TRIBUN-TIMUR.COM- Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat memvonis ringan untuk dua terdakwa.
Mereka adalah Harvey Moeis dan Helena Lim.
Vonis ringan dari hakim ini pun membuat gerah netizen.
Sebab, kolusi dari pengusaha dan pegawai PT Timah Tbk ini merugikan negara Rp300 triliun.
Berikut vonis ringan untuk terdakwa Helena Lim dan Harvey Moeis:
Helena Lim
Crazy rich Pantai Indah Kapuk (PIK) sekaligus pemilik PT Quantum Skyline Exchange Helena Lim divonis lima tahun penjara dan denda sejumlah Rp750 juta subsider 6 bulan bulan penjara.
Majelis hakim menyatakan Helena terbukti melakukan tindak pidana korupsi dalam pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah IUP di PT Timah Tbk tahun 2015-2022 dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Helena juga dihukum dengan pidana tambahan berupa kewajiban membayar uang pengganti sejumlah Rp900 juta dalam waktu paling lama satu bulan setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap atau inkrah.
Jika dalam waktu tersebut tidak membayar uang pengganti, maka harta bendanya disita oleh jaksa dan dilelang.
Dalam hal Helena ketika menjadi terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka dipidana penjara selama 1 tahun.
Vonis ini lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum. Sebelumnya, Helena dituntut dengan pidana delapan tahun penjara dan denda sebesar Rp1 miliar subsider satu tahun serta uang pengganti Rp210 miliar subsider empat tahun.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim tidak sepakat dengan tuntutan uang pengganti yang diajukan jaksa.
Menurut hakim, di persidangan terungkap fakta bahwa terdakwa lain Harvey Moeis mengakui telah menerima seluruh uang pengamanan seolah-olah dana CSR senilai USD 30 juta atau Rp420 miliar yang ditampung Helena melalui PT QSE.
Menurut hakim, Helena tidak menikmati uang tersebut.
"Seluruh uang dari dana pengamanan seolah-olah dana CSR yang diterima Harvey Moeis dari para perusahaan smelter tersebut yang ditransfer ke rekening PT Quantum semuanya sudah diterima oleh saksi Harvey Moeis sehingga majelis hakim berpendapat bahwa Helena tidak menikmati uang pengamanan atau seolah-olah dana CSR tersebut," kata hakim.
Menurut hakim, Helena hanya menikmati keuntungan dari kurs atas penukaran valuta asing dari uang pengamanan tersebut dengan perhitungan Rp30 dikali USD 30 juta atau senilai Rp900 juta.
"Seluruhnya berjumlah Rp900 juta yang telah dipergunakan terdakwa untuk kepentingan pribadi terdakwa. Oleh karena itu, terhadap terdakwa Helena harus dibebani untuk membayar uang pengganti sebesar Rp900 juta," kata hakim.
Harvey Moeis
Harvey Moeis yang mewakili PT Refined Bangka Tin (RBT) divonis dengan pidana 6,5 tahun penjara dan denda sebesar Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan. Ia juga dihukum membayar uang pengganti sebesar Rp210 miliar subsider 2 tahun penjara.
Seluruh aset Harvey yang terkait dengan perkara diputuskan hakim dirampas untuk negara sebagai bagian dari pembayaran uang pengganti.
Suami dari artis Sandra Dewi ini dinilai terbukti melakukan tindak pidana korupsi dalam pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah IUP di PT Timah Tbk tahun 2015-2022 dan TPPU.
Hal itu sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 6 tahun dan 6 bulan dan denda sebesar Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan," ujar ketua majelis hakim Eko Aryanto saat membacakan amar putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Senin (23/12).
Sebelumnya, dalam tuntutannya, jaksa ingin Harvey dihukum dengan pidana penjara selama 12 tahun dan denda sebesar Rp1 miliar subsider satu tahun kurungan plus uang pengganti sejumlah Rp210 miliar subsider enam tahun penjara.
Sosok Lima Hakim
Sidang Tindak Pidana Korupsi untuk Helena Lim dan Harvey Moeis dipimpin lima hakim.
Mereka adalah Eko Aryanto bertindak sebagai ketua.
Eko Aryanto SH MH merupakan seorang hakim di PN Jakarta Pusat.
Menurut keterangan di laman PN Jakpus, dia tercatat sebagai hakim utama muda dengan pangkat/golongan pembina utama madya (IV/d).
Sekelumit tentang Eko Aryanto yang lahir di Malang, Jawa Timur pada 25 Mei 1968.
Hakim berusia 56 tahun ini dulunya meraih gelar sarjana bidang Hukum Pidana pada 1987 dari Universitas Brawijaya.
Eko kemudian lulus S2 Ilmu Hukum dari IBLAM School of Law pada 2002. Sementara itu, gelar S3 Ilmu Hukum didapatnya dari Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta pada 2015.
Pada perjalanan kariernya, Eko sudah berkarier di sejumlah pengadilan negeri.
Dia juga pernah menjadi ketua pengadilan negeri di Pandeglang pada 2009 hingga Tulungagung pada 2017.
Kemudian, ada empat anggota yakni Eryusman, Suparman, Jaini Basir, dan Mulyono Dwi Putro.
Dari empat nama ini, Suparman Nyompa juga menjadi perhatian.
Suparman Nyompa, SH. MH adalah pria asal Makassar, Sulawesi Selatan.
Suparman merupakan pendiri pesantren di Desa Sogi, Maniangpajo, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan pada 2012.
Nama pesantrennya Al Hadi Al Islami yang menerapkan program belajar gratis.
Selama menuntut ilmu di pesantren Al Hadi Al Islami, para santri tidak dikenakan biaya alias gratis.
Cita-cita Suparman dalam mendirikan pesantren ialah untuk mewujudkan pembangunan akhlak.
Sebelum bertugas di PN Jakarta Timur, ia sempat bertugas di PN Pangkajene dan PN Makassar.
Saat di PN Makassar, Suparman pernah menjadi hakim dalam sidang perkara kasus narkoba yang melilit Amiruddin Rahman alias Aco.
Ia juga menjadi hakim dalam kasus
sidang gugatan Rizieq Shihab dan timnya kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Habib Rizieq Shihab dan timnya menganggap Jokowi melakukan perbuatan melawan hukum, yakni berupa rangkaian kebohongan yang dilakukan selama periode 2012-2024.
(tribun-timur.com)