TRIBUN-TIMUR.COM, SINJAI— Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sinjai periode 2024-2029 tidak mendapatkan fasilitas mobil dinas.
Namun sebagai gantinya, meraka diberi tunjangan transportasi Rp 13 juta per bulan.
"Pimpinan dewan (DPRD) tidak dapat fasilitas mobil dinas, mereka masing-masing memakai mobil pribadi sama dengan anggota DPRD lainnya," kata Sekwan DPRD Sinjai, Lukman Fattah.
Ketua DPRD Sinjai, Andi Jusman mengaku, jika tidak adanya mobil Dinas di DPRD Sinjai, hal itu tak pengaruhi kinerja pimpinan.
"Kita berhemat, karena saat ini kan efesiensi anggaran jadi tidak ada alokasi untuk pengadaan mobdin (mobil dinas)," ujarnya.
Pimpinan DPRD Sinjai saat ini adalah Ketua, Andi Jusman fraksi Partai Nasdem.
Wakil ketua 1 DPRD Sinjai Muh Sabir dari Partai Golkar dan Wakil Ketua II dari Partai Gerindra Fachriandi Matoa.
Kebijakan ini menimbulkan reaksi dari aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) MPO Sinjai, Ashabul Qahfih.
Ashabul Qahfih mengatakan keputusan ini disebut-sebut sebagai bentuk penghematan anggaran.
“Namun, kenyataan bahwa total tunjangan tersebut mencapai Rp156 juta per tahun per pimpinan, menimbulkan pertanyaan besar, apakah benar ini bentuk penghematan, atau justru pemborosan yang disamarkan,” ujarnya.
Menurut eks Ketua HMI MOO Sinjai ini kebijakan tersebut bukan penghematan, melainkan pemborosan.
“Ini bukan penghematan melainkan hanya perubahan bentuk pemborosan. Alih-alih memangkas anggaran, justru membuka ruang untuk penggunaan dana yang tidak efektif dan cenderung tidak akuntabel,” katanya.
HMI MPO Sinjai menilai kebijakan ini menunjukkan minimnya empati dan kepekaan terhadap kondisi riil di lapangan.
“Di tengah masih banyaknya masalah pelayanan publik, seperti jalan yang rusak, kualitas pendidikan dan keterbatasan layanan kesehatan keputusan untuk menggelontorkan belasan juta rupiah setiap bulan hanya untuk transportasi pejabat dewan dinilai mencederai rasa keadilan publik,” ujarnya.
Mereka menyarankan kepada DPRD Sinjai agar meninjau ulang kebijakan ini.
DPRD diminta lebih mengedepankan prinsip efisiensi, akuntabilitas, serta keberpihakan kepada rakyat.
“Anggaran daerah seharusnya digunakan untuk mendorong pembangunan yang merata, bukan untuk membiayai kenyamanan pribadi para pejabat," kata dia.
"Rakyat tidak butuh simbol penghematan yang semu. Rakyat butuh bukti nyata keberpihakan,” katanya.