Oleh: M Yunasri Ridhoh
Dosen Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Negeri Makassar
TRIBUN-TIMUR.COM - PADA suatu sore yang hening, di sebuah desa di ujung pulau, seorang laki-laki tua duduk termenung di bawah pohon yang sudah puluhan tahun menjulang di halaman rumahnya.
Ia memandang jauh ke horizon, seolah mengingat kembali jejak langkah panjang perjuangan yang telah dilalui, baik oleh dirinya maupun oleh bangsa ini.
Dalam keheningan itu, terbersitlah dalam benaknya sebuah pertanyaan: Apakah yang sesungguhnya kita perjuangkan, jika hak asasi manusia, yang menjadi jantung dari kemerdekaan, masih harus berjuang sendiri?
Sementara itu, di gedung-gedung megah di ibu kota, upacara peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) tengah berlangsung. Bendera dikibarkan, pidato disampaikan, dan seremonial pun berlangsung.
Namun, jauh di balik simbol-simbol itu, di lapisan masyarakat yang lebih dalam, rasa ketidakadilan masih terasa tajam, seolah
perjalanan panjang menuju penghormatan hak asasi manusia belum pernah benar-benar berakhir.
Hari HAM, yang diperingati setiap tanggal 10 Desember, seharusnya menjadi momentum refleksi dan evaluasi atas bagaimana sebuah bangsa menegakkan hak asasi manusia.
Namun kenyataannya, peringatan tersebut sering kali hanya menjadi rutinitas yang terlewatkan tanpa makna yang mendalam.
Penegakan HAM: Jalan Ditempat?
Penegakan HAM, dalam banyak hal, tampaknya memang berjalan di tempat.
Meski Indonesia telah meratifikasi berbagai konvensi internasional mengenai hak asasi manusia, baik melalui Undang-Undang Dasar 1945 maupun peraturan perundang-undangan lainnya, implementasinya masih jauh dari kata sempurna.
Pada kenyataannya, banyak pelanggaran hak asasi manusia yang masih terjadi, mulai dari penggusuran paksa, diskriminasi terhadap kelompok minoritas, hingga pelanggaran kebebasan berekspresi.
Menurut Amnesty International (2022), pelanggaran HAM di Indonesia masih marak terjadi, dengan fokus pada kebebasan berpendapat dan kebebasan pers, yang seharusnya dilindungi oleh negara.
Kasus-kasus seperti persekusi terhadap kelompok agama tertentu, penangkapan terhadap jurnalis, dan pembungkaman
suara-suara kritis yang menuntut keadilan, menunjukkan bahwa meski negara telah mengakui HAM dalam konstitusinya, implementasi di lapangan masih jauh dari harapan.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Human Rights Watch (2021), disebutkan bahwa meskipun ada kemajuan dalam hal pengakuan hak, banyak masalah mendasar seperti akses terhadap keadilan bagi korban pelanggaran HAM
masih terhambat.
Kasus-kasus lama, seperti pelanggaran HAM masa lalu yang belum terselesaikan, mencerminkan ketidakmampuan negara dalam menghadirkan keadilan yang substansial.
Ini menunjukkan bahwa penegakan HAM seringkali terjebak dalam lingkaran reformasi yang tidak kunjung tuntas.
Merayakan Hak yang Hanya Ada di Kertas?
Salah satu contoh nyata adalah pelanggaran terhadap hak-hak ekonomi dan sosial yang dirasakan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.
Dalam laporan tahunan BPS 2023, angka kemiskinan masih menunjukkan angka yang mengkhawatirkan, mencapai 25,9 juta orang.
Data ini menunjukkan bahwa meskipun Indonesia telah mendeklarasikan berbagai hak asasi manusia yang mendasar dalam konstitusi, kenyataannya, hak untuk hidup sejahtera, hak atas pekerjaan yang layak, dan hak atas pendidikan yang merata, sering kali tidak bisa dirasakan oleh banyak orang.
Lalu, apakah semua yang tertulis dalam konstitusi itu hanyalah suatu simbol?
Apakah ia hanya ada di atas kertas?
Tantangan terbesar dalam penegakan HAM adalah adanya kesenjangan normatif antara apa yang dijanjikan oleh hukum dan realitas sosial yang ada di lapangan.
Hal ini menjelaskan mengapa meskipun berbagai instrumen hukum tentang HAM telah ditetapkan, pelaksanaannya sering kali menemui jalan buntu.
Kebijakan yang tidak disertai dengan implementasi yang kuat dan tanpa adanya komitmen politik yang nyata dari pemimpin negara akan membuat semua yang ada di atas kertas menjadi sia-sia.
Kembali ke perayaan Hari HAM, kita harus bertanya apakah merayakan hak yang tidak terwujud dalam kehidupan sehari-hari justru menjadi bentuk hipokrasi?
Dalam refleksi atas Hari HAM, kita perlu lebih dari sekadar merayakan, kita perlu melakukan aksi nyata yang mendalam.
Apakah pemerintah benar-benar berkomitmen pada pemenuhan hak-hak warganya, ataukah hanya sekadar mengikuti tren internasional dengan melaksanakan upacara tanpa substansi yang memadai?
Mengapa Perayaan Hari HAM Harus Lebih dari Sekadar Upacara?
Jika penegakan HAM masih menemui banyak rintangan, lantas apa yang harus dilakukan untuk menjadikan Hari HAM bukan sekadar sebuah perayaan yang kosong?
Yang pertama adalah komitmen nyata dari pemerintah untuk memperbaiki sistem hukum yang ada.
Penegakan hukum harus bebas dari segala bentuk tekanan politik. Keberanian dalam menindak pelanggaran HAM tanpa pandang bulu adalah langkah awal yang harus diambil.
Selain itu, peningkatan kualitas pendidikan dan pemerataan akses terhadap pelayanan publik, seperti kesehatan dan pekerjaan, harus menjadi prioritas utama.
Peringatan Hari HAM juga harus menjadi ajakan bagi masyarakat untuk lebih kritis dan aktif dalam mengawasi kebijakan pemerintah.
Keterlibatan masyarakat sipil dalam proses pembuatan kebijakan dan pengawasan pelaksanaannya harus diperkuat, karena hanya dengan partisipasi aktif dari semua pihak, baik negara, masyarakat, maupun sektor swasta, kita dapat memastikan bahwa hak asasi manusia bukan hanya sekadar teks dalam konstitusi, tetapi hidup dan dirasakan oleh setiap warga negara.
Sebagaimana pohon menjulang yang tegak di desa itu, penegakan HAM membutuhkan waktu, kesabaran, dan usaha yang berkelanjutan.