Himapem Unhas Bahas Tantangan Media di Era Post-Truth: Ketika Emosi Mengalahkan Fakta
Dalam era post-truth, fakta objektif memiliki pengaruh lebih kecil dalam membentuk opini publik.
Penulis: Faqih Imtiyaaz | Editor: Saldy Irawan
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Media mulai memasuki Era Post-Truth.
Dalam era post-truth, fakta objektif memiliki pengaruh lebih kecil dalam membentuk opini publik.
Emosi dan keyakinan pribadi mendominasi jadi opini publik.
Kebohongan atau fakta alternatif kian mudah diterima masyarakat.
Sebab dianggap sesuai dengan keyakinan atau perasaan individu, diperkuat melalui media sosial dan kurangnya literasi kritis.
Hal ini dibahas dalam Diskusi Relasi Kuasa Pemerintah dan Media digelar Himpunan Mahasiswa Ilmu Pemerintahan (Himapem) di Aula Syukur Abdullah, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Hasanuddin pada Senin (27/10/2025).
Kabid Humas dan IKP Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Makassar Abdullah S.STP menilai era post-truth telah berdampak ke demokrasi di Indonesia.
"Pemilu terpengaruh kampanye palsu. Sehingga mengancam integritas demokrasi, perpecahan dan polarisasi sosial," kata Abdullah.
Polarisasi sosial dengan mudah terbentuk dengan meningkatnya perpecahan Opini Publik.
Ketika orang lebih percaya pada informasi yang dirasa benar daripada faktual.
Masyarakat akhirnya cenderung terbagi menjadi kelompok-kelompok dengan pandangan ekstrem.
Terlebih di media sosial mempercepat penyebaran informasi palsu atau menyesatkan.
Disinformasi ini sering digunakan untuk memperkuat identitas kelompok hingga memperlebar jurang perbedaan sosial.
"Era postruth menjadi ancaman nyata, ketika dominasi emosi atas fakta," katanya.
Sementara itu Komisioner KPID Sulsel 2020-2024 Andi Muhammad Ilham berpandangan era post-truth ditandai dengan polarisasi politik di media sosial.
Echo-chamber kemudian muncul sebagai bukti.
Echo Chamber merupakan fenomena sosial ketika seseorang hanya terpapar pada informasi dan pandangan yang memperkuat keyakinannya sendiri.
Dalam media sosial, algoritma mengatur konten yang sesuai minat pengguna.
Hal ini membuat pengguna sulit untuk mempertimbangkan perspektif yang berbeda.
Sampai akhirnya menciptakan lingkungan tertutup,ketika pandangan serupa berulang kali diperkuat
"Media penyiaran memiliki peran sentral dalam pembentukan opini publik. Era post truth political communication berbasis emosi pengulangan narasi dan disinformasi. Tekanan terhadap fakta meningkat, rentan intervensi politik praktik media," jelas Andi Muhammad Ilham.
Lebih jauh, dampaknya pada wacana publik yang semakin tergerus.
"KPID Sulsel menilai bahwa ruang digital telah memengarhui pola konsumsi dan produksi informasi masyarakat, mengawal kedaulatan informasi," sambungnya.
Regulasi yang jelas dan tegas pun harus disusun pemerintah.
Sehingga kedaulatan demokrasi menurut Andi Muhammad Ilham ini tercapai.
Sementara itu, Pemimpin Redaksi Tribun-Timur.com Thamzil Thahir banyak mengulas pemahaman dasar antara fakta dan opini.
Thamzil Thahir menyebut fakta dapat diukur melalui panca indra.
Hal ini membedakan antara fakta dan opini.
"Media tugasnya menghadirkan fakta, tidak menyajikan opini. Pemilihan kata bisa memberikan bahwa belum tau beda opini dan fakta," kata Thamzil.
Sementara opini hanyalah sebuah pendapat, keyakinan, atau penilaian pribadi yang bersifat subjektif dan bisa berbeda antar individu.
| BKKBN Sulsel dan BBPVP Makassar Sinergi Tingkatkan Kemandirian Lansia |
|
|---|
| Sosok Tomas Trucha Kandidat Kuat Pelatih PSM Makassar, Dulu Diminati Persita Tangerang |
|
|---|
| Kompetisi E-Sports hingga Bazar Murah Dihadirkan 7 OKP Se-Sulsel Peringati Hari Sumpah Pemuda |
|
|---|
| Harumkan Nama Sulsel, Kota Makassar Toreh Prestasi pada Ajang Apresiasi BRIDA 2025 |
|
|---|
| Senat Unhas Pilih 3 Calon Rektor 3 November, Dilarang Bawa Hape |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.