Opini

Waspada, Ada Pemangsa di dalam Ponsel Anak Anda

Editor: Sudirman
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

OPINI - Adityar Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin

Oleh: Adityar 

Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin

TRIBUN-TIMUR.COM - Smartphone telah menjadi bagian hidup bagi remaja masa kini.

Dari bangun tidur sampai mau terlelap lagi, layar terang itu setia menemani.

Berbeda dengan orangtuanya yang di masa remaja terpesona pada televisi, remaja hari ini terobsesi pada internet dengan atraksi tiada henti.

Sebagai orangtua, kita mungkin merasa wajar saja melihat mereka bernavigasi sana sini, lincah berpindah dari aplikasi ke aplikasi.

Update konten media sosial sampai video call sambil haha hihi. Namun, di balik kenyamanan ini, ternyata ada 'pemangsa' yang siap mengintai tanpa kita sadari.

Orang asing dengan niat jahat, memanfaatkan kepolosan anak berujung eksploitasi. Parahnya lagi, sering kali 'pemangsa' ini justru diundang masuk oleh anak-anak kita sendiri.

Kejadian di Kota Makassar menjadi pengingat betapa seriusnya ancaman ini. Pada tahun 2019, seorang siswi berusia 13 tahun menjadi korban penyekapan oleh pemuda berusia 20 tahun yang dikenalnya melalui media sosial (Sumber: TribunNews).

Tragisnya, kejadian serupa bukan kali pertama terjadi. Pada tahun 2016, seorang siswi SMP di kota yang sama juga mengalami penyekapan dan pemerkosaan oleh tiga orang pria dewasa yang salah satunya dikenalnya lewat media sosial (Sumber: TribunNews).

Masih ada beberapa kasus lain dengan pola serupa, berulang dan sangat mengkhawatirkan.

Usia remaja adalah fase rentan: bukan lagi anak-anak, tetapi juga belum dewasa sepenuhnya. Fase ini kerap dipandang sebagai masa pencarian jati diri.

Keinginan untuk mencoba hal baru dan bertemu dengan orang-orang baru ini sering kali tidak diimbangi dengan kemampuan menilai risiko secara matang.

Akibatnya, mereka kerap kali sulit membedakan antara hubungan sosial yang sehat dengan yang manipulatif. Di ruang digital, batas antara teman dengan orang asing memang begitu kabur.

Seseorang yang tampak ramah dan perhatian bisa dengan mudah dianggap sebagai teman, padahal sesungguhnya asing.

Inilah celah yang sering dimanfaatkan oleh pemangsa untuk mendekati dan memanipulasi mereka secara perlahan.

Fenomena ini dikenal sebagai online grooming. Ini adalah upaya orang dewasa membangun hubungan emosional dengan anak atau remaja melalui internet, dengan tujuan mengeksploitasi mereka. Dulu, praktik seperti ini membutuhkan pertemuan langsung. Kini, cukup dari balik layar.

Layaknya predator di alam liar, pemangsa ini tidak langsung menerkam, tetapi mendekat perlahan.

Pemangsa online ini memang sangat lihai. Dengan berbekal foto dan informasi palsu, mereka dapat dengan mudah membuat profil media sosial yang meyakinkan lalu menyamar sebagai teman sebaya.

Dengan pendekatan yang perlahan dan penuh kesabaran, mereka menciptakan kedekatan emosional tanpa menunjukkan niat jahat di awal.

Dalam proses ini, pelaku membuat korban merasa diperhatikan, dipahami, dan dihargai, sehingga terikat secara emosional dengan pelaku.

Pujian dan perhatian yang intens, membuat anak merasa istimewa. Anak-anak yang telah terjebak dalam perangkap ini merasa nyaman, tanpa menyadari bahwa hubungan tersebut dibangun atas dasar manipulasi.

Setelah hubungan terjalin, pelaku mulai mengarahkan percakapan ke topik pribadi yang lebih dalam.

Pada titik ini, pemangsa melanjutkan ke fase berikutnya: meminta korban untuk mengirimkan foto atau video pribadi, bahkan mengatur pertemuan langsung dalam situasi berisiko tinggi. Proses ini berlangsung perlahan, hingga korban merasa bahwa hubungan tersebut nyata dan istimewa.

Dampak yang ditimbulkan juga tidak berhenti di peristiwa eksploitasi itu sendiri.

Anak dan remaja yang menjadi korban bisa mengalami luka psikologis yang mendalam: merasa bersalah, kehilangan kepercayaan diri, menarik diri dari lingkungan, hingga mengalami tekanan emosional yang berat.

Dalam beberapa kasus, luka ini bisa berkembang menjadi gangguan mental serius seperti depresi hingga keinginan untuk mengakhiri hidup.

Apa sebenarnya yang membuat anak-anak kita begitu mudah terjerat dalam praktik online grooming?

Selain karena perkembangan mental dan kemampuan berpikir kritis yang belum sepenuhnya matang, ada satu faktor yang kerap diabaikan: kurangnya keterlibatan orangtua.

Orangtua seringkali terjebak dalam rutinitas dan kesibukan. Pekerjaan, urusan rumah tangga, dan berbagai tanggung jawab lainnya menyita energi dan waktu.

Kebersamaan dengan anak pun menjadi terbatas. Dalam situasi seperti ini, anak bisa merasa terabaikan. Mereka pun mencari pelarian ke ruang yang terasa lebih menerima: dunia maya.

Internet menjadi tempat mereka mencari teman, mencari perhatian, dan mencari validasi. Di sana, mereka menemukan komunitas yang tampak hangat dan penuh pujian, sesuatu yang mungkin terasa langka di lingkungan rumah.

Namun justru dalam kondisi itulah, mereka menjadi lebih rentan. Rasa kesepian dan kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi membuat mereka mudah percaya pada siapa pun yang memberi sedikit perhatian, termasuk para pemangsa digital yang lihai membaca celah.

Kurangnya komunikasi terbuka antara orangtua dan anak turut memperparah keadaan.

Banyak orangtua merasa canggung atau bingung memulai percakapan tentang topik-topik sensitif, seperti hubungan pertemanan, privasi di internet, atau potensi bahaya di ruang digital.

Akibatnya, anak-anak tumbuh tanpa bekal pemahaman yang cukup. Mereka akhirnya menelusuri rimba raya dunia maya sendirian padahal di sanalah ancaman bisa datang tanpa peringatan.

Tentu, kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan orangtua. Sebagai generasi yang tumbuh tanpa internet, orangtua kerap merasa asing dengan kemajuan teknologi yang luar biasa pesat.

Kita tidak tahu aplikasi apa yang digunakan anak, dengan siapa mereka berinteraksi, atau jenis ancaman apa yang mungkin mengintai di balik layar itu sendiri.

Tak jarang muncul anggapan, “Yang penting anak-anak ada di rumah, pasti aman.”. Padahal, di era digital, rumah tidak lagi menjadi benteng perlindungan.

Internet telah mampu menembus tembok rumah, mengikuti anak hingga ke dalam kamarnya, bahkan ketika lampu di seisi rumah telah dipadamkan.

Lalu, apa yang bisa dilakukan orangtua? Langkah pertama adalah menyadari bahwa keterampilan literasi digital bukan hanya kebutuhan anak-anak, tetapi juga kebutuhan orangtua.

Kita tidak harus menjadi pakar teknologi, tetapi setidaknya memahami risiko-risiko yang mungkin muncul sehingga kita bisa membuka dialog dengan anak-anak kita, memantau secara bijak, dan memberi perlindungan yang relevan.

Melindungi anak-anak dari pemangsa di dunia maya adalah tugas yang terlampau berat jika dipikul sendirian.

Ini membutuhkan kolaborasi dari semua pihak. Orangtua, pendidik, pemerintah, dan masyarakat secara keseluruhan perlu bekerja sama untuk menciptakan ekosistem digital yang lebih aman bagi anak-anak kita.

Sudah saatnya kita tidak hanya fokus pada keamanan di dunia nyata, tetapi juga di dunia maya, karena di sanalah, anak-anak kita kini tumbuh, belajar, dan bersosialisasi.(*)

Berita Terkini