yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (Non-derogable rights). Beberapa pelaku kerusuhan dan konflik horizontal diatas, Negara melalui aparat penegak hukum telah mengambil tindakan tegas atas kejadian itu dengan menghukum para pelaku dengan vonis penjara dan bahkan hukuman mati.
Hukum memang tidak boleh pandang bulu dan diskriminatif. Dalam dogma negara hukum dinyatakan bahwa semua orang sama kedudukannya didepan hukum (equality before the law), bahkan para penguasa dan pemegang kendali pemerintahan sekalipun harus tunduk pada norma hukum yang sudah ditetapkan bersama.
Suatu keputusan pemerintah yang dinilai merugikan masyarakat dapat digugat pembatalan keberlakuannya jika bertentangan dengan hak-hak konstitusional warga, demikian pula dengan sengketa kewenangan kelembagaan negara dapat diperkarakan melalui mekanisme hukum lembaga Mahkamah Konstitusi yang dibentuk pasca amandemen UUD 1945.      
Hukum yang baik adalah hukum yang hidup dan berkembang seiring dengan masyarakat. Sebagai produk sejarah pemikiran dan kinerja manusia --makanya disebut sejarah hukum-- tentu bersifat relatif dan akan terus diperbaharui oleh pemikir-pemikir hukum dan pemerintah agar menata masyarakat lebih baik dan tertib.
Hukum harus menjadi pengendali dan penjaga ketertiban masyarakat agar tercapai kedamaian dan kesejahteraan bersama serta mencegah terjadinya gangguan untuk memperoleh hak-hak warga negara atas perilaku dan tindakan pelaku kejahatan. Demikian pula, hanya dengan mekanisme hukumlah semua persoalan masyarakat dapat diselesaikan agar nilai kebenaran dan keadilan tetap terjaga bagi semua warga masyarakat.
Dalam negara hukum modern, penghargaan terhadap HAM dan sistem politik demokratis menjadi ciri utama negara itu. Negara dijalankan berdasarkan hukum, dan hukum dibuat merupakan kesepakatan masyarakat dari kristalisasi kepentingan politik di parlemen. Demokrasi tanpa hukum dapat menimbulkan anarkhi, sebaliknya hukum tanpa sistem politik yang demokratis hanya akan menjadi hukum yang statis dan represif.(*)

Oleh;
Syamsuddin Radjab
Dosen UIN Alauddin/Mantan Ketua PBHI Pusat

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved