TRIBUN-TIMUR.COM- Forum Purnawirawan TNI menyampaikan salah satu argumentasi hukum sehingga mengajukan pemakzulan Wakil Presiden RI, Gibran Rakabuming Raka ke Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia ( MPR RI ).
Surat ini ditandatangani empat jenderal yakni Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi, Marsekal TNI (Purn) Hanafie Asnan, Jenderal TNI (Purn) Tyasno Soedarto, dan Laksamana TNI (Purn) Slamet Soebijanto.
Sekretaris Forum Purnawirawan Prajurit TNI Bimo Satrio mengonfirmasi surat yang beredar tersebut. Surat itu juga telah dikirimkan ke Sekretariat Jenderal (Sekjen) MPR dan DPR RI pada Senin (2/6/2025) kemarin.
“Ya betul sudah dikirim dari Senin. Sudah ada tanda terimanya dari DPR, MPR, dan DPD,” ujar Bimo saat dihubungi dikutip dari kompas.com, Selasa (3/6/2025).
Gibran dianggap melanggar prinsip hukum, etika publik dan konflik kepentingan.
Ia memperoleh 'tiket' masuk menjadi calon wakil presiden dengan melanggar prinsip hukum dan konflik kepentingan.
Sebab, ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Anwar Usman yang memutus pengurangan batas usia calon presiden dan wakil presiden dari minimal 40 tahun menjadi 35 tahun.
putusan MK pada perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia calon presiden dan calon wakil presiden menuai polemik di publik.
Sebab lewat putusan itu, MK memperbolehkan seseorang yang belum berusia 40 tahun untuk mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden, selama berpengalaman menjadi kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilihan umum.
Berikut isi argumentasi hukumnya:
Gibran memperoleh tiket pencalonan melalui perubahan batas usia capres-cawapres dalam Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023.
Proses tersebut dinilai telah melanggar UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman, dinyatakan tidak sah (cacat hukum), karena Ketua
Hakim MK yang memutuskan perkara (Anwar Usman), adalah paman dari Saudara Gibran Rakabuming Raka dan telah melanggar Kode Etik dan Perilaku Hakim.
Dengan demikian, terbukti bahwa keputusan tersebut menunjukkan tidak independen karena adanya intervensi melalui relasi keluarga langsung (paman-keponakan) antara Ketua MK Anwar Usman dengan Sdr. Gibran Rakabuming Raka. Hal ini bertentangan dengan prinsip imparsialitas lembaga peradilan dan asas fair trial dalam hukum tata negara.
Rumusan Hukum
Tentang : Putusan MKMK No. 2/MKMK/L/11/2023 Tanggal 7 Bulan 11 Tahun 2023
Terlapor : Anwar Usman (Ketua Majelis MK)
Pelanggaran : Kode etik dan perilaku hakim tertuang dalam Sapta karsa hutama
Putusan MKMK : Pemberhentian hakim konstitusi Anwar Usman dari jabatan ketua MK
Bahwa putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 terhadap pasal 169 huruf q,
Undang-Undang Pemilu yang dalam putusan tersebut Anwar Usman sebagai ketua majelis yang sekaligus merupakan paman yang mempunyai hubungan
keluarga dengan Gibran Rakabuming Raka seharusnya wajib mengundurkan diri.
Putusan tersebut telah melanggar Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 17 : Ayat (5) Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.
Ayat (6) Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim
atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bahwa putusan MKMK terhadap kesalahan Anwar Usman, Majelis MKMK seharusnya mempertimbangkan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 17 Ayat 5,6 dan 7.
Bahwa oleh karena ketua majelis MK IC Anwar Usman dinyatakan bersalah melanggar kode etik dan perilaku hakim, maka putusan No. 90/PUUXXI/2023 dinyatakan cacat hukum dan dapat dibatalkan.
Bahwa Pasal 17 Ayat 7 menyatakan : Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) diperiksa kembali dengan susunan majelis hakim yang berbeda.
Konklusi :
a. oleh karena putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 cacat hukum dan juga terjadi disparitas putusan di perkara yang sama, antara lain No.29/PUU-XXI/2023, No. 51/PUU-XXI/2023, No. 55/PUU-XXI/2023,
yang putusannya menyatakan bahwa permohonan tidak memiliki alasan hukum sehingga permohonan di tolak.
b. Terhadap putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 belum pernah dilakukan pemeriksaan kembali dengan susunan majelis hakim yang berbeda.
Dengan demikian, masih dapat diajukan untuk diperiksa kembali melalui DPR, sebagaimana Pasal 17 ayat 7 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, pasal ini tidak mengatur ketentuan kadaluarsa.
(tribun-timur.com)