TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR– Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI, HM Jusuf Kalla (JK), berbagi kisah tentang sosok Jenderal Jusuf dalam Seminar “Ethos 4 Jusuf” di Ballroom Hotel Universitas Hasanuddin (Unhas), Senin, (2/9/2024).
Disela kisah yang dipaparkan, para hadirin sontak tertawa saat kelakar Kalla saat Jenderal Jusuf minta dihilangkan nama depan atau gelar Andi.
JK juga mengenang keberanian Jenderal Jusuf yang memilih untuk melepas gelar "Andi" pada tahun 1957.
"Kalau mau dipikir, kenapa dia lepas gelar Andi, justru orang sekarang buru-buru ingin memakai Andi," katanya.
"Itu beliau umumkan di lapangan. Jangan lagi panggil saya Andi," ujar JK, menirukan kembali pernyataan Jenderal Jusuf.
JK kemudian menceritakan peristiwa saat Jenderal Jusuf baru pulang dari sekolah di Amerika dan diperintahkan untuk menumpas pemberontakan DI/TII di Sulawesi.
Pimpinan DI/TII adalah mantan komandannya, Abdul Kahar Muzakkar.
Dalam pertemuan empat mata dengan Kahar, Jenderal Jusuf mendapat pertanyaan dari Jakarta, "Kenapa tidak menangkap Kahar?" Jenderal Jusuf menjawab, "Saya tidak mau dianggap kompeni. Pengkhianat namanya itu," ungkap JK.
Selama bertugas di Kodam Hasanuddin, hanya ada dua orang Bugis yang bertahan di Divisi Hasanuddin, yakni Jenderal Jusuf dan Jenderal Bahtiar, sementara yang lainnya berasal dari Siliwangi.
"Kita orang Bugis, jangan merasa kalah. Jadi dia yang bertahan waktu itu, Jenderal Jusuf dan Jenderal Bahtiar. Yang lainnya diambil dari Siliwangi," ujar JK.
JK membeberkan beberapa karakteristik Jenderal Jusuf yang membuatnya dihormati, yaitu keberanian, kecerdasan, ketegasan, dan kejujuran.
"Itu contoh leadership dari Jenderal Jusuf," ucap JK.
Tak hanya itu, JK juga mengenang momen saat dirinya sering memposisikan diri sebagai ajudan bagi Jenderal Jusuf.
Ia mengisahkan, pernah suatu kali Jenderal Jusuf memerintahkannya untuk membawa bunga ucapan ke Makassar.
"Saat itu saya sudah menjabat sebagai Menko Kesra. Dia bilang, 'Suf, bawa ini bunga ke Makassar.' Saya bilang, 'Baik Pak, tapi saya ini Menko.' Beliau menjawab, 'Ah, tidak ada menko-menko,'" cerita JK, yang disambut tawa lagi.
Putra BJ Habibie
Mempunyai Sumber Daya Manusia (SDM) unggul sampai hari ini merupakan tantangan bersama.
Lebih dari itu, SDM tidak hanya boleh unggul dan terdidik, tetapi harus bekerja.
Demikian sampaikan Putra almarhum BJ Habibie, Ilham Akbar Habibie,turut hadir dalam Seminar Internasional '4 Ethos, 4 Jusuf' di Kampus Unhas, Tamalanrea, Makassar, Sulsel pada Senin (2/9/2024).
“Mereka (SDM unggul) harus bekerja, berkarya,” kata Ilham Habibie, yang juga Ketua Dewan Pakar Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).
Menurutnya, jika SDM dididik dengan baik tetapi tidak bekerja di industri atau tempat ia produktif, maka akan percuma.
Sebab, kunci utamanya adalah SDM unggul harus bekerja dan berkarya.
Ilham Habibie menuturkan, kebangkitan teknologi tidak lain adalah kebangkitan bangsa.
“Karena ini manifestasi daripada apa yang kita mampu dan kita tidak perlu ragukan lagi, jangan minder sebagai bangsa bahwasanya tidak mampu,” tuturnya.
“Apapun kita mampu kalau kita diberi kesempatan, kalau kita sabar, kita berkomitmen, kita kerja keras, disiplin, dan kerja sama baik dengan semua unsur bangsa. Saya kira itu semua penting sekali,” sambung Ilham Habibie.
Dalam kesempatan itu, pakar penerbangan ini juga menyampaikan pesan kunci sang bapak (BJ Habibie) agar Indonesia bisa maju.
Menurutnya, Indonesia mau maju, tidak berlandas pada keputusan presiden atau undang-undang.
“Kalau (berdasar keputusan presiden atau undang-undang), kita sudah maju dari zaman dulu,” katannya.
Namun, kunci jika Indonesia ingin maju, kata dia, terletak pada pelakunya (masyarakat).
Harus menggunakan sistem yang telah dibuat dengan baik dan benar, serta harus berkarya dan bekerja.
“Itu tantangan besar kita bersama (SDM harus bekerja dan berkarya,” tambah Ilham Habibie.