TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Perbankan syariah di Sulawesi Selatan (Sulsel) menunjukkan pertumbuhan positif selama 2025.
Hal itu tercermin dari aset perbankan syariah yang tumbuh 21,08 persen (yoy) hingga Juni 2025.
Data terbaru didapatkan dari Kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat (Sulsel).
Total aset perbankan syariah hingga Juni 2025 mencapai Rp18,26 triliun.
Jika dilihat dari tahun ke tahun, perbankan syariah menunjukkan pertumbuhan yang signifikan.
Pada Desember 2022, aset perbankan syariah hanya Rp12,70 triliun.
Lalu pada Desember 2023, tumbuh menjadi Rp14,57 triliun.
Kemudian pada Desember 2024, mencapai Rp17,81 triliun.
Dari sisi Dana Pihak Ketiga (DPK) juga mengalami pertumbuhan walaupun tidak signifikan.
Pada Desember 2022, DPK aset perbankan syariah di Sulsel Rp8,59 triliun.
Lalu Desember 2023 meningkat hingga Rp10,21 triliun.
Selanjutnya Desember 2024, hanya tercatat Rp12,12 triliun.
Terbaru, hingga Juni 2025, tercatat menjadi Rp12,39 triliun
“Penyaluran pembiayaan syariah hingga Juni 2025 juga tumbuh sebesar 21,06 persen (yoy) menjadi Rp15,57 triliun,” kata Kepala OJK Sulselbar, Muchlasin.
Adapun tingkat intermediasi perbankan Syariah berada pada level 125,73 persen dengan tingkat NPF pada level 2,07 persen.
Potensi Arus Utama Dukung Pembangunan
Pengamat Ekonomi Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, Abdul Muttalib Hamid menilai pertumbuhan ekonomi syariah ini bukan sekadar statistik.
Melainkan penanda bahwa ekosistem keuangan syariah di Sulsel mulai menemukan momentumnya.
Menurutnya, fenomena ini bisa dibaca dalam beberapa kacamata.
Seperti kesadaran masyarakat akan prinsip syariah semakin kuat.
Sebab, perbankan syariah menawarkan sesuatu yang lebih menenangkan, bebas riba, berkeadilan, dan berbasis pada etika transaksi yang sejalan dengan nilai Islam.
“Kepercayaan ini menjadi modal sosial yang sulit dimiliki perbankan konvensional,” kata Muttalib, saat dihubungi Tribun-Timur.com, Rabu (20/8/2025).
Muttalib menjelaskan, Sulsel sedang menikmati denyut pertumbuhan ekonomi regional.
Sektor UMKM, koperasi, hingga usaha berbasis komoditas pertanian dan perikanan menjadi tulang punggung yang membutuhkan pembiayaan adaptif.
Bank syariah dengan skema akad bagi hasil dinilai terbukti lebih relevan menjawab kebutuhan ini.
“Dengan kata lain, pertumbuhan pembiayaan yang tercatat bukan sekadar angka, melainkan cerminan meningkatnya aktivitas ekonomi riil di daerah,” jelasnya.
Ia menambahkan, banyak pelaku usaha mikro di pedesaan atau pasar tradisional merasa lebih nyaman bertransaksi melalui mekanisme syariah.
Mereka bukan hanya mencari modal, tetapi juga mencari rasa aman, keterjangkauan, dan nilai kebersamaan yang dihadirkan sistem syariah.
Pemerintah dan OJK juga dinilai memberi ruang lebih besar bagi industri syariah, disertai dengan lahirnya berbagai produk inovatif.
Mulai dari tabungan haji digital, pembiayaan usaha tani, hingga layanan mobile banking berbasis syariah.
Muttalib menilai, jika tren pertumbuhan ini berlanjut, perbankan syariah di Sulsel bukan hanya sekadar alternatif.
Melainkan berpotensi menjadi arus utama dalam mendukung pembangunan ekonomi regional.
“Tantangan tetap ada, bagaimana menjaga kualitas pembiayaan agar tidak menimbulkan risiko pembengkakan Non-Performing Financing (NPF), serta bagaimana meningkatkan literasi keuangan syariah di kalangan masyarakat luas,” kata Muttalib(*)