Oleh: Rusdianto Sudirman
Dosen Hukum Tata Negara IAIN Parepare
TRIBUN-TIMUR.COM - Pemilu di Indonesia, dari 1955 hingga 2024, telah menjadi arena perebutan kekuasaan yang bukan hanya soal ide dan gagasan, tetapi juga arena subur bagi praktik transaksional.
Politik uang, yang kerap dibungkus dalam berbagai bentuk pemberian, menjadi racun yang merusak sendi demokrasi.
Dari amplop di lorong sempit hingga transfer melalui dompet digital, praktik ini terus berevolusi. Ironisnya, penegakan hukumnya sering tumpul.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), sebagai garda pengawas, selama ini terjebak dalam peran administratif dan quasi-yudisial yang terbatas.
Keputusan mereka sering kandas di meja penegak hukum lain, atau dibatalkan karena alasan formil.
Kondisi ini menggambarkan urgensi sudah saatnya Bawaslu bertransformasi menjadi peradilan khusus pemilu yang tak hanya mengawasi, tapi juga memutus, bahkan mengeksekusi sanksi secara langsung.
Lebih dari itu, dalam konteks pencegahan dan penindakan politik uang yang semakin canggih, pemberian kewenangan Operasi Tangkap Tangan (OTT) di setiap tingkatan Bawaslu dapat menjadi terobosan hukum yang optimal.
Selama ini Panwascam dan Panwas Kelurahan/Desa sering kali menemukan praktik politik uang didepan mata namun terkendala teknis pelaporan dan temuan yang pada akhirnya gugur karena hal administratif.
Sehingga kewenangan OTT menjadi penting di berikan kepada Bawaslu di setiap tingkatan, namun tentu harus di buatkan payung hukum dengan melibatkan unsur kepolisian dan Kejaksaan yang terlibat didalamnya.
Fenomena politik uang di Indonesia bukanlah cerita baru. Namun, kemajuan teknologi finansial justru memperumit persoalan ini. Jika pada era 1990-an politik uang identik dengan serangan fajar berbentuk uang tunai, maka kini ia bermetamorfosis menjadi transfer via dompet digital, voucher belanja, pulsa, bahkan koin aplikasi.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sebenarnya telah mengatur larangan politik uang dan sanksinya. Namun, pasal-pasal tersebut terbukti sulit diimplementasikan.
Hambatan utama terletak pada pembuktian dan kewenangan penindakan.
Meski Bawaslu memiliki fungsi pengawasan, namun tidak memiliki kewenangan penuh untuk melakukan OTT seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Padahal, dalam kasus politik uang, tertangkap tangan adalah instrumen paling efektif untuk memastikan barang bukti dan pelaku tidak hilang.
Selama ini, Bawaslu harus berkoordinasi dengan kepolisian atau kejaksaan, yang memakan waktu dan membuka celah kebocoran informasi.
Menurut penulis, kelemahan penegakan hukum politik uang dalam sistem saat ini dapat dipetakan menjadi tiga hal yaitu Pertama, Distribusi Kewenangan Penanganan pelanggaran politik uang yang melibatkan Bawaslu, Sentra Gakkumdu, Kepolisian, dan Kejaksaan.
Koordinasi berlapis ini sering memunculkan tarik-menarik kewenangan dan perbedaan interpretasi hukum. Dibeberapa daerah sering kali Bawaslu sudah secara bulat untuk melanjutkan ke penuntutan.
Namun anggota kepolisian dan Kejaksaan yang tergabung dalam Sentra Gakkumdu masih beda interpretasi, sehingga penegakan hukum tindak pidana pemilu seolah mandul.
Kedua, Keterbatasan Kewenangan Proses Cepat. Politik uang adalah pelanggaran yang bersifat “high speed crime” bukti bisa hilang dalam hitungan menit. Tanpa kewenangan OTT, Bawaslu kehilangan momentum emas dalam penindakan.
Ketiga, Sifat Putusan yang Tidak Final
Keputusan Bawaslu dapat dibatalkan oleh lembaga peradilan lain. Akibatnya, meskipun bukti cukup, pelaku bisa lolos dengan alasan teknis.
Gagasan pembentukan Peradilan Khusus Pemilu sebenarnya bukan hal baru. Mahkamah Konstitusi dalam beberapa putusannya, termasuk putusan sengketa hasil pemilu, telah memberi sinyal perlunya lembaga peradilan khusus untuk menangani pelanggaran pemilu secara cepat, adil, dan final.
Transformasi Bawaslu menjadi peradilan khusus pemilu memiliki landasan konstitusional dan landasan yuridis yang kuat.
Pasal 22E UUD 1945 memberikan ruang bagi pembentukan lembaga penyelenggara pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
Kemudian Asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan sebagaimana diatur dalam UU Kekuasaan Kehakiman dapat diadaptasi untuk konteks pemilu yang serba cepat.
Selain itu model peradilan khusus telah banyak diterapkan di Indonesia, seperti Peradilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tipikor, yang memberi pelajaran bahwa lembaga khusus dapat efektif menangani kasus dengan karakteristik unik.
Dengan status peradilan khusus, Bawaslu akan memiliki tiga fungsi sekaligus pengawasan, penindakan, dan pemutusan perkara.
Keputusan yang diambil akan bersifat final dan mengikat, mengurangi risiko tarik ulur antar lembaga.
Penulis berpendapat, Memberikan kewenangan OTT kepada Bawaslu di setiap tingkatan pusat, provinsi, kabupaten/kota, bahkan kecamatan adalah langkah logis jika kita serius memerangi politik uang.
Kewenangan ini tidak berarti menempatkan Bawaslu di atas hukum, tetapi melengkapinya dengan prosedur hukum acara yang ketat untuk menghindari penyalahgunaan.
Analogi dapat diambil dari KPK, yang mampu memotong jalur birokrasi panjang dengan OTT.
Efektivitas OTT terletak pada kejutan dan kecepatan. Dalam konteks politik uang, OTT memungkinkan Bawaslu menangkap pelaku saat transaksi terjadi, mengamankan bukti, dan mencegah penyebaran uang lebih luas.
Jika kita melakukan study comparasi, ada beberapa negara yang sudah memberikan kewenangan OTT kepada bawaslu misalnya Malaysia ,Suruhanjaya Pilihan Raya (SPR), Memiliki unit penegakan yang dapat langsung melakukan penangkapan terhadap pelaku pelanggaran pemilu di lapangan.
Filipina ,Commission on Elections (COMELEC) Memiliki kekuasaan quasi-judicial dan unit penegakan hukum yang dapat melakukan operasi penangkapan terhadap pelaku vote-buying.
Dan India , Election Commission of India (ECI), Mempunyai Election Expenditure Monitoring Teams yang dapat melakukan penindakan cepat termasuk penangkapan di tempat.
Komparasi ini menunjukkan bahwa pengawasan pemilu dengan kewenangan penindakan langsung, termasuk OTT, bukan hal baru dan terbukti efektif.
Untuk mewujudkan transformasi ini, penulis merekomendasikan beberapa hal yakni Pertama, dalam pelaksanaan revisi UU Pemilu menambahkan ketentuan bahwa Bawaslu berstatus peradilan khusus pemilu dengan kewenangan adjudikasi dan eksekusi sanksi.
Kedua, Bawaslu punya Kewenangan OTT, yaitu dengan memasukkan pasal yang secara eksplisit memberi Bawaslu kewenangan melakukan OTT terhadap pelanggaran politik uang, dengan dukungan perangkat penegakan hukum yang setara dengan penyidik kepolisian.
Atau bisa mengadopsi penyidik KPK yang di dalamnya terdapat penyidik dan penuntut dari kepolisian dan Kejaksaan.
Ketiga, perlunya Hukum Acara Pemilu. Yaitu dengan penyusunan hukum acara tersendiri yang memungkinkan proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemutusan perkara dalam jangka waktu singkat, misalnya 7–14 hari, agar relevan dengan jadwal pemilu.
Selain itu Bawaslu juga dapat diberikan kewenangan melakukan upaya paksa terhadap terlapor atau saksi yang tidak koperatif.
Keempat, pentingnya perlindungan saksi dan pelapor dengan mengadopsi mekanisme perlindungan seperti di LPSK untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam melaporkan politik uang.
Namun tentu saja, gagasan ini tidak lepas dari tantangan. Akan muncul banyak kekhawatiran terjadinya politisasi kewenangan OTT jika tidak diawasi dengan ketat.
Serta risiko benturan dengan aparat penegak hukum lain. Selain itu kebutuhan anggaran dan sumber daya manusia yang signifikan.
Namun, tantangan bukan alasan untuk menunda. Demokrasi yang dibiarkan diracuni politik uang akan melahirkan pemimpin yang terpilih bukan karena kapasitas, melainkan kemampuan membeli suara. Akibatnya, korupsi politik akan menjadi siklus yang sulit diputus.
Pemilu yang jujur dan adil hanya bisa terwujud jika pengawasnya memiliki taring. Transformasi Bawaslu menjadi peradilan khusus pemilu, dengan kewenangan OTT di setiap tingkatan, akan menutup celah impunitas politik uang yang selama ini merajalela.
Sejarah menunjukkan, reformasi kelembagaan yang berani bisa membawa perubahan besar.
Seperti halnya pembentukan KPK pasca reformasi untuk memberantas korupsi, sudah saatnya kita melakukan langkah serupa dalam ranah pemilu.
Mimpi ini mungkin terasa radikal, tetapi demokrasi yang sehat memang membutuhkan keberanian mengambil langkah-langkah besar.
Tanpa itu, kita hanya akan terus mengulang drama lima tahunan yang sama, pesta demokrasi yang meriah di luar, tetapi busuk di dalam.