Opini

Gaza: Pelaparan Sistematis dan Urgensi Persatuan Umat 

Editor: Sudirman
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

OPINI - dr Airah Amir Dokter dan Pemerhati Kesehatan Masyarakat

Oleh: dr Airah Amir

Dokter dan Pemerhati Kesehatan Masyarakat

TRIBUN-TIMUR.COM - KRISIS kelaparan di Gaza menjadi bencana kelaparan pertama di abad ke-21. 

Bukan karena gagal panen atau akibat bencana alam tetapi akibat blokade zionis yang tak hanya memblokade bantuan, tetapi juga menghancurkan ribuan paket bantuan berisi makanan dan obat-obatan.  

Sebanyak 169 warga Palestina, termasuk 93 anak-anak telah meninggal akibat kelaparan atau kekurangan gizi sejak Oktober 2023 menurut angka dari Kementerian Kesehatan Gaza. (Tribunnews.com, 4/8/2025) 

Kantor media pemerintahan di Gaza mengatakan Israel dengan sengaja memblokir lebih dari dua puluh dua ribu truk bantuan kemanusiaan memasuki wilayah tersebut. Sehingga terjadi pelaparan sistematis, pengepungan dan kekacauan. 

Di tengah krisis kelaparan parah, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut setidaknya sepuluh persen anak-anak Gaza kini mengalami malnutrisi akut. 

Angka yang jauh melampaui standar krisis kesehatan global (BBC News, 27/7/2025). 

Lebih dari 2,3 juta penduduk Gaza berada di gerbang kehancuran total akibat tragedi kemanusiaan yang tak terbayangkan. 

Ribuan jiwa menjadi korban, infrastruktur sipil hancur dan akses bantuan kemanusiaan terblokir selama lebih dari satu setengah bulan. 

Sesungguhnya warga Gaza telah melalui 3 tahapan bencana kelaparan. Tahap awal kekurangan makanan pokok akibat blokade total yang dilakukan Israel di wilayah perbatasan. 

Tahap menengah terjadi ketika warga Gaza mengalami ketergantungan pada bantuan.

Tahap terakhir adalah tahap kronis, ketika anak-anak meninggal akibat malnutrisi akut. Lantas bagaimana mekanisme tubuh saat terjadi kelaparan?

Mekanisme Tubuh

Pusat rasa lapar berada di hipotalamus yang mempunyai peran utama pada tubuh manusia saat merasa lapar. 

Jika kadar gula darah menurun, pusat metabolisme di otak menjadi aktif dan memicu hormon adrenalin agar manusia mengoptimalkan upaya untuk memenuhi kebutuhan glukosa tubuh melalui makanan.

 Jika tidak ada makanan yang masuk, maka tubuh melakukan mekanisme berikutnya yaitu melalui proses “mengamankan” persediaan glukosa bagi kebutuhan otak. 

Meskipun otak mempunyai volume yang hanya mencapai 2 persen berat tubuh manusia, otak memerlukan sekitar setengah dari kebutuhan glukosa seluruh tubuh. 

Untuk “mengamankan” persediaan glukosa bagi otak, otak memberikan isyarat untuk menghentikan produksi insulin. 

Seperti yang kita ketahui, tanpa insulin glukosa tidak dapat sampai di otot. Pada Saat kelaparan, setiap organ tubuh menurun beratnya hingga 50 persen tetapi berbeda dengan otak, otak hanya menurun beratnya sekitar 4 persen dan otak mempunyai kemampuan untuk menyimpan cadangan glukosa.

Jika kelaparan berlangsung kronis maka produksi energi akan beralih kepada protein yang akan berdampak pada otot sebab otot sebagian besar terdiri dari protein. 

Pada tahap awal manusia masih mampu untuk beradaptasi terhadap berkurangnya volume otot, tetapi setelah 8 hingga 10 hari tubuh akan mengubah metabolismenya ke arah penghematan energi yang mengakibatkan organ beraktivitas dalam level terendah seperti frekuensi jantung yang menurun serta suhu tubuh pun menurun. 

Selain itu tubuh akan mengambil simpanan lemak.

Hasil metabolisme lemak akan membentuk keton yang merupakan sumber energi penting pada saat tubuh menderita kelaparan dan merupakan salah satu upaya untuk tetap bertahan hidup sebab selain glukosa, keton adalah satu-satunya sumber energi yang dapat dioptimalkan oleh otak untuk memenuhi kebutuhannya.

Jika pelaparan sistematis ini terus terjadi, makin banyak pula dampak negatif bagi tubuh yang dapat terjadi. 

Sistem kekebalan tubuh menurun yang berefek pada semakin mudahnya penyakit menyerang. Demikian pula organ tubuh lainnya yang dapat berujung pada kematian. 

Kondisi yang  kita jumpai pada Gaza saat ini yang mengalami pelaparan sistematis kronis adalah kondisi manusia yang hanya tinggal tulang berbalut kulit. 

Kematian tidak terelakkan sebab seluruh organ tubuh gagal berfungsi. 

Malangnya proses kematian justru semakin cepat pada komunitas rentan seperti anak dan manula serta orang yang mengalami penyakit degeneratif serta infeksi kronis. 

Sungguh kondisi ini telah melewati batas merah kemanusiaan.

Merangkai Solusi

Ketidakmampuan dunia menyelesaikan krisis Gaza tidak bisa dilepaskan dari sistem global saat ini yang menjadikan materi dan kepentingan politik menjadi tolok ukur utama dan bukan pada keadilan dan kemanusiaan. 

Umat Islam harus menyadari bahwa penyelesaian krisis Gaza tak hanya dengan diplomasi semu atau bantuan kemanusiaan semata. 

Faktanya, ratusan resolusi telah dicetuskan, jutaan dolar bantuan telah disalurkan, namun mengapa krisis Gaza tetap berlangsung?

Musababnya adalah persoalan yang menimpa Gaza didesain secara sistematis, maka dibutuhkan solusi sistematis pula untuk mengatasinya.

Jika negeri-negeri muslim bersatu, ada kesiapan militer dengan kekuatan handal dan kemandirian pangan serta kesiapan industri dalam mengelola sumber daya alam yang melimpah.

 Tervalidasi selama 1300 tahun, Sistem Islam pernah berdiri tegak sebagai adidaya dunia karena akidah Islam yang kokoh dan menjalankan syariah secara menyeluruh (kafah) yang dipimpin oleh institusi politik Islam.

Will Durant, penulis buku The Story of Civilization menuliskan bahwa para khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan serta menyediakan kesejahteraan dan menjadikan pendidikan menyebar luas sehingga ilmu, sastra dan falsafah mengalami kejayaan yang luar biasa selama berabad-abad. 

Tragedi Gaza seharusnya menjadi titik balik kebangkitan umat Islam, bukan hanya membangkitkan empati temporer tetapi juga kesadaran mendalam bahwa umat membutuhkan perubahan sistemik dan ideologis. 

Hal ini dapat diraih dengan menyuarakan Islam sebagai solusi dengan tegaknya hukum Allah di muka bumi. Wallahu a’lam. (*)

Berita Terkini