Kuasa Hukum Paris Yasir-Islam Iskandar Tanggapi Pernyataan Bawaslu Sulsel Soal PSU Pilkada Jeneponto

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ketua Tim Hukum Paris Yasir-Islam Iskandar, Saiful.

TRIBUN-TIMUR.COM - Bawaslu Sulsel menilai PPK Kelara, Jeneponto berpotensi dipidana.

Itu karena menolak rekomendasi pemungutan suara ulang (PSU) yang dikeluarkan Panwascam Kelara.

Adapun rekomendasi PSU dikeluarkan Panwascam Kelara, yakni TPS 005 Tolo Barat dan TPS 001 Tolo Selatan.

Anggota Bawaslu Sulsel Saiful Jihad menegaskan rekomendasi PSU yang dikeluarkan atas temuan pelanggaran administrasi pemilihan harus dilaksanakan oleh PPK.

Pasalnya, Bawaslu menganggap ada pemilih yang seharusnya tidak berhak memilih di TPS tertentu.

Hal itu memicu keputusan untuk merekomendasikan PSU sebagai solusi untuk menghindari suara yang tidak sah.

“Karena KPU punya dasar, kita juga tentu punya alasan kenapa kita rekomendasikan PSU. Tentu ini bisa jadi perbedaan perspektif dalam melihat aturan itu,” kata Saiful Jihad, Kamis (5/12/2024).

Menanggapi pernyataan itu, Ketua Tim Hukum Paris Yasir-Islam Iskandar (PASMI), Saiful angkat bicara.

Menurut Saiful, pernyataan tersebut tidak hanya tidak berdasar secara hukum, tapi juga berpotensi memperkeruh situasi politik di Jeneponto.

“Komisioner Bawaslu Sulsel terkesan tidak memahami hukum dan memposisikan dirinya seolah sebagai pembuat undang-undang,” katanya, Jumat (6/12/2024).

Ia menjelaskan, rekomendasi Panwascam Kelara untuk melaksanakan PSU di TPS 05 Tolo Barat dan TPS 01 Tolo Selatan seharusnya tidak serta-merta dipaksakan.

PPK Kelara, kata Saiful memiliki kewenangan untuk mengkaji setiap rekomendasi yang dikeluarkan Panwascam atau Bawaslu Kabupaten sebelum mengambil tindakan.

“Jika merujuk pada Undang-undang Pilkada dan Peraturan KPU Nomor 17/2024, PPK memiliki dasar hukum kuat untuk tidak menindaklanjuti rekomendasi tersebut, terutama jika hanya satu orang pemilih terlibat pelanggaran,” tegas Saiful.

Ia mengutip Pasal 112 Undang-undang Nomor 1/2015 yang menyatakan PSU hanya dapat dilakukan jika terdapat lebih dari satu pemilih yang melakukan pelanggaran.

Seperti menggunakan hak pilih lebih dari sekali atau memberikan suara meski tidak terdaftar sebagai pemilih.

Aturan serupa juga diatur dalam Pasal 50 PKPU Nomor 17 Tahun 2024.

“Pernyataan komisioner bawaslu yang memaksakan pelaksanaan PSU jelas keliru. Tidak ada satu pun ketentuan pidana mengatur sanksi bagi PPK yang tidak menjalankan rekomendasi Panwascam,” ujar Saiful.

Saiful juga mengkritisi Surat Edaran Bawaslu RI Nomor 117 Tahun 2024 yang menjadi rujukan untuk mendorong PSU, dengan menyebutnya sebagai cacat hukum dan tidak mengikat.

Ia menyoroti surat edaran itu merujuk pada aturan Pemilu, bukan Pilkada sehingga tidak relevan digunakan dalam konteks ini.

“Surat edaran itu mengacu pada PKPU Nomor 25/2023 tentang pemungutan suara pemilu, bukan PKPU Nomor 17/2024 yang khusus mengatur pilkada. Ini menunjukkan inkonsistensi yang fatal," katanya.

Saiful menegaskan upaya memaksakan PSU dengan ancaman pidana adalah bentuk penyalahgunaan wewenang.

Ia mengingatkan komisioner Bawaslu lebih cermat memahami regulasi sebelum mengeluarkan pernyataan yang dapat memengaruhi kredibilitas penyelenggaraan pemilu.

“Komisioner Bawaslu jangan asal mengancam PPK, khususnya di Kecamatan Kelara. PPK memiliki landasan hukum yang jelas untuk tidak melaksanakan rekomendasi Panwas jika tidak memenuhi ketentuan pada Pasal 112 ayat 2 UU Pilkada dan Pasal 50 PKPU Nomor 17 Tahun 2024,” katanya.

Saiful berharap semua pihak tetap berpegang pada aturan hukum yang berlaku demi menjaga integritas dan kredibilitas Pilkada di Jeneponto.

Situasi politik yang sudah memanas sebaiknya tidak diperkeruh dengan pernyataan tidak berdasar dan cenderung provokatif.(*)

Berita Terkini