Kerusuhan
Andi Widjajanto Duga Pola Baru Optimalisasi AI Saat Kerusuhan Indonesia-Nepal Mirip 97-98
Andi Widjajanto menilai media sosial memperkuat efek domino kerusuhan di Indonesia dan Nepal pada 25–31 Agustus 2025.
TRIBUN-TIMUR.COM, JAKARTA - Penasihat Senior LAB 45, Andi Widjajanto menilai media sosial memperkuat efek domino kerusuhan di Indonesia dan Nepal pada 25–31 Agustus 2025.
Ia menyebut pola kerusuhan itu menandai era baru, dimana gerakan sosial politik dapat dioptimalkan dengan kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI).
“Caranya berbeda, tapi narasi dominonya muncul. Itu menunjukkan kita berada di era baru dalam gerakan sosial politik yang bisa dioptimalkan oleh AI,” kata Andi dalam wawancara bersama Direktur Pemberitaan Tribun Network, Febby Mahendra Putra, di Studio Tribunnews, Jakarta, Senin (16/9/2025).
Eks Sekretaris Kabinet era Presiden Joko Widodo itu menjelaskan, AI mampu membaca pola gerakan sosial politik dari media sosial. Menurutnya, konten-konten tertentu dengan tingkat keterlibatan tinggi diproduksi berulang sehingga menciptakan viralitas.
“Saya melihat ini masih sebatas social political marketing yang memanfaatkan media sosial untuk mengangkat isu tertentu,” ujarnya.
Sebagai mantan Gubernur Lemhannas, Andi juga menyinggung eskalasi unjuk rasa di Indonesia yang berubah menjadi amok.
Baca juga: Mendagri Tito: Negara Wajib Hadir Beri Bantuan untuk Korban Kerusuhan

Ia menilai titik kritis terjadi setelah Affan Kurniawan, pengemudi ojek online, tewas terlindas kendaraan taktis Brimob.
“Tipping point ini membuat emosi massa terbakar hingga berujung penjarahan rumah sejumlah pejabat, termasuk milik Menteri Keuangan Sri Mulyani,” ucapnya.
Andi menambahkan, pola kerusuhan ini berbeda dengan unjuk rasa sebelumnya pada April–Mei 2025 yang menolak revisi Undang-Undang TNI.
Saat itu, aksi anarkis tidak mencapai titik kritis sehingga tidak bereskalasi menjadi amok.
Di Makassar sendiri, efek kerusuhan membuat dua gedung DPRD terbakar.
Kerugian pun hampir mencapai Rp500 miliar.
Kedua gedung ini harus dibangun ulang.
Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan mengusulkan Rp273 miliar untuk pembangunan ulang gedung DPRD.
Sementara itu, pemerintah kota mengusulkan Rp375 miliar.
Efek Kerusuhan
Berikut ringkasan data yang berhasil ditemukan terkait efek kerusuhan (unjuk rasa berujung rusuh) Agustus 2025 di Indonesia: korban dan kerusakan gedung/fasilitas.
Jenis | Jumlah |
Meninggal | Sekitar 11 orang tewas dalam aksi demo sejak 25 Agustus sampai 2 September 2025. |
Ditahan / diamankan | Komnas HAM mencatat 1.683 orang ditahan akibat demonstrasi 25–31 Agustus. Polri melaporkan 5.444 orang diamankan secara keseluruhan; dari mereka, 4.800 orang sudah dipulangkan, 583 orang masih diperiksa |
Sementara itu, gedung-gedung pemerintah dan fasilitas umum pun ikut dibakar. Sehingga menghasilkan kerusakan dengan nilai ratusan miliar rupiah.
Lini Masa Kerusuhan
Gelombang unjuk rasa besar yang berlangsung sejak 25 Agustus 2025 dengan tajuk Bubarkan DPR terus meluas ke berbagai daerah dan berujung kerusuhan.
Aksi yang awalnya menyoroti tingginya anggaran DPR di tengah kesulitan ekonomi rakyat, serta tuntutan pencabutan kebijakan pajak baru, berubah menjadi bentrokan yang menimbulkan korban jiwa, penangkapan massal, dan kerusakan fasilitas umum.
25 Agustus: Jakarta dan Medan Memanas
Di Jakarta, ribuan massa mendesak pembubaran DPR dan revisi sejumlah kebijakan.
Aksi serupa di Medan diikuti mahasiswa, buruh, dan pengemudi ojek daring yang menolak pajak baru.
Situasi berubah ricuh ketika polisi menutup akses menuju DPRD Sumatera Utara.
Massa membalas dengan membakar ban dan mendirikan barikade, sementara aparat menerjunkan pasukan pengendali massa. Puluhan orang luka-luka dari kedua pihak.
26–27 Agustus: Tekanan Berlanjut ke Daerah
Kericuhan berlanjut di Medan pada 26 Agustus dengan pola serupa: blokade aparat memicu bentrokan dan korban luka.
Sehari kemudian, mahasiswa Universitas Tanjungpura di Pontianak menyerbu Gedung DPRD Kalimantan Barat untuk menolak kenaikan tunjangan anggota dewan.
Polisi menangkap 15 mahasiswa dengan tuduhan merusak fasilitas umum, namun mereka dibebaskan dua hari kemudian setelah menandatangani pernyataan tidak mengulangi aksi.
28 Agustus: Tragedi di Jakarta
Puncak kerusuhan terjadi pada 28 Agustus di depan Gedung DPR RI, Senayan. Ribuan buruh, mahasiswa, pelajar, dan aktivis memadati kawasan parlemen.
Aksi buruh berlangsung damai dengan enam tuntutan utama, mulai dari penghentian outsourcing hingga reformasi pajak ketenagakerjaan.
Namun, demonstrasi mahasiswa berubah ricuh ketika sejumlah peserta memanjat pagar DPR dan melemparkan benda ke arah gedung. Polisi membalas dengan gas air mata dan meriam air.
Bentrokan meluas ke kawasan perbelanjaan, jalan tol, hingga jalur kereta, memaksa penutupan Stasiun Palmerah dan Tanah Abang.
Situasi memuncak saat kendaraan lapis baja polisi menabrak seorang pengemudi ojek berusia 21 tahun, Affan Kurniawan, hingga tewas di Pejompongan.
Video insiden itu viral dan memicu kemarahan publik.
Malam harinya, massa menyerang Markas Brimob, membakar mobil, dan melempar batu.
Aksi serupa juga terjadi di Gorontalo, Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto, Medan, hingga Banda Aceh.
Sejumlah tuntutan buruh menghasilkan kesepakatan pemerintah untuk membentuk task force penanganan PHK dan Dewan Kesejahteraan Buruh.
29 Agustus: Gelombang Tuntutan Keadilan
Kematian Affan Kurniawan memicu gelombang aksi baru. Ribuan mahasiswa dan pengemudi ojek daring menggelar protes di Jakarta, menuntut pencopotan Kapolri. Serikat Mahasiswa Seluruh Indonesia menggelar pawai dari FX Sudirman ke Mabes Polri.
Polisi kembali menembakkan gas air mata, memicu penjarahan di kawasan Senen dan perusakan fasilitas umum.
Halte Transjakarta di Senen dan Polda Metro Jaya dibakar, stasiun MRT Senayan dan Istora Mandiri rusak parah.
Akibatnya, operasional Transjakarta dihentikan total pada malam hari, sementara MRT hanya beroperasi terbatas.
Penangkapan dan Respons
Lokataru mencatat lebih dari 600 mahasiswa ditangkap dalam rangkaian aksi di berbagai kota.
Di Jakarta, penangkapan disertai perlakuan represif, termasuk memaksa mahasiswa berjalan jongkok sebelum dibebaskan.
Polisi berjanji memberikan konseling bagi mereka yang ditahan.
Di sisi lain, pemerintah membantah isu pembatasan liputan media dan tuduhan penggunaan teknologi hujan buatan untuk membubarkan massa.
Menteri Komunikasi menegaskan tidak ada instruksi resmi untuk membatasi pemberitaan.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.