Forum Dosen Tribun Timur

Prof Amir Ilyas Menelaah Putusan MK Nomor 60 dan 70: Koalisi Gemuk Akan Berkurang

Penulis: Faqih Imtiyaaz
Editor: Saldy Irawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Diskusi Forum Dosen di Redaksi Tribun Timur, Jl Cendrawasih No 430, Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (22/8/2024).  

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Dua putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mendapat respon keras dari Badan Legislasi DPR RI.

Draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) disepakati Baleg DPR RI.

Beberapa pasal didalamnya seakan melawan keputusan MK.

Guru Besar Hukum Unhas Prof Amir Ilyas mengulas dua keputusan MK yakni No.60/PUU-XXII/2024 dan Nomor 70/PUU-XXII/2024 dalam Diskusi Forum Dosen di Redaksi Tribun Timur, Jl Cendrawasih No 430, Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (22/8/2024).

Putusan MK 60/PUU/XXII/2024 mengubah ambang batas pencalonan partai politik atau gabungan partai politik untuk mengusung pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah.

Sementara putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 menegaskan bahwa batas usia minimum calon kepala daerah.

Prof Amir Ilyas mengakui putusan MK nomor 60 sangat berdampak pada proses pendaftaran pasangan calon (Paslon) Kepala Daerah.

Peta konstalasi politik di daerah pun akan berubah dengan putusan MK nomor 60 ini.

Potensi calon tunggal pada Pilkada di daerah akan berkurang dengan diakomodirnya partai non parlemen yang bisa mengusung kepala daerah.

"Saya kira akan memberikan dampak besar untuk proses pendaftaran paslon kepala daerah. Besar kemungkinannya akan mengurangi munculnya calon tunggal yang selalu memborong partai selama ini," jelas Prof Amir Ilyas.

"Karena dengan syarat ambang batas yang ditetapkan oleh MK, baik parpol yang memiliki kursi di DPRD maupun yang tidak memiliki kursi, tetapi terdaftar sebagai peserta pemilu pada pemilu kemarin, potensial mengajukan calon-calon alternatif," lanjutnya.

Putusan MK nomor 60 ini telah mengubah syarat ambang batas menjadi 6,5 persen sampai dengan 10 persen.

Tentunya didasarkan pada suara sah dari pemilu DPRD, baik untuk parpol peserta pemilu yang memiliki kursi di DPRD maupun yang tidak memiliki kursi.

"Putusan MK Nomor 60 ini, sesungguhnya menganggap Pasal 40 ayat 1 inkonstitusional, oleh karena pada satu sisi mensyaratkan ambang batas berdasarkan pada perolehan kursi, kemudian di sisi lain ada syarat alternatif dengan berdasarkan suara sah. Artinya, untuk apa ada syarat alternatif dimaksud (suara sah hasil pemilu) kalau ternyata yang demikian juga hanya diperuntukkan untuk parpol yang hanya memiliki kursi di DPRD," Kata Prof Amir Ilyas.

"Syarat alternatif demikian dengan muatan pasal yang sama sudah pernah dinyatakan inkonstitusional melalui uji materil Pasal 51 ayat 1 di UU Pemda. Jadi MK yang membatalkan Pasal 40 ayat 1 UU pemilihan ini hanya dalam bentuk penegasan kembali Putusan MK sebelumnya yaitu Putusan MK Nomor 005/PUU-III/2005," lanjutnya.

Sementara itu putusan MK nomor 70 dijelaskan mengatur tentang syarat calon sebagaimana dalam pasal 7 ayat 2 UU Pemilihan.

Bahwa seluruh syarat sudah harus terpenuhi semuanya sebelum pendaftaran.

"Termasuk dalam hal ini untuk usia calon gubernur dengan batas terendah 30 tahun sudah harus terpenuhi," kata Prof Amir Ilyas.

Artinya bukan terpenuhi kala calon terpilih dilantik sebagai gubernur.

"Sebagaimana dalam putusan uji materil MA (Putusan Nomor 23 P/Hum/2024) sebelumnya atas JR Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU Nomor 9 Tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota Dan Wakil Wali Kota," katanya.

Prof Aswanto sendiri menyampaikan soal negara bisa hancur, sebab putusan Mahkamah Agung (MA) salah soal syarat umur minimal bakal calon gubernur dan calon wakil gubernur.

“Mereka membuat putusan bertentangan dengan putusan, DPR mengatakan cocok dengan putusan MA. Padahal yang diputus MA menguatkan apa yang dibuat DPR. Menurutnya, batas usia 30 tahun kan DPR yang bikin. Kok sekarang mereka ikut putusan MA yang salah ,” ujar Prof Aswanto.

“Dalam kasus ini nyata-nyata melawan putusan MA. DPR ubah undang-undang, maka digugat kemudian diputus DPR. Kalau ini tak akan ada kepastian hukum. Padahal kan negara kita negara hukum,” lanjutnya

Tindak ini mengundang gelombang aksi menuntut DPR mematuhi putusan MK. Aksi menyebar diseluruh daerah se-Indonesia.

 

 

Laporan Wartawan Tribun-Timur.com, Faqih Imtiyaaz

Berita Terkini