Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

PT Hadji Kalla vs GMTD

Heran Lahan Jusuf Kalla Dieksekusi Tanpa Konstatering, Menteri ATR/BPN Nusron Wahid ke Makassar

Sertifikat lahan seluas 16.4 Ha sejatinya dimiliki Hadji Kalla, Namun oleh pihak GMTD berubah dimenangkan di Pengadilan Negeri (PN) Makassar.

|
Penulis: Faqih Imtiyaaz | Editor: Alfian
TRIBUN-TIMUR.COM/Faqih Imtiyaaz
KASUS TANAH - Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Petahanan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid saat ditemui di Kantor Gubernur Sulsel pada Kamis (13/11/2025). Nusron Wahid heran adanya eksekusi lahan milik Jusuf Kalla tanpa melalui Konstatering 
Ringkasan Berita:
  • Jusuf Kalla menuding ada indikasi praktik mafia tanah di balik langkah hukum GMTD.
  • Kasus ini menjadi atensi Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Petahanan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid.

 


TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Kasus sengketa lahan menjerat Mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla.

Sertifikat lahan seluas 16.4 Ha sejatinya dimiliki Hadji Kalla.

Namun oleh pihak GMTD berubah dimenangkan di Pengadilan Negeri (PN) Makassar.

Kasus ini menjadi atensi Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Petahanan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid.

Nusron Wahid menyebut sudah mengevaluasi kasus yang menyangkut Jusuf Kalla.

"Sudah, sudah kami evaluasi. Ini kan begini, ya, kasus tanah pak JK itu kan sertifikat terbit tahun 1996 awalnya. Isunya itu isu tumpang tindih," Jelas Nusron Wahid di Kantor Gubernur Sulsel pada Kamis (13/11/2025).

Nusron Wahid mengaku sudah menerima surat dari Pengadilan Negeri (PN) Makassar.

Surat tersebut memuat pernyataan bahwa tanah Jusuf Kalla tidak dieksekusi dan tidak dikonstatering.

Dalam hukum pertanahan, Konstatering merujuk pada proses pencocokan atau verifikasi objek sengketa yang akan dieksekusi dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht).

Baca juga: Benarkah PPATK Telusuri Rekening Hakim Tangani Kasus PT Hadji Kalla vs GMTD? Penjelasan PN Makassar

Konstatering menjadi tahap wajib dan krusial sebelum juru sita pengadilan melaksanakan eksekusi fisik.

Tujuannya memastikan bahwa batas, luas, dan lokasi tanah yang tercantum dalam putusan pengadilan benar-benar sesuai dengan kondisi fisik di lapangan.

Konstatering berfungsi sebagai benteng terakhir mencegah terjadinya error in objecto (kesalahan objek).

Yakni eksekusi yang mengenai lahan milik pihak lain yang tidak tersangkut dalam putusan perkara.

"Tapi yang menjadi pertanyaan, terus yang dieksekusi kemarin tanahnya siapa? Yang menjadi pertanyaan saya, karena dalam catatan kami, di lokasi NIB tersebut memang ada tanahnya Pak JK di catatan kami. Tapi di pengadilan mengatakan tidak tanah Pak JK. Ini saya belum paham maknanya apa. Karena itu kami akan memerintahkan kepala kantor untuk kirim surat lagi kepada pengadilan negeri untuk menunjukkan tentang peta-peta sama NIB yang ada. Saya kira begitu," kata Nusron Wahid.

Nusron Wahid menyebut ada kejanggalan dalam proses eksekusi lahan tersebut.

Sebab dilaksanakan tanpa adanya konstatering.

"Berkali-kali saya sampaikan, kami menerima surat, kepala kantor menerima surat tanggal 17 Oktober Diundang untuk konstatering tanggal 23 Oktober. Pada hari yang sama, pas hari tanggal 23, kami menerima surat pembatalan konstatering. Tiba-tiba tanggal 3 November, ada eksekusi penetapan konstatering. Nah kita tidak ngerti kapan konstateringnya. Pengundangannya dibatalin, tiba-tiba ada penetapan konstatering, langsung kemudian eksekusi. Ini yang menurut saya yang kami janggal," ujar Nusron Wahid.

Dalam kasus ini, Nusron menyebut ada tiga fakta.

Mulai dari adanya eksekusi pengadilan terhadap tanah tanpa konstatering.

Kemudian BPN digugat Tata Usaha Negara (TUN) oleh Mulyono atas terbitnya sertifikat GMTD.

"Di atas bidang tersebut juga ada sertifikat HGB atas nama PT Hadji Kala. Jadi 3 fakta ini.  Ini yang kami surat, baru dijawab 1 oleh pengadilan bahwa tanah yang dieksekusi bukan tanahnya Pak JK. Nah terus tanah siapa? Padahal Bidangnya sama. Itu saja. Mau kita lanjutin pertanyaan seperti itu nanti," sambungnya.

Terkait penyerobotan lahan miliknya, Jusuf Kalla menuding ada indikasi praktik mafia tanah di balik langkah hukum GMTD.

Dia menyebut, jika dirinya saja bisa menjadi korban, masyarakat kecil bisa lebih mudah dirampas haknya.

"Kalau begini, nanti seluruh kota (Makassar) dia akan mainkan seperti itu, merampok seperti itu. Kalau Hadji Kalla saja dia mau main-maini, apalagi yang lain," Ujar JK pada Rabu (5/11/2025).

"Padahal ini tanah saya sendiri yang beli dari Raja Gowa, kita beli dari anak Raja Gowa. Ini (lokasi) kan dulu masuk Gowa ini. Sekarang (masuk) Makassar, ujar Kalla yang didampingi Presiden Direktur Kalla Group Solihin Jusuf, jajaran direksi, kerabat, dan tim hukum Abdul Aziz.

Disebut putusan hukum itu tidak sah karena tidak memenuhi syarat hukum sebagaimana ketentuan Mahkamah Agung (MA).

"Dia bilang eksekusi. Di mana eksekusi? Kalau eksekusi mesti di sini (di lokasi). Syarat eksekusi itu ada namanya constatering, diukur oleh BPN (Badan Pertanahan Nasional) yang mana. Yang tunjuk justru GMTD. Panitera tidak tahu, tidak ada hadir siapa, tidak ada lurah, tidak ada BPN. Itu pasti tidak sah," paparnya.

Konstatering itu istilah hukum berupa pencocokan objek eksekusi guna memastikan batas–batas dan luas tanah dan atau bangunan yang hendak dieksekusi .

JK menegaskan MA mewajibkan proses eksekusi dilakukan dengan pengukuran resmi oleh BPN.

Karena itu, dia menyebut langkah GMTD tersebut sebagai bentuk kebohongan dan rekayasa hukum.(*)

 

 

 

 

 

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved