Oleh: Inosensius Enryco Mokos, M. I. Kom
Peneliti Komunikasi Pendidikan, Politik, Publik dan Budaya
TRIBUN-TIMUR.COM - Berlakunya kembali Ujian Nasional dalam sistem pendidikan Indonesia akan terlaksana pada tahun ajaran 2025/2026.
Ini merupakan alarm was-was untuk para guru, siswa dan juga orang tua yang pasti akan terdampak dari proses perubahan ini.
Di lain sisi, dalam beberapa hari ini, berita di beberapa media Indonesia mengabarkan bahwa Kemendikdasmen akan mengubah nama dari Ujian Nasional (UN) menjadi Tes Kemampuan Akademik (TKA).
Tujuan perubahan nama ini, menurut Kemendikdasmen lewat pernyataan Menteri Abdul Mu’ti, adalah untuk mengurangi tekanan psikologis yang dirasakan oleh siswa dan guru sehingga dengan berganti menjadi Tes Kemampuan Akademik (TKA) siswa dapat lebih tenang dan nyaman untuk mengikuti tes.
Menarik untuk membahas lebih lanjut mengenai alasan perubahan nama dan istilah dalam ujian akhir untuk para siswa di sekolah dasar dan menengah ini, yang mana tentu ujian ini akan berdampak bagi masa depan mereka masing-masing (siswa-siswi).
Sehingga berhadapan dengan situasi ini siapapun akan merasa cemas, tegang, khawatir dan tentu berada dalam tekanan.
Menyikapi kebijakan perubahan yang dilakukan oleh Kemendikdasmen ini, perlu ada refleksi kritis dan mendalam mengenai wacana TKA ini apalagi, alasan dibalik perubahan nama dan istilah ini justru rancu, yang mana perubahan ini justru tidak menghilangkan sama sekali rasa cemas dan tekanan dalam diri siswa.
Kemendikdasmen melupakan catatan yang sebenarnya lebih urgen untuk dilakukan terhadap pendidikan di Indonesia yaitu
pembangunan karakter.
Sebagaimana sudah melewati masa 100 hari kerja dalam pemerintahan Kabinet Presiden Prabowo tetapi perubahan belum dirasakan sama sekali untuk lembaga pendidikan.
Sejatinya harus ada perubahan yang signifikan tetapi apakah ini kebijakan yang baik?
Hilang Tekanan Ujian?
Sebenarnya jika kita semua melihat secara mendalam dan merefleksikan setiap ujian yang pernah kita lewati bersama dalam pendidikan, tentu ujian apapun itu, akan memberikan tekanan yang luar biasa dalam diri kita.
Saya sendiri ketika mengikuti ujian sidang skripsi dan tesis, saya begitu cemas dan khawatir apakah saya bisa melaksanakan ujian dengan baik atau tidak karena dalam pikiran saya, ujian tersebut sangat menentukan masa depan saya.
Kadang, yang saya takutkan adalah harus mengulang lagi ujian yang mana itu akan semakin
membuat saya frustasi apalagi saya mendapatkan nilai yang tidak bagus atau tidak sesuai standar.
Pada dasarnya, Ujian Nasional berlaku sebagai penentu tunggal kelulusan seorang peserta didik untuk bisa melanjutkan ke jenjang berikutnya dalam pendidikan Indonesia.
Karena menjadi ujian tunggal dan penentu tunggal masa depan inilah yang menjadi dasar tekanan sosial dan tekanan psikis menjadi sangat tinggi.
Peserta didik pasti khawatir bahwa jika tidak lulus atau gagal akan berdampak bagi karirnya di masa depan, berdampak pada
studi di Perguruan Tinggi yang bisa terhambat.
Entah diganti menjadi TKA pun, jika TKA masih dijadikan patokan dan penilaian tunggal untuk melihat kemampuan akademis peserta didik maka tekanan yang dihasilkan akan tetap tinggi, tidak ada perubahan apa-apa.
Bahkan dari Menteri Abdul Mu’ti sendiri mengatakan bahwa TKA yang menjadi pengganti UN ini akan diintegrasikan menjadi ujian untuk masuk Perguruan Tinggi (hal ini masih sebagai perencanaan, tetapi TKA sudah dipastikan akan diberlakukan).
Ini justru akan membebani peserta didik lebih parah lagi karena ada dua masa depan yang sedang dipertaruhkan di situ.
Di lain sisi, guru juga akan terbebani dengan proses persiapan dari TKA karena harus mempersiapkan peserta didik dengan baik karena menyangkut masa depan mereka.
Akhirnya porsi belajar yang selama ini dilakukan di pendidikan dasar dari kelas satu sampai kelas enam atau kelas satu sampai kelas tiga untuk sekolah menengah akan sia-sia.
TKA menjadi penentu tunggal kelulusan membuat pendidikan dan pengembangan siswa selama ini tidak diperhatikan.
Pendidikan peserta didik yang holistik dan menyeluruh yang dilakukan bertahun-tahun tidak diperhatikan karena hanya fokus pada satu ujian saja karena menjadi penentu tunggal.
Justru di sini pendidikan kita bukan lagi sebagai daya untuk membangun peserta didik yang bersifat konstruktif tetapi mengarah pada tindakan destruktif untuk masa depan peserta didik di Indonesia.
Pendidikan adalah Pembebasan
Sebenarnya tujuan dari Kemendikdasmen sudah bagus untuk berusaha menghilangkan tekanan psikologi yang akan dirasakan oleh peserta didik, tetapi untuk sampai pada tujuan tersebut tidak hanya dipakai dengan merubah sistem tetapi harus dengan pendekatan yang humanis konstruktif.
Selama ini, penilaian untuk kelulusan peserta didik kita sudah cukup bagus dengan pendekatan yang lebih holistik dan melihat dari berbagai aspek.
Sehingga kelulusan bukan lagi ditangan lembaga pendidikan negara tetapi pada lembaga sekolah dan juga peserta didik itu sendiri.
Hal ini sudah sesuai dengan marwah pendidikan yang membebaskan. Mengapa demikian?
Paulo Freire, seorang filsuf pendidikan dari Brazil, menekankan bahwa pendidikan harus memiliki sifat membebaskan dan menitikberatkan peserta didik sebagai subjek bukan objek dari pendidikan.
Artinya bahwa peserta didik harus diberi kebebasan untuk menentukan masa depannya dengan tanggung jawab dan usaha serta perkembangan yang dilalui.
Sehingga bisa membawa perubahan untuk diri peserta didik itu sendiri juga kepada lingkungan masyarakat tempat peserta didik itu akan berkarya.
Pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang memungkin setiap peserta didik bisa mengekspresikan segala bakat dan karakter diri yang positif untuk membangun masyarakat.
Sifat pembebasan itu akan membawa perubahan yang signifikan dalam masyarakat.
Mengedepankan pendidikan yang holistik dan penilaian Ujian bagi peserta didik yang menyeluruh akan memberi kebebasan dalam diri peserta didik akan menciptakan masyarakat yang konstruktif untuk kemajuan bangsa.
Seharusnya, Kemendikdasmen fokus pada pembangunan infrastruktur untuk kesetaraan dan keadilan bagi seluruh daerah di Indonesia.
Masih banyak daerah tertinggal di Indonesia yang infrastruktur dan sarana pendidikannya sangat buruk.
Ini justru yang harus menjadi perhatian pertama bukan fokus pada penilaian peserta didik.
Niscaya infrastruktur yang baik tanpa ujian pun akan menghasilkan peserta didik yang mempunyai kemampuan dan karakter akademis yang baik dan berdaya saing tinggi.
Fokus pada pembangunan dan pengembangan teknologi serta digitalisasi pendidikan sehingga literasi digital menjadi kemampuan paling utama dalam diri peserta didik serta para guru.
Sehingga kemampuan dan daya refleksi pengetahuan siswa dan guru bisa tinggi untuk memajukan pendidikan di Indonesia.
Semua itu demi membangun bangsa Indonesia yang maju dan cerdas. Semoga!