TRIBUN-TIMUR.COM - Kehadiran Chat GPT menjadi perhatian berbagai pihak, termasuk akademisi.
Salah satunya Dosen Fisika di Universitas Negeri Makassar, A Momang Yusuf.
Diketahui, GPT merupakan singkatan dari Generative Pre-Trained Transformer.
Chat GPT adalah tools Chatbot berbasis kecerdasan buatan (AI) dari OpenAI.
Adapun OpenAI merupakan platform kecerdasan buatan yang didirikan pada tahun 2015 oleh Sam Altman dan Elon Musk.
OpenAI, perusahaan asal Negeri Paman Sam ini fokus mengembangkan teknologi Artificial Intelligence (AI).
Lalu pada akhir November 2022, OpenAI secara resmi mengumumkan versi prototipe dari chatbot AI terbaru mereka yang diberi nama Chat GPT.
Hadirnya Chat GPT mendapat perhatian dari Dosen Fisika di Universitas Negeri Makassar, A Momang Yusuf.
Menurut A Momang Yusuf, Chat GPT dapat menumpulkan nalar.
Kok bisa?
Berikut ulasan A Momang Yusuf selengkapnya!
Sejak dirilis pertama kali pada November 2022, ChatGPT telah menjadi perhatian banyak khalayak khususnya akademisi.
Kemampuan ChatGPT memberikan jawaban yang logis, runtut, dan luwes telah tiba pada tahap yang sangat mendekati kemampuan manusia.
Walaupun ChatGPT ini tentu saja tidak memiliki kreativitas seperti halnya manusia.
Sedemikian menyerupainya kemampuan ChatGPT ini dengan kemampuan manusia, khususnya dalam membuat sebuah esai.
Sejumlah reviewer jurnal ilmiah internasional tidak dapat membedakan abstrak yang dihasilkan manusia dengan ChatGPT.
ChatGPT sebenarnya adalah program yang dilatih dengan menggunakan banyak teks agar dapat menjawab pertanyaan dan menghasilkan teks baru.
Kemampuan menakjubkan yang dimiliki program ini didukung kemajuan kecepatan komputasi dan peningkatan kapasitas penyimpanan data yang dicapai dalam teknologi informasi sejauh ini.
Program ini boleh dibilang versi lebih canggih dari Google yang selama ini telah akrab dengan kita.
Meskipun menakjubkan, ChatGPT secara laten berpotensi menumpulkan otak kita.
Penggunaan aplikasi ini secara berlebihan dan tak terkendali akan melemahkan daya nalar dan menghilangkan sifat kritis kita.
Hal-hal ini harus menjadi pertimbangan sehingga keberadaan ChatGPT perlu dibatasi dalam dunia pendidikan, meskipun suatu ketika aplikasi ini akan menjadi bagian dari aktivitas menjelajah internet sehari-hari.
Bagaimana ChatGPT ini dapat menumpulkan daya nalar kita?
Mari kita bandingkan ChatGPT dengan Google.
Google, kita sudah tahu adalah aplikasi penelusur dunia internet yang hingga saat ini paling populer di jagad bumi ini.
Jika kita ingin mencari informasi dalam internet, Google andalan kita.
Dengan mengetikkan kata kunci tentang topik yang ingin kita ketahui pada Google, tanpa perlu menunggu dalam hitungan detik.
Google segera menampilkan daftar alamat situs internet di mana kita dapat memperoleh informasi berkaitan apa yang ingin kita ketahui.
Dari berbagai daftar situs ini, kita harus membuka, memilah, dan menelaah informasi dalam tulisan yang ditampilkan pada daftar alamat-alamat tersebut.
Proses memilah dan menelaah informasi diberikan Google ini jelas masih
menuntut aktivitas mental kita berupa penalaran dan membaca kritis terhadap berbagai alamat situs yang diberikan.
Di sini, dengan Google, kita masih melatih daya nalar dan daya kritis kita.
Tetapi, jika kita bandingkan dengan ChatGPT, maka prosesnya akan berbeda.
Pada ChatGPT, Anda mengetikkan pertanyaan tentang apa yang ingin diketahui.
Kemudian dalam waktu kurang dari satu menit program ChatGPT memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan.
Dengan jawaban langsung ini, proses mental terhadap topik yang ingin kita pelajari tidak dibutuhkan sama sekali.
ChatGPT menyajikan jawaban atas topik yang Anda tanyakan tanpa ada kesempatan untuk terlibat mencari jawaban yang dibutuhkan.
Jadi nalar tidak terpakai di sini.
Nalar, seperti halnya barang-barang lainnya, jika tidak digunakan, maka ia akan rusak.
Potensi kerusakan inilah yang menjadi salah satu dampak negatif pemakaian aplikasi ChatGPT.
Jika betul proyeksi bahwa model ChatGPT ini akan menjadi pengganti dari model sistem pencarian informasi web ala Google yang selama ini kita gunakan, maka penurunan kemampuan nalar kita sungguh-sungguh akan terjadi.
Kelak, situasi ini akan mendorong kita untuk menyerahkan sepenuhnya urusan berpikir kita pada robot semacam ChatGPT.
Dan saat hal tersebut telah terjadi, maka eksistensi kita sebagai manusia pun akan mulai pudar.
Lagi pula, kita jangan lupa, bahwa informasi yang digunakan oleh ChatGPT kelak kemungkinan besar akan dipasok dari data-data yang berseliweran di dunia internet yang sulit terverifikasi kebenaran dan keabsahannya.
Lalu, dengan jawaban ChatGPT yang bersifat ‘kandang-paksa’ atas pertanyaan yang diajukan, siapa yang bisa menjamin jawaban yang diberikan tidak akan menyesatkan?
Ini benar-benar akan menjadi tantangan pada kegiatan bernalar kita di masa depan.
Dunia pendidikan harus mengambil peran menghadapi potensi penurunan kemampuan daya nalar di masa mendatang ini.
Kita tidak mungkin melarang penggunaan aplikasi ini secara langsung ketika masanya tiba.
Tetapi kita bisa mengendalikan agar aplikasi ini memiliki jalan yang sesempit mungkin untuk digunakan dalam pendidikan.
Mulai saat ini, para guru seharusnya kita tidak hanya sekadar menuntut siswa-siswa kita untuk mampu mengumpulkan informasi lagi, yang dengan mudahnya akan mereka selesaikan dengan bantuan ChatGPT.
Tetapi kini kita harus meningkatkan penekanannya ke tahap siswa harus memberikan evaluasi terhadap informasi yang mereka dapatkan tersebut.
Dengan cara tersebut, kita dapat berharap daya nalar, dan daya kritis tetap dapat terasah.
Alhasil, kita masih akan memiliki generasi yang masih mempertahankan eksistensinya, “Cogito ergo sum”.(*)