Dewan Pendidikan Makassar

Prof Arismunandar: APM SD Makassar 95 Persen, Berarti Ada Seribu Anak Tidak Sekolah

Penulis: Ari Maryadi
Editor: Hasriyani Latif
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Guru Besar Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Makassar, Prof Arismunandar.

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Guru Besar Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Makassar (UNM), Prof Arismunandar menyampaikan pemerintah harus memastikan semua anak-anak bisa sekolah, sesuai aturan wajib belajar 12 tahun.

Hal itu disampaikan Prof Aris dalam diskusi Forum Dosen dengan Dewan Pendidikan Makassar di Kantor Dewan Pendidikan Makassar, Kamis (9/6/2022) pagi. Tema yang dibahas Sistem PPDB versus Wajib Belajar.

Diskusi dipandu Ketua Dewan Pendidikan Sulsel sekaligus akademisi Universitas Hasanuddin, Adi Suryadi Culla.

Prof Aris mengungkapkan, Sulsel dan Kota Makassar punya masalah pendidikan yaitu anak yang tidak sekolah. Ia merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021.

"Kalau saya perhatikan di data BPS tahun 2021. Wajib belajar SD itu usia 7 tahun. Nah ukurannya di mana, di angka partisipasi murni (APM) 7-12 tahun," katanya.

Angka Partisipasi Murni (APM) adalah proporsi anak sekolah pada suatu kelompok tertentu yang bersekolah pada tingkat yang sesuai dengan kelompok umurnya.

APM selalu lebih rendah dibanding APK karena pembilangnya lebih kecil sementara penyebutnya sama.

Ia mengungkapkan, APM SD di Kota Makassar baru mencapai 95 persen. Angka jumlah anak SD di Makassar disebut mencapai 26 ribu.

Jika dikalkulasikan, angka 5 persen itu menunjukkan ada 1.000-an anak-anak usia 7-13 tahun tidak tertampung SD di Makassar.

"Artinya ada seribu anak-anak kita harusnya masuk SD itu tidak masuk. Sebaliknya ada anak usia 6 tahun curi kuota itu, sehingga APK (angka partisipasi kasar) lebih 100 persen," katanya.

"Kalau lihat data APK, gembira kita, tapi angka partisipasi murninya, ada anak usia 6 tahun masuk sekolah lebih awal. Itu ambil porsi kita, pertanyaan kita, di mana anak 7 tahun ini yang tidak masuk sekolah, baik itu di Kota Makassar atau tingkat provinsi Sulsel. Angka relatif sama, seperti itu di Sulsel," katanya.

Prof Aris melanjutkan, AMP SMP di Makassar hanya 70 persen. Berbicara wajib belajar SMP, maka anak usia 13-15 tahun.

"Angkanya sekitar 70 persen. Pertanyaannya di mana 20 persen anak-anak kita ini. Oke kursi tersedia, tapi kenapa data statistik bicara begini. Apakah datanya harus kita ubah. Di mana anak-anak kita ini," tegas Prof Arismunandar.

"Satu pertanyaan saya lagi, siapa bisa jamin, siapa bisa pastikan, dan siapa bisa laporkan semua anak-anak kita sudah ikuti wajib belajar," lanjutnya.

Jargon Harus Sejalan di Lapangan

Prof Arismunandar mengungkapkan, jargon Wali Kota Makassar Danny Pomanto semua anak harus sekolah harus sejalan dengan kenyataan di lapangan.

Menurutnya, pemerintah harus memastikan tidak ada anak yang tidak sekolah ataupun putus sekolah di Makassar.

"Kebijakan wali kota semua anak harus sekolah, oke jargon penting. Tapi siapa bisa pastikan kata-kata jargon itu benar di lapangan. Siapa bisa awasi di Biringkanaya, misalnya, masih ada anak-anak tidak masuk sekolah," katanya.

Prof Arismunandar mengatakan, jika pemerintah mampu memastikan seluruh anak SD masuk SMP, dan semua siswa SMP masuk SMA sudah bagus sekali. Tidak perlu lagi ada PPDB.

"Karena itu saya mau katakan, PPDB sudah kita gulirkan sejak 2017 dengan misi peluaskan pemerataan, tapi tidak memberi dampak apapun terhadap aksesibilitas anak-anak kita," katanya.

"Problem pendidikan kita bukan PPDB, ini baik-baik saja, Itu cuman cara saja, yang penting semua anak sekolah. Apakah lewat jendela," guyon Prof Aris disambut tawa forum.

"Yang tidak baik itu kalau ada anak-anak tidak sekolah. Ada sesuatu di belakang PPDB kita. Kenapa angka tidak sekolah makin tinggi. Ada terungkap misalnya karena ada pernikahan dini, itu bagian kecil. Tapi ada siswa lulus SD, tapi tidak masuk ke SMP," katanya.

"Di mana sembunyi anak-anak kita. Pak kadis katakan ada sekitar 5 ribu, ini makin memperkuat dugaan kita, bahwa ada anak-anak masih belum bisa akses ke sana. Catatan saya tahun lalu disebut turun-turun mi ini, tahun lalu 13 ribu disebut. Bagaimana jamin 5 ribu benar-benar sudah masuk sekolah," sambung Prof Aris.

Dikatakan, masalah tersebut bukan hanya pekerjaan kepala dinas pendidikan saja, tapi tanggung jawab  semua.

Ia menyarankan harus dibuat sistem yang memudahkan melacak anak-anak yang putus sekolah tersebut.

Ia juga menyarankan Kadis Pendidikan Kota Makassar menugaskan seluruh kepala sekolah SD memastikan seluruh siswanya lanjut pendidikan ke SMP.

Selama ini kepala sekolah merasa tidak punya kewajiban, hanya sampai lulus.

"Semestinya dia harus bisa melaporkan kemana anak-anak mereka. Kita harap dinas pendidikan memastikan ini, dan dewan pendidikan bisa verifikasi. Kalau tidak sanggup urusi, undang dewan pendidikan provinsi," kata Aris sambil berguyon.

Ia melanjutkan pendidikan Makassar harus jadi contoh. Apalagi  pengurus dewan pendidikan Sulsel berdomisili di Kota Makassar.

"Ini poinnya, supaya ada pertanggungjawaban kita kepada publik, bahwa anak-anak sudah tersalur. Jangan sampai bicara BPS lain, kita lain," katanya.(*)

Baca berita terbaru dan menarik lainnya dari Tribun-Timur.com via Google News atau Google Berita

Berita Terkini