Dr dr Dewi Setiawati Muchsin SpOG MKes
Dokter Spesialis Kandungan dan Kebidanan Wirahusada Medical Centre, dosen FKIK UIN Alauddin Makassar
SUATU sore datanglah seorang perempuan muda ke ruang praktikku.
Kulitnya putih, rambutnya kecoklatan dengan model spiral.
Sepertinya ia cantik.
Saya katakan “sepertinya”, karena wajahnya tertutup masker.
Ia datang bersama seorang lelaki muda, seumuran, berpenampilan gagah dengan tubuh atletis dan kulit putih bersih.
“Dok, haid saya tidak teratur,” kata si perempuan muda itu.
Kita sebut saja namanya Mawar.
Sedangkan pemuda di sampingnya, Kumbara.
“Oh begitu. Sudah berapa lama tidak haid?” tanyaku.
“Sudah tiga bulan, Dok.”
Aku lalu melanjutkan, “Kalian sudah menikah berapa lama?”
Mereka beradu pandang sejenak, lalu Kumbara tersenyum.
“Kami belum nikah, Dok. Kami masih kuliah, kebetulan satu kampus.”
Aku tercekat.
Dalam hatiku ada rasa sedih.
Mereka berbicara seolah ini bukan hal tabu.
Seolah biasa saja.
“Sudah test pack?” tanyaku.
“Sudah, Dok. Dua garis.” jawab Mawar tenang.
“Saya bahkan sudah minum obat penggugur. Kami hanya mau memastikan, apakah sudah bersih.”
Wajah mereka tenang, seakan tanpa dosa.
Seakan yang mereka lakukan bukanlah pelanggaran besar, melainkan hal lumrah.
Aku menarik napas panjang.
Ada gumpalan perih di dada. Anak-anak muda ini—generasi Z—masih belia, tapi sudah berani bermain-main dengan sesuatu yang begitu besar taruhannya: seks bebas, kehamilan di luar nikah, bahkan menggugurkan janin yang belum berdosa.
Aku menatap mereka dalam-dalam.
“Anakku,” kataku lirih, “yang ada di rahimmu itu bukan sekadar gumpalan darah. Ia adalah nyawa.
Amanah yang Allah titipkan.
Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ ۗ
‘Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (alasan) yang benar...’ (QS. Al-Isra: 33).
Meminum obat penggugur itu bukan sekadar tindakan medis.
Itu berarti mengakhiri kehidupan.
Dan kelak, setiap nyawa akan menuntut di hadapan Allah.”
Wajah Mawar menunduk, matanya berkaca-kaca. Kumbara berusaha tenang.
Aku melanjutkan, “Kalian masih muda, masih punya cita-cita. Tapi kalian memilih jalan pintas yang penuh dosa. "
Inilah potret generasi kita hari ini. Pintar di kelas, tapi rapuh dalam moral. Canggih dalam teknologi, tapi buta dalam menjaga kehormatan.
Aku teringat sabda Rasulullah ﷺ:
"Tidaklah muncul zina di suatu kaum hingga mereka berani melakukannya terang-terangan, melainkan akan tersebar penyakit-penyakit baru yang belum pernah ada di generasi sebelumnya." (HR Ibnu Majah).
Dan bukankah kita sudah menyaksikannya?
Penyakit menular seksual semakin merebak.
Aborsi ilegal merajalela.
Seks bebas dianggap tren biasa.
Orang tua banyak yang abai, sibuk dengan urusan dunia.
Pemerintah pun tak serius menanamkan pendidikan moral, sibuk dengan kekuasaan dan citra.
Mawar dan Kumbara hanyalah dua wajah dari sekian banyak anak muda yang kehilangan arah.
Mereka adalah alarm keras bagi kita: keluarga, masyarakat, bahkan negara.
Aku menatap mereka sambil menahan rasa yang bercampur baur
“Anakku, Allah Maha Pengampun. Tidak ada dosa yang terlalu besar untuk diampuni, selama kalian benar-benar bertaubat. Jadikan ini pelajaran. Jangan ulangi lagi. Kembalilah pada Allah sebelum terlambat.”
Air mata Mawar jatuh. Kumbara diam membisu. Aku tahu kata-kataku mungkin belum sepenuhnya mengubah jalan mereka. Tapi aku berharap secercah cahaya bisa masuk ke hati yang sedang gelap.
Dan sore itu, aku berdoa dalam hati: Semoga generasi ini kembali menemukan jalan cahaya. Semoga orang tua dan guru sadar kembali pada peran mendidik akhlak. Semoga pemerintah mengerti bahwa membangun bangsa bukan sekadar ekonomi, tapi juga moral dan iman.
Karena tanpa iman, generasi akan rapuh. Dan rapuhnya generasi adalah awal runtuhnya bangsa.
Tulisan ini adalah refleksi nyata dari ruangan praktik.
Mari bersama-sama untuk peduli terhadap generasi bangsa kita tercinta.(*)