Opini

Pancasila Reborn dalam Pusaran Algoritma

Editor: Muh Hasim Arfah
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Alumni Universitas Handayani Makassar, Ishadi Ishak SKom MM.

Oleh : Ishadi Ishak, S.Kom., M.M

Alumni Universitas Handayani Makassar

TRIBUN-TIMUR.COM- Hari Lahir (Harlah) Pancasila tanggal 1 Juni  2025 menjadi penanda penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sejak 80 tahun silam atau tepatnya 1 Juni 1945 dicetuskan Ir Soekarno.

Peringatan Harlah Pancasila secara resmi dimulai tahun 2016 setelah di masa orde baru pemerintah melarang peringatan Harlah Pancasila. 

Meski demikian Harlah Pancasila bukan sekedar upacara bendera atau budaya yang dinilai skeptis dalam sudut pandang agama.

Sebab agama dan pancasila adalah dua hal yang jika didiskusikan tak akan menemukan titik temu sebab Pancasila merupakan falsafah kebangsaan.

Sedangkan Agama merupakan causa prima atau sebab pertama yang memulai seluruh rantai sebab akibat di alam semesta contohnya manusia terlahir dimuka bumi ini sudah meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa sehingga memeluk agama tertentu dan telah diakui oleh pemerintah.

Sehingga, Harlah Pancasila merupakan titik balik sejarah saat Bung Karno menyuarakan dasar filosofis bagi Indonesia merdeka yakni Pancasila. 

Lantas bagaimana nasib Pancasila hari ini, di tengah era digital yang serba cepat, serba visual, dan dikendalikan oleh logika algoritma?

Kini, kehidupan masyarakat tidak hanya digerakkan oleh politik dan ekonomi, tapi juga oleh laju teknologi informasi seperti mesin pencari google, x trending topic, dan konten viral. Wacana publik lebih banyak dikonstruksi oleh media sosial dibandingkan ruang kelas atau pidato kenegaraan.

Di sinilah Pancasila, sebagai ideologi menghadapi babak baru dan berada dalam pusaran algoritma, dan mesti menemukan cara untuk tetap relevan, dipahami, dan dijalankan.

“Pancasila adalah bintang penuntun yang tidak boleh hanya digantung di langit, tapi harus turun menyinari jalan rakyat.”

(Bung Karno, 1 Juni 1945)


Pancasila dalam Ekosistem Digital


Era digital bukan hanya membawa kemudahan komunikasi, tapi juga menciptakan ekosistem baru di mana atensi menjadi mata uang utama.

Siapa yang mampu menarik perhatian, dialah yang paling berpengaruh. 

Sayangnya, nilai-nilai kebhinekaan, gotong royong, atau keadilan sosial bukanlah tema yang mudah viral namun kalah oleh konten kontroversial, gosip selebriti, atau ujaran provokatif.

Akan tetapi bukan berarti Pancasila meredup. Melainkan, nilai-nilai ini harus reborn atau lahir kembali dalam format dan bahasa baru yang dapat bersaing dalam ruang digital.

Di sinilah peran generasi muda, terutama Gen Z sangat penting. 

Gen Z bukan sekadar konsumen media sosial melainkan  kreator, kurator, bahkan penggerak opini publik digital.

Menurut laporan Digital 2024 Indonesia yang dirilis oleh We Are Social dan Meltwater, pada awal tahun 2024 terdapat sekitar 126,8 juta pengguna media sosial berusia 18 tahun ke atas di Indonesia, yang setara dengan 64,8 persen dari total populasi usia dewasa.  

Selain itu, 75 persen dari pengguna internet di Indonesia menggunakan setidaknya satu platform media sosial.  

Data ini menunjukkan bahwa mayoritas arus informasi digital saat ini dibentuk oleh generasi muda. Dimasa depan generasi muda yang akan menentukan apakah Pancasila akan hidup sebagai nilai atau tenggelam sebagai nostalgia.

Selain itu, Indeks Pembangunan Literasi Masyarakat (IPLM) 2024 yang dirilis oleh Perpustakaan Nasional mencatat skor nasional sebesar 73,52, melampaui target yang ditetapkan sebesar 71,4.

Peningkatan ini menunjukkan adanya kemajuan dalam upaya meningkatkan literasi masyarakat.  Namun, tantangan dalam literasi digital tetap ada, terutama dalam menghadapi penyebaran informasi yang cepat dan masif di era digital.  

Data-data ini mengindikasikan bahwa meskipun terdapat kemajuan dalam literasi umum, literasi digital dan kesopanan dalam berinteraksi di dunia maya masih perlu ditingkatkan.

Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan upaya bersama dari pemerintah, masyarakat, dan platform digital untuk meningkatkan literasi digital, memperkuat etika berinternet, dan menanamkan nilai-nilai Pancasila dalam setiap interaksi daring.

Kita ketahui anak muda menciptakan konten yang viewers mencapai jutaan penonton, anak muda berbicara tentang toleransi lewat podcast, menyindir ketimpangan sosial lewat komik daring, membahas pluralisme lewat video edukasi pendek.

Anak muda juga menyampaikan nilai-nilai Pancasila tidak lagi dalam pidato kaku, tetapi dalam bentuk yang inklusif, humoris, dan mudah dicerna.

Inilah bentuk “Pancasila Reborn”: ketika ideologi bangsa tidak hanya diwariskan, tapi juga diterjemahkan ulang oleh generasi baru dalam kerangka zaman yang mereka pahami dan hidupi.


Antara Konten dan Kritik

Namun kita juga tidak boleh abai terhadap sisi gelap dari ruang digital. Tidak semua konten yang menyebut Pancasila bernilai positif.

Kadang, nama Pancasila digunakan sebagai tameng dari intoleransi, pembungkaman kritik, atau bahkan propaganda kekuasaan.

Di sisi lain, kritik terhadap negara yang sejatinya sehat dan konstruktif, justru sering dicurigai sebagai anti Pancasila.

“Di negara demokratis, kritik bukan kejahatan. Justru kritik adalah bentuk tertinggi dari cinta pada tanah air.”

(Franz Magnis-Suseno)

Pancasila harus tetap terbuka terhadap nalar kritis. Ketika Gen Z mengkritik ketimpangan, Gen Z bukan sedang menolak Pancasila, tapi justru sedang memperjuangkan sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Ketika Gen Z membela hak-hak minoritas, itu bukan pengkhianatan terhadap persatuan, melainkan upaya menjaga persatuan dan merawat ke-bhinekaan.

Dalam era digital, kritik dan konten adalah dua wajah dari koin yang sama.

Keduanya membutuhkan kedewasaan, empati, dan kedalaman berpikir. Maka, membumikan Pancasila berarti membangun budaya literasi digital yang etis dan reflektif.  

Negara Harus Hadir, Tapi Tidak Mendominasi

Membawa Pancasila ke ruang digital bukan semata tugas rakyat.

Negara tidak boleh hanya hadir dalam bentuk regulasi atau pengawasan, tetapi harus menjadi fasilitator bagi kreativitas anak muda dalam menyebarkan nilai-nilai kebangsaan. 

Dukungan terhadap literasi digital, pelatihan kreator konten, hingga penguatan komunitas digital yang sehat harus menjadi prioritas.

Pendidikan Pancasila juga perlu direformasi.

Tidak lagi menggunakan cara-cara lama dalam memberikan pemahaman nilai - nilai Pancasila yang cenderung dogmatis dan beralih ke pendekatan yang dialogis dan kontekstual. 

Seperti yang ditegaskan Prof. Kaelan, pakar filsafat Pancasila dari Universitas Gajah Mada, "Pancasila bukan ideologi tertutup. Ia harus terus dimaknai secara dinamis sesuai perkembangan zaman."

Olehnya itu, tugas utama pendidik bukan membuat generasi muda hafal lima sila, tapi membuat generasi muda khususnya Gen Z mampu merasakan dan menghayati makna Pancasila sebagai falsafah kebangsaan dalam kehidupan nyata baik di ruang kelas, di jalanan, maupun di media sosial.


Pancasila sebagai Peradaban

Pancasila bukan sekedar dicetuskan sekali saja oleh Bung Karno, melainkan proses panjang. Pancasila adalah peradaban yang menuntut pembaruan terus-menerus.

Dalam konteks era digital, reborn-nya Pancasila adalah momentum penting untuk menegaskan bahwa nilai-nilai dasar bangsa ini tidak statis. 

Tetapi nilai - nilai Pancasila tumbuh, beradaptasi, dan bertahan karena ditafsirkan ulang oleh tiap generasi.

Gen Z, sebagai digital native, punya posisi strategis. Gen Z bisa menjadikan ruang digital sebagai laboratorium ideologi, tempat nilai - nilai Pancasila diuji, ditantang, dan diperkuat.

Tapi tugas itu hanya bisa berhasil jika Gen Z tidak sekadar ikut arus algoritma, tapi mampu memanfaatkannya untuk menyebarkan nilai yang mencerahkan, bukan yang membelah opini masyarakat.

"Pancasila bukan sekadar teks sejarah, tapi kompas moral yang harus kita bawa ke ruang digital. Di tangan generasi muda, nilai-nilai ini bisa hidup kembali dalam bentuk yang kreatif dan kontekstual."

(Alanda Kariza, aktivis muda, pendiri Indonesian Youth Conference)

Maka dari itu, “Pancasila Reborn dalam Pusaran Algoritma” bukan sekadar judul gagah, tapi tantangan nyata yang sedang kita hadapi saat ini.

Pancasila tidak bisa hidup seperti di masa lalu. Pancasila harus digaungkan melalui platform media sosial seperti TikTok, YouTube, podcast, dan semua ruang platform digital tempat warga Indonesia berinteraksi.

Relevansi Pancasila tergantung pada keberanian kita terutama generasi muda, untuk menjadikannya nilai yang hidup, kritis, dan membebaskan.

Di era Gen Z, mereka dapat menafsirkan ideologi Pancasila bukan karena menghafal 5 sila, tetapi karena dimaknai dan diperjuangkan. (*)

Berita Terkini