TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Pengusaha dan pengunjung kafe/restoran di Makassar mengeluhkan pemutaran musik di ruang publik diwajibkan membayar royalti.
Pengusaha kafe dan restoran diwajibkan membayar royalti musik kepada pencipta lagu dan pemilik hak terkait.
Hal itu berdasarkan SK Menteri Hukum dan HAM RI Nomor HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016, tarif royalti ini dihitung berdasarkan jumlah kursi yang tersedia di restoran atau kafe.
Aturan itu kembali viral setelah kasus pelanggaran hak cipta musik oleh PT Mitra Bali Sukses (Mie Gacoan),
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Sulsel, Anggiat Sinaga menanggapi hal tersebut.
Menurutnya, para pengusaha resto di Sulsel resah, apalagi bisnis kondisi bisnis yang masih lesu.
“Ini membuat kita (pengusaha restoran) resah,” kata Anggiat Sinaga, saat ditemui Tribun-Timur.com, Kamis (6/8/2025).
Anggiat menjelaskan, ada berbagai aspek yang patut disoroti dalam aturan SK Menteri Hukum dan HAM RI tersebut.
Baca juga: Segini Besaran Royalti Harus Dibayar Kafe atau Resto Jika Putar Suara Alam dan Kicauan Burung
Seperti setiap kursi dikenakan tarif Rp 60.000 per tahun untuk royalti pencipta dan Rp 60.000 untuk royalti hak terkait.
Dengan demikian, restoran dengan banyak kursi harus membayar lebih banyak.
“Pertanyaan apakah akan seproduktif ini setiap harinya (pengunjung yang datang ke kafe),” jelasnya.
Menurut Anggiat seluruh pemangku kepentingan harus duduk bersama menyesuaikan masalah royalti.
Pengurus PHRI di setiap wilayah pun telah membahas jalan keluar terkait aturan tersebut melalui virtual Zoom, Rabu (6/8/2025).
“Banyak masih bertentangan masalah tersebut, jadi belum clear. Parameter menghitung itu (royalti) juga masih penuh debat,” kata Anggiat.
Pantauan Tribun-Timur.com, di beberapa cafe Makassar masih memutar musik meskipun royalti musik sedang viral.